19 Mei 2009

Kyai Prajan, Barisan dan Mentalitas Inlander

Sejarah tentang Kyai Semantri Prajan yang melawan Belanda serta Tentara Madura binaan Belanda yang disebut Barisan hampir tidak pernah kita dengar kecuali melalui tradisi lisan (oral tradition) orang-orang sepuh dahulu. Nama Kyai Semantri Prajan memang kalah tenar dibandingkan tokoh Trunojoyo maupun pejuang Madura lainnya lalu. Padahal, menurut Almarhum Kuntowijoyo (1989), pemberontakan Kyai Semantri dari Prajan merupakan pemberontakan penting rakyat Madura abad 19.

Oleh: Syarif Hidayat Santoso

Kyai Semantri Prajan merupakan salah satu tokoh yang disegani oleh komunitas Madura saat itu. Catatan pemerintah Hindia Belanda seperti yang termaktub dalam Javaasch Courant dan De Lokomotief menyebut bahwa Kyai Semantri merupakan magnet hidup populer bagi masyarakat Sampang. Langgarnya sering dikunjungi masyarakat perdikan Prajan dan kampung sekitarnya serta menjadi basis mobilisasi melawan Belanda. Kyai yang satu ini dituding oleh pemerintah Belanda sebagai tokoh pelanggar peraturan kolonial Belanda dan karenanya harus dihabisi. Langgar dan kampungnya diserang milisi Barisan pada 10 Desember 1895 (Kuntowijoyo:1989)

Perlawanan Kyai Prajan yang dipadamkan Barisan merupakan sebuah pelajaran penting dalam sejarah kolonialisme Belanda di Madura. Kyai Prajan dan Barisan menunjukkan dua sisi dikotomis kemerdekaan yang diperjuangkan di Madura masa itu. Yaitu terdapat tokoh pribumi anti Belanda serta terdapat pribumi Madura yang mau menghamba kepada Belanda. Barisan sendiri merupakan militer Madura dibawah komando pemerintah kolonial serta dibina instruktur Eropa sejak tahun 1813 sampai menjelang perang dunia Kedua. Sejak pertengahan abad 18, sebagian rakyat Madura memang sudah membantu Belanda dalam perang Cina Jawa tahun 1741-1743, Perang Padri, Perang Dipenogoro, Perang Aceh bahkan berdinas di Benteng-benteng Belanda di Srilangka, Malaysia dan Makassar.(Huub De Jonge:1989). Milisi Madura ini biasa diledek sebagai Belanda hitam. Data lain menunjukkan bahwa Marechaussee (Marsose) yang terkenal dalam Perang Aceh sebagian diantaranya berasal dari Madura dan terkenal akan kebengisannya. Fakta inipun didukung oleh folklor rakyat Sumenep tentang legenda Pangeran Diponegoro yang ditawan Barisan di Benteng Kalimo’ok usai perang Diponegoro. Seperti yang diuntai dalam cerita rakyat Sumenep, pangeran Diponegoro yang tertawan Belanda kemudian ditukar dengan tokoh Jidin yang wajahnya mirip Diponegoro asli. Jidin (Diponegoro palsu) inilah yang kemudian dibawa Belanda menuju Manado dan Makassar untuk menjalani masa pembuangan.

Terlepas benar tidaknya legenda Diponegoro dalam folklor Sumenep, hal ini sudah membuktikan tentang adanya mentalitas keberpihakan orang Madura terhadap Belanda seperti yang ditunjukkan militer Madura dalam Barisan dan juga sebagian raja-rajanya. Mentalitas inilah yang dalam studi budaya sering disebut mentalitas inlander, dimana seorang rakyat atau penguasa harus bermental pangrehpraja dan mau mengabdi utuh kepada kekuasaan tuannya. Mentalitas inlander dalam sejarah Madura telah melanggengkan kolonialisme pikiran yang ditanamkan hidup-hidup dalam otak sebagian rakyat Madura. Mentalitas ini telah meminta korban yaitu dihabisinya perlawanan jihad fi sabilillah yang digemakan Kyai Semantri Prajan untuk melawan kafir Belanda.

De Jonge bahkan menyebut bahwa gelar Panembahan dan Sultan yang diberikan Belanda kepada para Regen (bupati) di Madura sebenarnya gelar kehormatan yang diberikan atas “jasa baik” membantu Belanda memadamkan perlawanan rakyat di berbagai daerah di Nusantara. Gelar Sultan di Madura ini berbeda dengan gelar Sultan yang diterima raja-raja lain di Nusantara. Dimana gelar Sultan di Nusantara umumnya diberikan oleh Syarif Mekkah (Azyumardi Azra:1994). Sementara gelar Sultan di Madura diberikan oleh Belanda. Hal ini terjadi karena secara otoritatif, wilayah Madura sebenarnya termasuk wilayah Mataram. Artinya, Syarif Mekkah sebagai otoritas spiritual di tanah suci tidak akan memberikan gelar Sultan bagi raja Madura mengingat Madura sebenarnya termasuk kekuasaan Mataram Islam. Penganugerahan gelar Sultan bagi penguasa Madura oleh Belanda merupakan taktik Devide Et Empera yang dilakukan agar Madura mau melawan hegemoni Mataram.

Fakta-fakta diatas seharusnya menyadarkan kita bahwa aura kemerdekaan di Madura tidaklah seheroik aroma kemerdekaan di tempat lain. Pada masa perang kemerdekaanpun Madura pernah mentahbiskan diri menjadi negara Madura dibawah asuhan seorang Yahudi Belanda, Charles Olke Van Der Plass. Ironisnya, negara boneka Belanda yang didirikan 20 Februari 1948 ini justru dipimpin bangsawan Madura, R.A.A Tjakraningrat sebagai wali negara. Van Der Plass sendiri merupakan orientalis yang ahli masalah Madura dan juga pakar keislaman. Kapabilitas orientalismenya sejajar dengan Snouck Hurgronje di Aceh. Van Der Plass pun lihai dalam mengelabui masyarakat Madura. Pada tahun 1930-an, Dia pernah berkhotbah di masjid Jami’ Sumenep dan disangka sebagai seorang muslim. Van Der Plass merupakan sosok Islamolog Belanda pertama yang ahli masalah Islam dan Madura sekaligus.

Walhasil, sebenarnya kemerdekaan yang kita rebut adalah kombinasi dari perjuangan dan juga pengkhianatan oleh sesama orang Madura. Ini harus menjadi pelajaran bagi kita agar kita tidak melakoni hal yang sama di masa depan. Apalagi, Madura di era industrialisasi erat dengan kolonialisme pasar dan pertandingan ekonomi yang bisa-bisa membelah lagi Madura menjadi Kyai Semantri atau Barisan. Kue ekonomi yang menggiurkan saat Madura menapaki industrialisasi memang memungkinkan untuk itu. Hiruk pikuk industrialisasi di masa global sudah pasti akan melahirkan manusia oportunis yang tidak memihak kepentingan masyarakat dan tradisi Madura. Semoga di masa depan, lebih banyak lagi lahir Kyai Semantri baru agar kemerdekaan hakiki terwujud abadi di pulau Madura.

Penulis adalah Alumnus Hubungan Internasional FISIP UNEJ. Berasal dari Sumenep.

6 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Kyai sumantri/ki lanceng prajjan bin haibin prajjan bin ruba'ah landrak sampang bin amirusi jaksa sampang bin abi syuja' penghulu sumenep bin abdul kabir dari pnembahah sindir sumenep suami nyai sayaibah binti abdul alam prajjan.

    BalasHapus
  4. Mohon tNya min, apa benar bnyk yg bilanh kalo kyai sumantri itu ialah pak ir soekarno. Maaf sdh lancang beribu maaf, mhon jwbnnya

    BalasHapus