08 Februari 2012

Mengembangkan Ingatan Kelestarian Sastra Madura

Dibanding kehidupan sastra Indonesia modern yang makin tampak perkembangannya akhir-akhir ini di Madura, maka sastra Madura justru banyak mengalami hambatan dan kendala. Permasalahan ini kerap terjadi perbincangan serius di kalangan masyarakat sastra sendiri, namun sebegitu jauh, belum menemukan alternatif dan solusi dalam melestarikannya. Padahal pada masanya, sastra Madura pernah menemukan jati diri sehingga banyak ka1angan peneliti dan pemerhati, baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri mencoba menganalisis dengan berbagai kepentingannya.

Oleh: Syaf Anton Wr.

Dalam memposisikan kehidupan sastra Madura, ada berupa tahapan dalam menandai kurun waktu perkembangannya, meski tahapan ini sangat relatif sebagai strandart baku untuk sebuah kriteria. Sebab pada priode paling akhir belum didapat buku-buku standart yang mengurai perkembangan sastra Madura. Namun untuk mendekati tahapan tersebut maka Drs. M. Hariyadi mengklasifikasi perkembangan sastra Madura dalam periodisasi sebagai berikut:
  1. Periode I : sampai tahun 1920-an
  2. Periode II : tahun 1920 sampai 1945-an
  3. Periode III : tahun 1945 sampai sekarang (disebutkan 1977)
Dalam preodisasi tersebut meliputi :
  1. Sastra Madura lama : dari sastra kuno sampai 1920-an
  2. Sastra Madura baru : tahun 1920 sampai 1945-an
  3. Sastra Madura modern : tahun 1945 sampai sekarang
    (dalam perkembangan terakhir 1977 sampai sekarang belum tam­pak adanya perkembangan yang nampak, kalaupun ada hanya sebatas percik-percik yang kurang tampak)
Dari periodisasi tersebut terdapat ciri-ciri yang membeda­kan, antara lain:
  • Pada periode I dan II sangat memperhatikan kaidah-kaidah (ba­hasa baku) dan menggunakan bahasa halus. Namun pada periode III kedua hal tersebut tidak diperhatikan lagi.
  • Pembeda ketiga priode tersebut, yaitu pada periode I dan II, rasa ke-Indonesiaannya sangat langka, sedang untuk periode III, rasa ke-Indonesiaannya sangat tampak dan dominan.
  • Untuk periode I (sastra Madura lama), menurut para peneliti pada umumnya banyak dilakukan (ditulis), oleh bangsa asing, sedang periode II (sastra Madura baru) mulai muncul beberapa nama pengarang Madura. Karya terjemahan mulai masuk di dalam sastra Madura (terutama Eropa) dan dari bahasa daerah terutama bahasa Jawa, Sunda dan Melayu.
  • Dalam periode III (sastra Madura modern), banyak dilakukan oleh peneliti dan pengarang yang umumnya dari putra-putra Madura sendiri atau suku lainnya yang ber­minat terhadap bahasa dan sastra Madura.
Sebagai contoh beberapa pengarang dan karyanya dalam setiap periode:
  • Periode I (Sastra Madura Lama)
    1. Een Madoereesch Minnedicht, A.A. Fokker, 1894
    2. De Indlandsche Rangen en Titels of Java en Madura, INC van den Berg, 1887
    3. Nederlancsh Madoereesch Woordenboek, H-N. Kiliaan, 1898
    4. Tjara Madoera; Madoereesch Lessen en oefeningen ten behoeve van a.s. Planters in Oost Java, S. van der Molen, tahun 1938
  • Periode II (Sastra Madura Baru)
    1. Maesak Apa Marosak, M. Wirjo Wijoto – Weltevreden (terjemahan), 1927
    2. Tjaretana Babad Basoke, M.S. Djojo Hamisastro Surabaya, tahun 1941
    3. Ambya Madoera Nabbi Idris, R. Sosrodanoekoesomo, Surabaya tahun 1941
    4. Tjolok (Boekoe Batja’an Kaanggoej ka oreng Madoera Lowaran, M. Wirjoasmoro – Weltevreden, 1922
    5. Boekoe Sae Bhak-tebbhagan, Abdoelmoekti, 1931
    6. Saer Boer-leboeran, Moh. Ali Prawiroatmodjo, Batavia, tahun 1931
  • Karya terjemahan dari bahasa lain:
    1. Lanceng Glempeng, Terjemahan karya C.J. Kieviet, Dik Trom, 1923
    2. Boekoe Tjareta Ane, Terjernahan dari bahasa Jawa, karya C.F. Winter’s – Tjarijos Aneh Lan Blok, 1921
    3. Panglepor Ate, Terjemahan dari bahasa Sunda, karya Ardiwinata, 1923
    4. Dhoengngengnga Oreng Leboer Amaen, terjemahan dari bahasa Jawa, karya Djojosoedirdjo, 1921
  • Karya sastra lainnya adalah
    1. Dungngeng Kalakowanna Nyae Gunabicara, R. Sastro­soebroto, tahun 1913
    2. Pajalanan dhari Songennep ka Batawi, R. Sastrosoebroto, tahun 1920
    3. Babad Songennep, R. Werdisastro, tahun 1914
    4. Caretana Bangsacara, Sumowijoyo sareng A.C. Vreede, 1917
    5. Carakenan I, II, III ; M. Wignyoamidarmo, tahun 1911
    6. Samporna Otama, R. Abubakar Prawiroamidarmo, 1920
    7. Panji Semirang I, II ; R. Ahmad Wongsosewoyo, 1921
    8. Sampek Eng Tay, R. Ahmad Wongsosewoyo.
    9. Panji Wulung, R. Sastrodanukusumo, 1928
    10. Anglingdarma, R. Sosrodanukusumo, 1941
    11. Emmas Esanggu Konengan, Prawirowijoyo, 1930
    12. Dhari Nespa Kantos Molja, Sp. Sastramiharja, 1931 (Anggidannepon Ms. Asmawinangun, emadura’agi)
Periode III (Sastra Madura Modern) Peneliti Drs. Ahmad Hatib, Azis Safiudin, SH; Drs. Sugianto, Drs. Abdul Rachman, Drs. Marsudi. Pengarang A. Hatib, M. Wiryoasmoro, Abdul Hadi WM Ratnawi Patmodiwiryo, Oemar Sastrodiwiryo, R Moh Halil, Sukardi Asmara

Bahasa. Sastra Madura sebagaimana kehidupan seni tradisi lainnya, sastra Madura lahir dan terekspresi secara turun-temurun dalam masyarakat suku Madura.

Dalam konsteks ini bahasa Madura memiliki peran penting termasuk memberikan warna dalam sastra Madura dengan tingkatan-tingkatan bahasanya. Bahasa sebagai alat komunikasi, berfikir dan menyampaikan gagasan (pendapat) serta sebagai alat menunjukkan indentitas suku Madura, maka perkembangannya searah dengan tata kehidupan penuturnya.

Bahasa Madura selain berfungsi sebagai lambang kebanggaan, lambang identitas Madura juga sebagai alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat Madura. Bahasa Madura tergolong bahasa yang besar dan memiliki tradisi sastra. Bahasa Madura sebagai wacana lisan memiliki wilayah yang cukup luas di pulau Madura dan pulau kecil sekitarnya serta pesisir utara Jawa Timur memanjang mulai dari Kabupaten Gresik (termasuk pulau Bawean) sampai ke arah Kabupaten Banyuwangi.

Namun dalam penggunaan bahasa sastra tulis hanyalah sebagian saja. Tradisi sastra lisan dalam bentuk sastra bertutur yaitu dalam bentuk dongeng. Umumnya isi dongeng bersifat hayalan semata, seper­ti antah-barantah. Namun di dalamnya terkandung nilai-nilai pendidikan, nasihat atau ajaran moral, etika dan agama.

Sedang sastra tulis yang berbentuk tembang. syair dan pantun termasuk klasifikasi jenis prosa. Pada masa Balai Pustaka tahun 1920-an, buku-buku karya sastra Madura pernah mengalami. boming, baik dalam terbitan buku terjemahan maupun buku-buku karangan para pujangga Madura sendiri.

Para peneliti mengakui, bahwa karya sastra Madura memiliki ciri dan mutu baik, baik dipandang dari kacamata sastra maupun kandungan moral di dalamnya. Selain dalam bentuk penerbitan buku, media cetak kala itu sempat berkembang yang memuat bahasa Madura, semisal, majalah Medan Bahasa Madura. diterbitkan Kementerian P dan K di Yogyakarta, Mingguan Harapan dan koran Pelita, pernah memuat prosa/puisi berbahasa Madura. Majalah Moncar (Surabaya), Colok (Sampang), Nanggala (Sampang), Panggudi (Pamekasan), Suemenep Expres, Pajjar dan sebagainya yang hadir ditengah-tengah masyarakat penutur bahasa Madura. Dan pada dekade tahun terakhir, stasiun ra­dio RRI dan non RRI kerap menyiarkan siarannya berbahasa Madura, sampai saat ini, baik dalam bentuk drama, pembinaan bahasa Madura, siaran keagamaan maupun berita. Untuk mengimbangi kondisi tersebut, pada tahun 1987 Kandepdikbud Kabupaten Sumenep membentuk Tim Pembina Bahasa Madura (Tim Nabara), dengan menerbitkan majalah berbahasa Madura Konkonan, namun hanya mampu bertahan sampai edisi Juli 1999. Beberapa Contoh Karya Sastra Madura Meski sastra Madura telah banyak yang ditulis, namun tingkatan kekentalannya di masyarakat lebih dominan dalam bentuk sastra lisan. Alasan ini kemungkinan masyarakat tradisi Madura (jaman dulu), sangat jarang ditemukan yang bisa membaca dan menulis, sehingga perkembangan sastra yang terjadi di masyarakat lebih kuat melalui mulut ke mulut. Selain itu, larik-larik yang dilontarkan kerap terjadi perubahan secara alami, sehingga tak heran bila dalam bentuk sastra yang sama akan mengalami perubahan dari desa ke desa lainnya. Namun demikian sebagai acuan dibawah ini beberapa contoh karya sastra yang ditulis tahun 9O-an.

  1. Prosa (gancaran)
    Prosa (gencaran), yaitu karangan bebas berupa surat, cerita/dongeng, pidato, tulisan koran dan sebagainya. Gancaran kadang mengandung okara kakanthen, atau dalam sastra Indonesia disebut prosa liris.

    Contoh prosa yang menggunakan okara kakanthen Jeng Raka, Ngatore pameyarsa, kabadha’an raji salarundhut kaganjar baras salamet.. Malar moga Jeng Raka salarundhut saka’dhintowa jugan. Sadaja dhabu babulangan dhari Jang Raka, raji sangat gumbira gunong tenggi jung tenggiyan. Pramela dhari ka’dhinto, saengga bada sala sesep tendak tanduk, raji nyo’on kabbru, nyo~on lella, Raji apangrasa korang ambato kene’e: pekker pandha’, ker­ras ta’akerres sampe’ andaddiyagi korang rennaepon pang galiyan dha’ Jeng Raka. Ta’ langkong raji nyo’on sapora sadaja kacangkolangan pamator sareng kacangkolangan tengka se ta’ sorop dha’ panggaliyapon Jeng Raka.

    Contoh prosa tanpa okara kakanthen
    Sabariya jugan lamon kasossa’anna ba’na jareya kera andaddia­giya panyaket, lebbi becce’ ba’na mole bai ka Jambaringan sarta diliya nyare pottre sopaja daddiya pangleporra (panyulemoranna) atena ba’na se bingong (rentek).

    Pangeran Sidinglanggar mator: “Adhu, rama, dhabu dolem badhi e estowagiya. Jugan abdi dalem ta’ anggadhuwi engendden se pale mana, ponapa pole abineya pottre banneyan, sabab abdi abdi dhalem ampon kare senneng badha e ka’into. Odhi’ napa’ ka pate abdi dalem ta’ pesa’a sareng pottra dalem, karana maske nyareya saebu’ nagara ta’ kera manggi kadiya pottra dalem."

  2. Syair contoh:

    1. Oreng odi’ bi’ enga’a
      Bila senneng gi’ sossa’a
      Ding nyangsara gi’ molja’a
      Pola tengka ba’ kasta’a.

    2. Ya Allah Se Maha Agung
      Aba’ dusa alung-gulung
      Ta’ sapennay ta’ sabagung
      Bannya’ onggu cara gunong
    3. Reng Songennep
      Laggi’ enga’ taon dhubellas ennem sanga’
      Aryo Wiraraja lenggi,
      Se jumenneng Adipati.

  3. Pantun, bagi masyarakat Madura, pantun biasanya dilagukan. Pantun dalam sastra Madura biasanya ada 4 macam, yaitu: Pantun agama, pantun nasehat (baburugan), pantun berkasih-kasihan (bur-leburan), dan pantun lelucon (loco).

  4. Pantun agama, contoh:
    Ngala’ lalang ka Panglegur
    Nompa’ rata samperanna
    Tata langlang dika lebur
    Kor ta’ loppa Pangeranna


  5. Pantun Nasehat, contoh:
    Sarkajana e bungkana
    Nyalaga’a ka sabana
    Se raja’a pangabbruna
    da’ ka bala tatanggana

    Pantun berkasih-kasihan, contoh
    Sattanangnga esassa’a.
    Esebbida noro’ lorong
    Ce’ emanna se tapesa‘a
    Kare abit kalong-polong.

  6. Pantun lelucon, contoh:
    Pereng bathok gu’teggu’an
    Kesse kerrep roma bangsal
    Oreng ngantok gu’onggu’an
    Se eyarep coma bantal.
    Pantun-pantun tersebut biasanya diiringi dengan musik/instrumen gending yang kerap dipentaskan pada acara hajatan atau pentas teater tradisional.

  7. Paparegan Contoh:
    Pa’ lempong padhi gaga
    Napa’ nengkong ta’ ngenneng jaga,
    Blarak klare trebung manyang,
    Baras mare tedhung nyaman,

    Bila ngakan kakennyangan
    Daddina baleng ketengngen
    Mon eanguy akaraksak
    Tandhana ja’ samper esak.

  8. Tembang, karangan sastra dalam bentuk tembang sudah diikat oleh guru lagu dan guru bilangan. Masyarakat Madura masih banyak yang menggemari tembang bahkan sebagian masyakarat mengkaitkan dengan kepercayaan.

    Lagunyapun memiliki ketetapan tersendiri, walaupun dengan berbagai versi. Di Madura dikenal juga dengan macapat. Contoh:
    Kananthe
    Petthedanna nyolbu’ mopos
    Kembangga lebba’ nglenglengan
    Ong-naong jang-bajanganna
    Cellep perna anyennengngen
    Addas parabas narabas
    Katombar ombar epenggir.

  9. Puisi bebas Sastra Madura dalam bentuk puisi bebas merupakan genre pembaharuan pada dekade terakhir ini. Namun demikian hanya beberapa orang saja yang berminat, selebihnya lebih produktif menulis puisi-puisi Indonesia modern. Contoh:
    Serna
    Paesan pote atabur babur
    Serep.
    Terep.
    Nangeng
    Enger neng e sokma
    Aba’ tagiyur engerra sokma
    Kadharuy atemmowa salerana
    Sapangedep adulit ka edep
    Pas aonyar ngombar e mata
    Nangeng sakabbinna la serna
    Kare paesan pote atabur babur
    Serep
    Terep
    Ekembari nyredhemma campaka molja

    (Arach Jamali).

  10. Hal lain berkaitan dengan bangsalan, bak-tebbagan, sendelan dan lainnya merupakan karya sastra yang masih bertahan di Madura, khususnya di kalangan masyarakat tradisional.
Selain tersebut dalam bentuk sastra tulis, sastra lisan cukup akrab dalam kehidupan masyarakat Madura, usianyapun cukup tua dan tidak dikenal pengarangnya (anonim), semisal syair Dhi’-nondhi’ ne’nang:, dongeng. lok-alok atau, dalam bentuk puisi mainan anak-anak seperti Pa’kopak Eling, Jan-anjin, Cong-Koncong Konce, Teng-nyalateng, Ma-dalima ngoda, Ri-riri kolek, dan lainnya.

Selain tersebut dalam sastra lisan, bahasa Madura mengeenal puisi ritual yang biasanya digunakan untuk memohon hujan, selamatan laut, menolak bala dan kepentingan lainnya dalam upacara pantil, cahhe’, ratep dan pojiyan.

Menggali Puing-Puing Yang Tersisa Tergesernya sastra Madura dalam kehidupan masyarakat Madura memang disebabkan oleh beberapa faktor, yang berkaitan dengan proses pembangunan. Namun demikian sebenarnya pembangunan itu tidak mesti menjadikan sastra daerah (Madura) harus tergeser. Justru sebaliknya menjadikan kehidupan ini khas apabila sastra di tengah-tengah pembangunan. Sejalan dengan lajunya pembangunan di berbagai sektor, maka sarana dan fasilitas yang dibutuhkan manusia makin meningkat, termasuk akan kebutuhan hiburan. Berbagai ragam jenis hiburan yang menawarkan ragam jenis seperti, televisi, radio, vcd, plays station atau jenis hiburan elektronik lainnya sehingga mampu menggagalkan minat terhadap karya sastra sendiri. Hal semacam cukup kuat merambah ke seantero pelosok Madura. Berdasarkan berbagai kekhawatiran akan punahnya sastra Madura diantara gemerlapnya seni-seni yang lain yang berbau dan dikemas secara modern, sebenarnya di suatu sudut masih terdengar suara-suara sastra Madura meski tidak terdengar gaungnya. Paling tidak, beberapa pihak mencoba mempertahankan dan melestarikannya, namun sejauh ini belum memberikan suatu kekuatan sehingga sastra Madura benar-benar dimiliki oleh masyarakat Madura. Di daerah Sumenep misalnya, gerakan sosialisasi bahasa dan sastra Madura telah sedemikian gencar dilakukan, paling tidak oleh Tim Nabara. Namun sayang, dari mereka rata-rata telah lansia, maka gerakan yang dimiliki hanya sebatas menunggu “petuah” dari lembaga induknya. Dan pada gilirannya kehidupan sastra Madura masih berkisar dalam batas lingkaran kecil. Sedang sastrawan diluarnya lebih asyik memperbincangkan perkembangan sastra Indonesia modern yang “konon” lebih menjanjikan daripada mempertahankan “tradisi” sastra daerah nya sendiri.

Ada beberapa sebab yang menghambat perjalanan kehidupan sastra Madura, antara lain:

  1. Penggunaan bahasa Madura kurang instens dalam bahasa tutur di masyarakat
  2. Kurang adanya guru berkelayakan dalam bidang studi bahasa daerah, baik tingkat dasar maupun menengah pertama
  3. Media dan penerbitan buku berbahasa Madura nyaris tidak ada
  4. Kurang maraknya ivent sastra Madura baik dalam bentuk sayembara/lomba, pertemuan, seminar dan sejenisnya sehingga sastra Madura benar-benar tertinggal
  5. Dari beberapa sebab lain yang mendukung lemahnya minat masyarakat terhadap sastra Madura. Alternatif kemungkinan yang dapat ditawarkan menuju perkembangan sastra Madura ke depan, barangkali

    1. Keseriusan pemerintah dalam hal ini melalui instansi terkait segera mengambil alternatif jalan keluar membudayakan bahasa dan sastra Madura bekerjasama dengan pihak saatrawan/organisasi seni/LSM
    2. Meningkatkan guru bidang studi bahasa daerah untuk seluruh tingkatan untuk menghindari pencampur adukan masing-masing guru da1am seluruh bidang studi.
    3. Membuka lebar-lebar media massa (cetak maupun elektronik) dalam lembaran budaya/sastra Madura.
    4. Membuka jurusan bahasa dan sastra Madura di lembaga perguruan tinggi yang mencetak kader guru atau pendidikan lainnya yang memadai.
    5. Penggalakan belum lomba/sayembara menulis bahasa/sastra Madura, pertemuan-pertemuan sastra dan bentuk kegiatan lainnya yang memungkinkan digemarinya karya sastra Madura.
    6. Penerbitan-penerbitan buku-buku sastra Madura.
    Akhirul Kata Dalam pemikiran modern orang boleh berpendapat bahwa sastra tidak harus menjadi cermin masyarakat, namun sebenarnya sastra Madura merupakan cermin dari masyarakatnya.

Maka tidaklah berlebihan bila dalam makalah ini tak lebih dari sekedar menyumbangkan sedikit harapan khususnya bagi masyarakat Madura serta siapapun yang peduli terhadap nilai-nilai karya sastra Madura.

Kepustakaan
  • Dewi, Satya, Trisna Kemala; 1994 Sastra Lisan: Puing-puingnya Masih Tersisa Buletin, DKS, Nomor 2-3/Pebruari – Maret 1994.
  • Hariyadi, M.; dkk, 1981, Sastra Madura Modern – Cerkam dan Puisi, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, Jakarta.
  • Hutomo, Sadi, Suripan, Drs., 1981, Sastra Madura Modern, Majalah Sronen (no. 7 tahun 1981)
  • Tayib. Moh.; Basa Sastra Madura SPG Pamekasan
  • Imran, Zawawi, D.; Sastra Madura yang Hilang Belum Berganti,
  • Wardisastra, 1914; Babad Songenep
  • Bangsatarona, R.H.; Caretana Rama, Tim Nabara, Majalah Konkonon No. 2/90; 25/922; 28/92. Sumenep, 13 Desember 2008
Disampaikan pada Kongres I Bahasa Madura, tanggal 15 – 19 Desember 2008, di Pamekasan

Terkait:

Sumber: Lontar Madura, 20-05-2011

5 komentar:

  1. Coba Anda lihat juga karya KH. M. Imam Ambunten, Sumenep. Beliau mengarang ratusan syair berbahasa Madura. Saya tulis sedikti saj di sini:
    Badan arasokan
    E lem dada esse Iman
    Papareng se Loman
    Se earep kateptepan
    Sampe' bi'-dhibi'an
    Alolongan ngireng Imam

    BalasHapus
  2. Beliau wafat pada tahun 1986..

    BalasHapus
  3. KAMPUS SANG JUARA
    Https://ftik.teknokrat.ac.id
    https://www.teknokrat.ac.id

    BalasHapus