Mencari sebuah identitas pada masyarakat
Kangean modern


Prilaku yang terbentuk dalam masyarakat kadang kali kita pahami sebagai bentuk representasi dari warisan nenek moyang ataupun leluhur kita, dalam hal ini budaya masyarakat Kangean khususnya yang dulu dikenal akan kepemilikan nilai kesenian yang tinggi (seperti pangka' ajhing, Gendheng Dumi', dll), masyarakat bersahaja, nilai solidaritas yang tinggi (gotong royong, rukun), merupakan sifat yang tertanam pada setiap pola kehidupan masyarakat, hal tersebut juga tidak terlepas dari fungsi nilai agama yang mempengaruhi dan mengikat nilai-nilai yang lain.

Oleh Lutsfi Siswanto

Itu mungkin sekilas dari penggalan narasi klasik yang pernah kita dengarkan dari kake'-kake' atau embah-embah kita dulu, terlepas dari cara pandang kita sekarang terhadap realitas kondisi masyarakat Kangean yang lebih moderen, ada hal yang patut kita ketahui bersama yaitu adanya berbagai aspek yang mendasari dan membentuk karakter dalam tatanan masyarakat Kangean moderen. Salah satunya adalah proses moderenisasi yang berakibat Masuknya budaya luar tak terbendung (tak terkontrol) dan mampu mengubah pola pikir masyarakat ke arah yang dianggap lebih rasional. Di sisi lain benturan moderenitas dengan budaya awam masyarakat (kuno) pelak tidak bisa kita hindari, dimana hal tersebut akan berujung pada pencarian kekuatan masing-masing untuk menciptakan karakter masyarakat yang lebih dominan.

Berkaca pada realitas kehidupan masyarakat Kangean saat ini, dampak dari modernisasi telah mengantarkan masyarakat pada tahap akan kesadaran berkompetisi disegala bidang bisa kita lihat misalnya kemajuan di sektor pendidikan dengan naiknya prosentase mahasiswa yang melanjutkan studi di Jawa dan luar Jawa setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan, meminjam istilah Habermas inilah yang mungkin disebut dengan dampak modernisasi sosial

Moderenisme juga berpengaruh pada meningkatnya pola hidup (life style) masyrakat Kangean yang lambat-laun telah menggiring pada pola hidup masyarakat konsumerianisme ataupun hedonisme, contoh kecil yang bisa kita amati dalam kehidupan sehari-hari dari segi berbusana, rok mini yang digandrungi anak-anak wanita muda bahkan kaum wanita tua, telah menggeser busana khas tebbe'(khas busana wanita), musik Ghemelan, Pangka' sebagai bentuk hiburan masyarakat dulu (kuno) yang menjadi simbol kearifan budaya leluhur, lambat laun juga telah tergeser oleh hiburan dangdut misalnya yang dianggap lebih mewakili kehidupan modern.

Munculnya Alienasi Baru

Mengutip dari pendapat Hannah Arend[1], fase terakhir akibat munculnya modernitas salah satunya akan berdampak pada tercerabutnya petani dari tanah mereka. Padahal dalam konteks masyarakat Kangean menjadi nelayan dan bertani merupakan salah satu bentuk mata pencaharian yang sangat potensial mengingat kekayaan laut serta kesuburan tanah yang dimilikinya. Dulunya mata pencaharian tersebut mampu mendominasi terhadap mata pencaharian yang lain tetapi secara perlahan-lahan pula mulai ditinggalkan masyarakat dengan alasan yang logis, lagi-lagi masalah biaya produksi (dana) dan keterbatasan sarana (alat produksi) yang tidak berimbang terhadap penghasilan, menjadi dalih bagi mereka untuk lebih senang menjadi kelas pekerja bergaji di tempat lain.

Hal di atas akibat dari kerasnya persaingan hidup dan kebutuhan ekonomi sehari-hari dan dengan pertimbangan akan kemajuan dan perkembangan yang lebih progresif dalam menyikapi persaingan modern, alasan ini semakin mengokohkan niat mereka untuk meniggalkan mata pencaharian semula (menjadi nelayan dan petani). Inilah yang dimaksud oleh Arendt dengan istilah alienasi (pengasingan diri, penyitaan), sebagai dampak buruk modernisme yang ujung-ujungya mengeleminasi budaya masyarakat mereka sendiri. Ironisnya, pemerintah daerah bersifat apatis dalam menyikapi fenomena di atas, hal ini bisa kita amati sampai saat ini, fenomena tersebut tidak mendapatkan sorotan bahkan tindakan penanganan guna mencari problem solving dari pemerintah daerah dan peran sebagai pemfilter budaya asing belum pula terlihat, sekalipun masyrakat secara pribadi yang lebih berhak dalam menentukan terhadap prilaku budaya mereka meskipun nantinya ada sanksi-sanksi secara khusus yang mengaturnya.

Akulturasi Budaya

Di akhir oret-oretan ini perlu dipahami bersama, bahwa disatu sisi kita tidak akan menafikan dari kemunculan sebuah moderenisme yang mampu menciptakan masyarakat yang lebih produktif dan inovatif dalam mencari sebuah identitas masing-masing. Tetapi, harapannya akan menjadi kebanggaan kita bersama bahwa, dalam proses interaksi budaya luhur kita dengan budaya luar tadi (modern), mampu menjelmakan budaya sintetik yang amat serasi, seperti halnya bisa kita pelajari dari akar sejarah terbentuknya masyarakat Kangean, yang merupakan hasil dari akulturasi budaya Jawa (rama), Madura (eppa'), Bugis (daeng), dan lain-lian, nyatanya mampu membentuk budaya dan tatanan masarakat lokal dengan nilai solidaritas yang tinggi dan demokratis.

Penggalian dan pemahaman akan kearifan budaya local di atas perlu kita warisi bersama sekalipun kita telah berada pada jaman moderen, tentunya dengan menanamkan dan mengusung sebuah idealisme yang tinggi dari penerus (Pemuda Kangean). Hal ini merupakan salah satu bentuk solusi alternatif yang perlu ditanamkan sejak dini. Dan harapannya kedepan Kangean yang beridentitas (dengan kekhasannya) semakin akan kita cintai dan miliki layaknya sebagai kepemilikan properti privat kita bersama.

Wallu A'lam Bishowab

Label: , , , ,