Jual Nasi, Sekolahkan 12 Anaknya

ZAKIYAH, 54, dan Hasan, 52, harus bekerja keras untuk bisa menyekolahkan selusin putra-putrinya. Sebab, dia tergolong keluarga miskin. Namun, semangat untuk menyekolahkan anak-anaknya tak pernah redup.

Nama Zakiyah tidak asing lagi di telinga warga Desa Batang-Batang Utara, Kecamatan Batang-Batang, Sumenep. Apalagi jika sebutan Zakiyah diikuti dengan kalimat embel-embel yang punya selusin anak. Warga sudah paham dan menunjuk arah timur daya dari pertigaan (persimpangan tiga) Batang-Batang menuju rumah Zakiyah.

Sesampainya di rumah Zakiyah, sejumlah bocah dan remaja tampak berkumpul. Sebagian masih mengenakan seragam sekolah dan lainnya mengenakan celana jins pendek dan kaos.

Zakiyah tidak menutup-nutupi jumlah anaknya. Dengan tegas perempuan ini mengatakan memiliki selusin anak. "Anak saya sekarang tinggal sebelas, Satu anak saya sudah meninggal," tuturnya.

Dikatakan, anak adalah titipan Tuhan yang harus mengenyam pendidikan. Selusin anak Zakiyah disekolahkan mulai dari SD, SMP, hingga SMA. Sebagian sudah tamat SMA.

Sebelas anak pasangan Hasan dan Zakiyah itu secara berurutan mulai dari yang tertua hingga bungsu, adalah Redi Kurniawan, 29, Nengsi Suahmad, Herian Kurnia, dan Moh Fikri. Kelima anak tersebut sudah lulus SMA.

Lalu, Firda dan Dian S. masih SMA. Ikbal K. sekolah SMP. Sedangkan Irwan K., Ulandari, dan Imam Rofiki, 11, yang bungsu sekarang masih duduk di bangku kelas V di SDN Batang-Batang. Sementara anak yang meninggal merupakan anak sulung.

Dari sebelas anak itu, empat yang disebut terakhir lahir dengan jarak waktu sekitar setahun. Jadi, kalau Imam Rofiki sebagai putra bungsu berumur 11, maka secara berurutan Ulandari, Irwan K dan Ikbal ditambah masing-masing setahun.

Sedangkan tujuh putra yang lebih tua berjarak masing-masing sekitar dua tahunan. Kalau Redi Kurniawan sebagai putra sulung berumur 29, maka secara berurutan enam adiknya masing-masing dikurangi dua tahun.

Ditanya soal uang jajan yang diberikan kepada anaknya, Zakiyah mengaku hanya mengandalkan nasi yang dijual setiap sore hari di pinggir jalan. "Yang sekolah sekarang tinggal enam anak. Setiap hari menghabiskan Rp 20 ribu untuk uang jajan mereka," katanya.

Menurut dia, uang jajan bergantung pada jenjang sekolah masing-masing anaknya. Anak yang SMA diberi uang jajan Rp 7.500, SMP Rp 3.000, dan SD Rp 2.000. "Tapi, seringkali tidak diberi uang jajan. Soalnya modal dagangan saya setiap harinya masih ngutang. Jadi, termasuk untung sebelum berangkat diberi makan," katanya.

Hal yang sama disampaikan Hasan. Pria yang setiap harinya bekerja sebagai kuli bangunan itu menuturkan, setiap hari keluarganya selalu kekurangan. "Seperti sekarang, saya sudah lama tidak kerja karena tidak ada garapan," katanya.

Herian Kurnia, anak keempat, menuturkan, dirinya sudah dua tahun lulus SMA. Namun, hingga sekarang belum bekerja. "Saya cari kerja ke Jakarta, tapi masih belum sukses. Kalau untuk kuliah, jelas tidak punya biaya. Seragam sekolah saja kami dikasih orang," katanya. (uji/mat)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 22 April 2010

Label: , , ,

M Said Setia Budi Hariyanto,
Tabib Spesialis Orang Gila

Sering Dipukul Pasien hingga Bersihkan Kencing Orang Gila

Menjadi 'tabib spesialis' orang gila (orgil) tentu saja berbeda dengan menjadi dokter biasanya. Sebab, perilaku pasien aneh dan kadang seenaknya saja. Bagaimana M. Sa'id Setia Budi Hariyanto berusaha menyembuhkan mereka?

WAJAH Ustad Moh. Said Setia Budi Hariyanto terlihat basah. Pria asal Lumajang yang tinggal di Pondok Pesantren (Ponpes) Attauhid Panempan, Pamekasan, itu memang baru selesai wudu. Tangan kiri bapak dua anak yang sejak 2004 datang ke Pamekasan itu menenteng air mawar. Tak lama kemudian, dia masuk ke ruang delapan orgil hasil sweeping satpol PP beberapa waktu lalu.

Para orgil itu memang sedang menjalani terapi khusus di Klinik Ibnu Sina di Ponpes Attauhid. Said lalu mendekati satu per satu orgil itu. Di antara orgil itu ada yang mau mengamuk pada sang ustad. Ada juga yang menangis meronta-ronta. Tapi, saat dipegang dahinya, orang-orang tidak waras tersebut terlihat luluh. Mereka tak banyak bergerak dan mau diajak berbicara dengan sang ustad. Entah apa yang dibaca Said, yang jelas setelah mulutnya komat-kamit orgil itu terdiam dan rileks.

Said tidak sendirian. Dia dibantu Ra Wahid dan Ustad Faruq. "Menyembuhkan orang gila itu tidak mudah. Terutama ketika gila tahunan," ujar Said.

Sejak menjadi tabib orgil, dia mengaku memiliki pengalaman yang sangat menarik dan sulit dilupakan. Dia mengaku sedikitnya telah menyembuhkan 200 orgil. "Saya pernah dipukuli. Bahkan saya harus membersihkan kencing mereka. Sebab, gilanya itu sangat parah," ujarnya.

Selain kisah tak mengenakkan, ada juga pengalaman yang sangat menarik. Misalnya, jika orgil yang diobati sembuh. Tak jarang pasiennya menjadi akrab seperti saudara. "Bahkan, ada salah seorang pasien yang saat ini sudah menjadi tabib orang gila juga. Padahal, sebelumnya dia sendiri gila," ujarnya seraya tersenyum.

Menurut putra pasangan alm Suib Budi Wiyono dan Siti Ami itu, penyebab orang menjadi gila banyak faktor. Kadang karena depresi, putus cinta, kerasukan jin, dan yang lain. "Jika tatapan matanya kosong, biasanya karena depresi. Sedangkan jika selalu berbicara, biasanya kerasukan jin," terangnya.

Untuk menyembuhkan orgil, dia terlebih dahulu memandikan di tempat khusus, membacakan doa-doa disertai dengan tenaga dalam murni (seperti pernafasan). "Ada juga dengan menggunakan terapi lilin," ungkapnya.

Sebelumnya, Bupati Pamekasan Kholilurrahman yang mengunjungi pasien orgil di Klinik Ibnu Sina mengatakan, pengobatan orang gila tidak hanya secara rohani, juga dari sisi jasmani. Banyak orang gila sembuh dan sebagian telah dipulangkan kepada keluarganya.

Orang gila masih bisa disembuhkan, bergantung sebab-musabab dia terganggu secara psikis. Sepanjang yang dia tahu, seseorang jadi tidak waras karena godaan makhluk halus sebangsa jin. "Kami sangat berharap para orgil ini bisa disembuhkan sehingga bisa mengenali keluarga mereka. Jika nanti mereka sudah sadar dan mengetahui asal usulnya, kami akan komunikasikan dengan pihak keluarga," ujarnya.

Sebelumnya, satpol PP merazia orgil yang berkeliaran di jalanan. Mereka dikumpulkan dan diobati. Jika sudah ingat asal usul dan keluarganya, mereka akan dikembalikan ke keluarganya. (mat/BUSRI THAHA)

Sumber: Jawa Pos, 08/03/2010

Label: , , ,

Sejarah Band Nookie

Wahai bintang malamku terangilah jalanku..
biarkanlah sinar-Mu memberi arti..
Rembulan pun tangisi luka lara hatiku..
hanya kata yang terucap seperti AIR MATA SURGA..


TAHUN 2003

Awal mula terbentuk nama NoOKie. Di tahun 2003 dari tangan dingin Denie Nookie sang penggebuk drum, setelah itu Denie mengajak Aries vokalis NoOKie yang memiliki suara khas.

Dari karya-karya yang beraliran pop alternatif mencoba mengadu nasib ke Jakarta, dengan bekal demo CD yang mereka bawa, mencoba kirimkan ke berbagai perusahaan-perusahaan rekaman di Jakarta. Tapi apa yang mereka dapat?

Hanya pengalaman-pengalaman yang membuat mereka mengerti apa yang di kehendaki industri musik Indonesia. Dari bulan ke bulan mereka coba bertahan hidup di kota Jakarta. Dan akhirnya Tuhan berkehendak untuk mereka balik ke Madura.



TAHUN 2004

Di tahun 2004 NoOKie mulai dikenal di pulau Madura tepatnya di Kota Sumenep. Meski NoOKie manggung dari cafe ke cafe, home band, wedding dan banyak lagi acara-acara manggung lainnya. NoOKie berusaha memperkenalkan karya-karyanya. Dan alhamdulillah masyarakat Madura menerimanya. Dengan modal nekad karya-karya NoOKie berkumandang di radio-radio siaran Madura.

TAHUN 2005

Tahun 2005 adalah tahun dimana sang keybordis NoOKie bergabung. Iewan Malolo yang beraliran semua jenis musik ia suka. Mencoba memberi warna di setiap karya-karya NoOKie. Di tahun ini pula NoOKie mengikuti festival-festival se Madura maupun se Jawa Timur. NoOKie sudah mulai diperbincangkan oleh sesama musisi maupun masyarakat Madura.



TAHUN 2006

NoOKie mengikuti festival LA light Indie fest se Madura. Dengan membawakan dua lagu Bunga Layu dan Resapi. Dan alhamdulillah NoOKie mendapatkan juara I dari 140 band se Madura.

Di tahun ini juga NoOkie mendapatkan juara favorit di LA light Indie fest se Jawa Timur dari 800 band. Dengan lagu Bunga Layu dan Resapi.

Setelah festival LA light Indie fest tepatnya di pertengahan tahun 2006 Zakie pemain bass NoOKie mulai bergabung. Dia beralirkan funk. Dari bekal juara Indie fest Denie Nookie dan Iewan hijrah ke Jakarta. Dan untuk kedua kalinya keberuntungan tidak berpihak pada mereka.



TAHUN 2007

Di tahun ini NoOKie mendapat seorang gitaris yg bernama Terry dgn aliran Japanese Rock. NoOKie di tahun ini banyak memfokuskan diri untuk bikin demo. Dan di tahun ini pula seorang pelopor NoOKie sudah mulai bingung mencari celah.

Mau kemana lagi? Itulah yang ada di otak seorang Denie Nookie. Dgn rasa putus asa Denie mencoba menciptakan sebuah lagu yg menceritakan perjalanan NoOKie dri awal sampai akhir yang penuh air mata dengan doa. Yang akhirnya terciptalah sebuah lagu ÁIR MATA SURGA.

Beberapa hari kemudian Denie sang penggebuk drum dengan rasa pasrah dia pergi ke suatu tempat dengan niatan untuk menggandakan karya-karyanya, dengan tujuan bisa dipasarkan di Jawa Timur. Hingga akhirnya bertemu dengan bapak H. Fauzi, semua ide Denie untuk memasarkan karyanya di Jawa Timur kandas. Karena bapak H Fauzi memiliki ide untuk menawarkan CD demonya kepada Nagaswara.

Alhamdulillah NoOKie diterima dengan menyediakan 30 lagu. Mungkin dari terciptanya sebuah lagu AIR MATA SURGA yg merupakan anugerah dari-Nya atau sebuah ketidak berdayaan seorang Denie yang sudah pasrah pada kehendak-Nya. Sehingga Allah memberikan suatu jalan yang terang kepada NoOKie.

Ya Allah terimah kasih...



TAHUN 2008

Tahun 2008 tahun yang bersejarah buat NoOKie, karena tahun ini adalah tahun dimana NoOKie deal kontrak dengan NAGASWARA.

Sumber: Band NoOkie

Label: , , ,

Mereka yang Muda yang Sukses

Ekspor Teri, Omzet Rp 2,5 Miliar Per Bulan

Mencari sosok pengusaha muda yang sukses berumur di bawah 40 tahun tak mudah. Sebab, anak muda yang baru saja memulai dengan sesuatu yang baru itu sudah harus dituntut untuk dinamis dan inovatif dalam mengisi ekonomi. Mereka bisa menjadi motivasi dan inspirator bagi generasi muda lainnya.

SUHARTO, 39, menekuni bisnis ikan teri dengan tujuan Jepang. Bersama eksportir asal Gresik, perusahaan lokal dengan 325 pekerja ini memiliki omzet sekitar Rp 1,5 hingga Rp 2 miliar per bulan.

Saat bertandang ke lokasi pengolahan ikan teri di Desa Tanjung, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, koran ini mendapat kesempatan melihat ikan teri di cold storage. Tempat ini seluas 2,5 x 3,5 meter dengan suhu udara 10 derajat di bawah nol. Lokasi ini sebagai tempat menyimpan ikan teri sebelum diseleksi pekerja agar tidak rusak.

Pengolahan teri ekspor ini memerlukan seleksi ketat. Sejak nelayan menurunkan hasil tangkapan, produsen memeriksa kondisi ikan dan besar kecilnya ukuran. Mula-mula, ikan diperiksa mengenai segar tidaknya. Sebab, salah satu syarat teri lolos ekspor jika ikan segar alami atau menggunakan alat bantu es batu yang dibawa nelayan dari darat ke tengah laut.

Selain itu, ikan yang lolos seleksi harus dibersihkan dari spesies lain. Pada saat ikan dalam satu spesies teri ini terkumpul, pekerja menyaring lain, ikan teri dikelompokkan lagi menjadi SS (sangat kecil), S (kecil), dan M (lebih besar dari jenis teri S).

Selanjutnya, pekerja merebus ikan yang sudah tersaring sampai setengah matang dan menjemurnya. Setelah pengeringan, pekerja kembali menyeleksi kemurnian ukuran dan memastikan ikan teri tidak bercampur dengan ikan lain yang berada di luar ukuran. "Melelahkan memang," kata Suharto, manajer UD Dharma Laut, ini.

Rangkaian terakhir dari proses seleksi teri dieksekusi di atas meja. Di atas meja para pekerja berkeja di bawah lampu neon masing-masing berkapasitas 40 watt. Di tempat kerja, karyawan perusahaan ini memiliki 80 lampu yang menggantung menyinari setiap meja berisi empat pekerja. Bila rangkaian seleksi selesai, pekerja melakukan packing masing-masing seberat 5 kg. Agar packing ikan teri tidak rusak karena panas cuaca, ikan dikumpulkan lagi dalam cold storage dengan suhu 10 derajat di bawah nol.

Suharto mengaku belum bisa melakukan ekspor sendiri ke Jepang. Alasannya, pengusaha muda lokal Pamekasan ini tidak memiliki lisensi. Karena itu, dia melakukan konsorsium dengan eksportir lain di Gresik. Ikan siap ekspor itu dikirim bersama ikan sejenis ekspor lainnya di Gresik dalam satu kontainer. Itu pun ikan tidak boleh dikirim di siang hari. Sebab, panas matahari mengganggu kualitas ikan teri yang telah disortir berkali-kali.

Bagaimana dengan ikan teri yang tidak lolos sensor? Ikan-ikan tersebut dijual di pasar lokal regional. Sebab, pasar lokal-regional tidak mengalami seleksi yang superketat seperti untuk ekspor ke Jepang. Sisa ikan yang tidak layak di pasar lokal-regional ini dia juga jual dalam bentuk menu di lesehan yang dibukanya di di Jl Raya Asem Manis Kota Pamekasan.

Menurut dia, ekspor teri termasuk pekerjaan yang berpeluang dan memiliki tantangan. Peluangnya, pasar terus meminta pasokan ikan teri. Kendalanya, bahan baku tidak selalu tersedia karena bahan baku disediakan alam. Karena itu, Suharto membuat konsep multilevel marketing supplyer. Dia memiliki banyak agen di berbagai kecamatan baik di Pamekasan maupun Sumenep. Tapi, di agen-agen itu dia menerapkan konsep penyaringan dan higienis yang dipatok Jepang. "Kalau agen tidak mengikuti aturan, kami tidak membeli ikan (dari agen)," ujarnya.

Dia juga mengakui ekspor ini menguntungkan dan merugikan meski memerlukan dana yang sangat besar. Dalam sebulan, dia memerlukan dana antara Rp 1,5 miliar hingga Rp 2 miliar. Dana tersebut digunakan untuk membeli ikan, upah karyawan, biaya listrik, air, biaya transportasi dalam dan luar negeri.

Lalu, berapa hasil bersih yang dipat dari belanja modal setara Rp. 1,5 milir hingga Rp. 2 miliar? "Wah, berapa cash back dari belanja modal yang kami terima, itu rahasia perusahaan," dia menolak menyebutkan angka.

Tapi, dia berharap ekspor ini tidak dihitung hanya berdasar keuntungannya saja. Pada 2003 dia nyaris gulung tikar. Pasalnya, dalam catatan UD Dharma Laut, tahun-tahun itu awal dari krisis global dan pihak Jepang menurunkan harga pembelian. Sementara dia mengeluarkan belanja modal cukup tinggi. "Alhamdulillah, lima tahun kemudian kami perlahan-lahan bangkit lagi," terangnya.

Menurut dia, hal yang membanggakan dari bisnis ini karena bisa mempekerjakan 325 orang. Bahkan lebih pada saat musim ikan. Bila setiap karyawan dibayar Rp 20 ribu per hari kalikan 325, dalam sebulan sudah mencapai Rp 195 juta. Tepi, dia mengakui pekerja tidak menerima bayaran yang sama, tapi sesuai masa kerja dan hasil yang diperoleh setiap hari. Karena itu, para pekerja diawasi sekitar lima pengawas per hari untuk menilai kinerja mereka. Selain itu, penerimaan gaji karyawan disesuaikan dengan masa kerja.

Pria familiar itu juga mengaku keluar biaya listrik bertenaga lebih dari 21 ribu watt. Misalnya, dia punya tiga cold storage masing-masing memerlukan 7 ribu watt. Biaya tersebut belum termasuk biaya transportasi dan belanja tidak terduga. Dalam setiap bulan jika diambil nominal tengah, perusahaan yang dia manajeri memerlukan tak kurang dari Rp 1,5 miliar. Dilihat dari angkanya, mengaku cukup besar. Tapi, dari sisi cash back, menurut Suharto, terkadang ada sisa.

Dia mengungkapkan, bisnisnya bisa mengembalikan modal (BEP) sudah dianggap menguntungkan. Sebab, 325 tenaga lokal yang bekerja padanya tetap menerima gaji. Dia juga senang karena bisa membantu pemerintah mengurangi pengangguran. "Anda bisa bayangkan, lha wong lowongan PNS saja di tahun ini hanya sekitar 300 orang untuk 10 ribuan pelamar," ungkap pengusaha yang merintis usahanya sejak 1988 silam ini. (abe/mat)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 09 November 2009

Label: , , , ,

Siti Fathonah Rachmaniyah Bakal Masuk DPRD

Gaet Kaum Ibu, Ingatkan untuk Contreng Payung

Perubahan aturan dari nomor urut ke suara terbanyak sangat menguntungkan Siti Fathonah Rachmaniyah. Dia kini perempuan satu-satunya yang punya kesempatan besar masuk gedung dewan dengan perolehan suaranya yang besar pula. Bagaimana perjalanannya?

HARI ini merupakan hari spesial bagi Siti Fathonah Rachmaniyah. Parempuan yang akrab disapa Fathon itu akan merayakan hari kelahirannya. Hadiah yang paling berharga di ulang tahun ke-35 ini adalah kepercayaan yang diberikan masyarakat padanya saat mencalonkan diri lewat Partai Persatuan Daerah (PPD) sebagai anggota legislatif dari dapil IV (Konang, Blega, dan Modung).

Dia dan partainya mendapatkan suara yang signifikan untuk mendapatkan jatah kursi dari dapil IV ke DPRD Bangkalan. Total suara yang diperoleh sebanyak 7.418.

Sebelumnya Fathon aktif di bidang konstruksi. Dia memang memiliki latar belakang pendidikan sebagai insinyur di Teknik Sipil Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya. "Dengan latar belakang pendidikan itu, saya sudah terjun ke dunia kontraktor sejak 1992," ujarnya.

Dunia konstruksi baginya adalah tempat terbaik untuk belajar. Terlebih, dia adalah perempuan yang aktif berorganisasi sejak usia sekolah. Bahkan, untuk urusan nyaleg, sesungguhnya dia bukan orang baru. Pada Pemilu 2004 lalu dia juga pernah mencalonkan diri dari PKB.

"Saya dapat nomor urut empat waktu itu. Dukungan untuk saya sebenarnya juga banyak waktu itu. Malah lebih dari caleg yang nomor urut di atas saya," terangnya.

Meski pernah gagal, Fathon masih berani mencoba lagi. Namun, kali ini dia mendapatkan angin segar dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai suara terbanyak. "Saya diuntungkan oleh aturan MK dan lambang partai saya (PPD, Red)," ungkapnya.

Menurut dia, lambang PPD yang berbentuk payung sangat mudah untuk dijadikan image agar selalu diingat. Terutama untuk kaumnya sendiri, ibu-ibu rumah tangga. "Jadi, kalau saya ketemu sama ibu-ibu saya selalu ingatkan agar nyontreng nomor satunya partai payung. Cara mengingatkan mereka dengan mengingatkan fungsi payung yang bisa dipakai saat hujan dan melindungi diri dari terik matahari," jelasnya.

Dia mengaku tak pernah berkampanye secara terbuka. Door to door dianggapnya lebih ampuh daripada melakukan rapat umum. Pengajian-pengajian ibu-ibu pun rajin dia datangi. "Saya pindah-pindah Mas kalau pengajian. Sebentar ada di Blega, lalu Konang, atau Modung," ujar putri pasangan Fathorrahman dan Fathoriyah ini.

Fathon mengaku tidak pernah punya pengalaman buruk saat bersaing mencari dukungan untuk dirinya. "Biasanya kan ada seperti pembagian wilayah. Ini wilayahnya caleg A, ini milik caleg B, lalu tidak boleh dimasuki. Lha wong niatnya baik kok tidak boleh masuk. Lalu, saya masuk ke pengajian ibu-ibunya," katanya lalu tersenyum.

Semua dukungan yang diperoleh Fathon tak lepas dari campur tangan keluarga besarnya. Terlebih dia adalah cucu pertama perempuan di keluarganya. "Pokoknya, anak-anak (saudara, Red) rumah semuanya membantu. Saya juga heran, biasanya mereka minta beli rokok. Untuk urusan kemarin (pemilu) mereka sama sekali tidak minta apa-apa," kata ibu yang dikaruniai dua anak ini.

Bagaimana jika menjadi satu-satunya perempuan di DPRD Bangkalan? "InsyaAllah saya nggak ngeri. Soalnya, saya sudah sering ada di organisasi yang selalu didominasi pria. Meski minoritas, saya tidak akan merasa minoritas karena suara perempuan tidak kalah dengan suara pria," tegasnya.

Dia bertekad akan memajukan kaum perempuan. Selama ini, dia memandang perempuan tidak banyak mewarnai kehidupan sosial politik di Bangkalan. "Apalagi sebentar lagi kan Suramadu selesai. Laki-laki dan perempuan Madura semuanya harus siap," katanya.

Untuk dapilnya dia punya misi lain. Latar belakang pendidikannya sebagai insinyur akan dipakainya untuk membantu kemajuan pembangunan. "Mudah-mudahan di dewan nanti saya bisa banyak membantu pendukung di dapil saya," harapnya. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 25 April 2009

Label: , ,

Andi Noor Tjahja Ketua Laboratorium Fisika Unesa Surabaya

Pengamanan Jembatan Suramadu Harus Ekstra Maksimal

Untuk melindungi keselamatan dan kenyamanan pengendara, pengamanan jembatan Suramadu harus dilakukan secara ekstra maksimal. Karena itu, perlu dibangun ruang operator pengamanan yang permanen. Apalagi, lalu-lintas laut di bawah jembatan Suramadu diperkirakan akan bertambah padat.

KETUA Laboratorium Fisika Unesa Surabaya Andi Noor Tjahja mengusulkan, agar pengelola jembatan Suramadu memasang CCTV di lokasi dan tempat-tempat strategis. Baik di atas maupun di bawah jembatan. Hal tersebut untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan para pemakai jalan.

Andi mengingatkan, pengelola jembatan Suramadu harus mengutamakan keselamatan para pemakai jalan. Mereka harus tegas dan disiplin dalam mengatur arus lalu-lintas. Terutama, saat menghadapi cuaca dan iklim tidak bersahabat yang terjadi di perairan Selat Madura.

Ayah tiga anak kelahiran Bangkalan ini menjelaskan, kemajuan teknologi saat ini sudah sangat canggih. Untuk menghitung kecepatan angin, cukup menggunakan sensor otomatis yang dipasang di tiang-tiang pemancar. Instrumen khusus tersebut, bisa mendeteksi kecepatan angin secara otomatis.

"Kalau kecepatan angin tiba-tiba bertiup kencang, sensor tersebut langsung mengeluarkan warning tanda bahaya kepada para pemakai jalan. Bentuknya bisa menggunakan suara sirine," terang putra pasangan (alm) Moh. Yahya - (almh) RAy Ma'ya ini.

Dosen Universitas Adibuana Surabaya ini menilai, sangat imposible bila perencana proyek dan pengelola jembatan Suramadu tidak menyiapkan alat sensor kecepatan angin. "Di jalan tol saja, ada warning kecepatan maksimal bagi pengendara. Apalagi, berjalan di jembatan di atas laut yang panjangnya mencapai 5.438 meter," jelasnya.

Yang menjadi persoalan sekarang, lanjut Dosen Universitas Terbuka ini, sanggupkah masyarakat Madura mengikuti aturan tersebut. Sebab, selama ini, sebagian masyarakat Madura di daerah perantauan "dicap" memiliki perilaku tidak tertib, sembrono, dan tidak disiplin.

"Image seperti ini harus dirubah. Untuk menjaga keselamatan bersama, semua pengendara bermotor yang melewati jembatan Suramadu harus disiplin dan menaati peraturan yang ditetapkan pihak pengelola," ingat suami Henny Diastuti ini.

Untuk mengembangkan potensi yang ada di Madura, Andi minta agar pemkab proaktif membangun pencitraan yang positif. Khususnya, mengajak serta putra-putra daerah yang sukses meniti karier di luar. Mereka merupakan mutiara yang terpendam. Kalau bisa dikelola dan dikemas secara baik, pasti bermanfaat.

"Tidak ada salahnya, mereka itu diundang dan diajak sharing. Siapa tahu ada masukan yang berharga. Sebagai putra daerah, mereka pasti bersedia membantu. Apalagi, kalau hanya sekadar mengajak calon investor menanamkan modalnya di Madura," ujarnya.

Menurut dia, selama ini komunikasi pemkab dengan putra-putra dearah yang sukses di luar, belum terbentuk dan terjalin secara harmonis. Sebab, bagaimanapun juga, rasa kedaerahan itu masih melekat dalam jiwa mereka.

Jembatan Suramadu merupakan peluang yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh pemkab dan masyarakat Madura, untuk meningkatkan semua bidang kehidupan. Khusus di bidang pendidikan, peningkatan mutu serta sarana dan prasarana pendidikan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi.

"Karena itu, orang tua dan semua elemen masyarakat harus mendorong kemajuan pendidikan di Madura. Mereka harus sadar, bahwa pendidikan merupakan kebutuhan pokok dan investasi untuk masa depan," ingat lulusan S2 Teknik Elektro ITS Surabaya ini. (taufiq rizqon/ed)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 24 April 2009

Label: , ,

Arief Sudjono Ketua Inkindo Madura

Sukses Berkat Bulatnya Tekad dan Keyakinan

Terlahir dari kalangan keluarga kurang mampu, tidak membuat Arief Sudjono kecil hati. Status anak yatim piatu yang disandang sejak usia 15 hari, juga tidak membuatnya patah semangat. Sebaliknya, getirnya pengalaman hidup telah mambuat kakek yang dikaruniai seorang cucu ini berhasil merengkuh kesuksesan.

MENDUDUKI jabatan sebagai Ketua Inkindo Wilayah Madura merupakan bagian dari perjalanan panjang Arief Sudjono. Buktinya, ia kini bisa sukses menjadi orang penting setelah sekian tahun ditempa pengalaman hidup yang cukup pahit. Maklum saja, ia terlahir sebagai anak yatim piatu dari kalangan keluarga kurang mampu.

Sejak kecil hingga duduk di bangku kelas IV sekolah dasar (SD), bapak tiga anak ini dibesarkan neneknya. "Sebab, bapak meninggal dunia saat saya delapan bulan dalam kandungan. Lalu baru 15 hari menghirup udara, ibunda kemudian menyusul," ceritanya.

Didikan sang nenek, membuat Arief Sudjono sebagai sosok yang cerdas dan tangguh. Tapi sayang, ketika kelas IV SD ia juga ditinggal sang nenek. "Saat itu saya hanya hidup sebatangkara. Tapi, tetap percaya diri dan berjuang sekuat tenaga agar bisa terus menuntut ilmu dan kerja serabutan," katanya.

Beberapa pekerjaan yang pernah digeluti Arief antara lain menjadi seorang pembantu, pembuat tempe, penjual tiket, kuli dan mandor bangunan. "Semua pekerjaan kasar ini saya lakukan, supaya bisa sekolah dan menjadi orang sukses," terang pria kelahiran Banyuwangi ini.

Kerja keras Arief Sudjono ternyata tidak sia-sia. Buktinya, dia bisa sekolah hingga menempuh pendidikan di Universitas Brawijaya Malang. Bahkan, keuletannya bekerja mengantarkan Arief Sudjono menduduki jabatan penting di sejumlah perusahaan asal Jepang dan Korea.

Beberapa proyek berskala internasional yang pernah digarap antara lain proyek Bandara Juanda tahap II milik PT Mapa Engineering Korea, proyek PLTU/PLTA Paiton-Probolinggo milik PT Taisee Jepang, proyek Olifin Anyer-Jawa Barat milik PT CAE Jepang, serta proyek perluasan jalan dan penanaman kabel tanah mulai dari Kalimantan Barat hingga Kalimantan Timur milik PT Tomen Cooperation Jepang.

"Selain sempat menduduki jabatan sebagai Engineering Progres Management, saya sempat menempa pendidikan teknik di Osaka Jepang selama 6 Bulan. Alhasil, saya bisa menguasai bahasa Inggris dan Jepang," tuturnya bangga.

Selain itu, ia pernah menangani dan mengendalikan proyek nasional. Sebut saja pembangunan gedung Rektorat Universitas Lampung-Bandar Lampung dan proyek Deklamasi Tuban-Jatim. "Perumahan real estate di Banten milik PT Krakatau Steel juga pernah saya tangani," terangnya panjang lebar.

Berbekal pengalaman tersebut, pada tahun 2008 Arief Sudjono akhirnya mendirikan konsultan bertitel ARLINA Konsultan Teknik Managament. "Arlina itu artinya Arief dan Lina, nama isteri saya yang kebetulan peduli dengan kebangkitan dunia konstruksi di Sampang," jelasnya. (SARI PURWATI)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 23 April 2009

Label: , ,

Ach. Mohyi Ketua AKKSI Cabang Malang

Ekonomi Syari'ah Tak Akan Goyah Diterpa Krisis Moneter

Meski baru dibentuk, peranan Asosiasi Konsultan Keuangan Syari'ah Indonesia (AKKSI) dalam mendorong pertumbuhan aktifitas ekonomi syari'ah sangat terasa. Lebih-lebih, kondisi keuangan perbankan konvensional saat ini mudah 'goyah' diterpa krisis moneter. Sehingga, keamanan dana nasabah kurang terjamin.

KRISIS moneter global yang melanda hampir seluruh perbankan konvensional saat ini, menyadarkan kita untuk mencari dan memilih alternatif aktifitas ekonomi yang halal dan aman. Sehingga, dana nasabah yang tersimpan di bank terjamin.

"Memang, bank konvensional lebih dikenal luas oleh masyarakat. Sehingga, dibutuhkan waktu untuk mengubah image bank konvensional yang sudah lama mengakar di tengah-tengah masyarakat," ujar Ketua AKKSI Cabang Malang, Ach. Mohyi.

Mantan Pembantu Dekan I FE UMM ini menjelaskan, manajemen bank syari'ah tidak akan pernah 'goyah' oleh terpaan krisis moneter global. Sebab, pembagian keuntungannya menggunakan prinsip bagi hasil atau mudharobah dengan mengedepankan kejujuran.

"Alhamdulillah, sekarang penilaian masyarakat terhadap bank syari'ah terus meningkat. Bahkan, di Jakarta sebagian nasabahnya adalah masyarakat non-muslim. Ini membuktikan bahwa aktifitas ekonomi syari'ah bisa diterima oleh semua kalangan," jelas putra pasangan (alm) Madura - (almh) Na'imah ini.

Staf Ahli Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) UMM ini mengakui, sosialisasi aktifitas ekonomi syari'ah kepada masyarakat luas masih belum maksimal. Sehingga, mereka kurang begitu akrab dan mengetahui lebih jauh tentang keuntungan dan kemaslahatan ekonomi syari'ah.

Pembukaan kantor cabang bank syari'ah baru di daerah terpencil yang masih terbatas, membuat masyarakat semakin sulit mengubah image bank konvensional yang sudah lama mengakar. Padahal, keamanan dana nasabah lebih terjamin. Biaya administrasinya juga jauh lebih murah dibanding bank konvensional.

Menurut bapak tiga anak kelahiran Sampang 7 Februari 1966 ini, prinsip utama bank syari'ah adalah beraktifitas ekonomi secara halal. Prinsip tersebut perlu ditanamkan kepada masyarakat Madura, yang selama ini dikenal sebagai masyarakat yang sangat agamis dan religius.

"Yang menarik, keberadaan bank syari'ah di Provinsi Bali justru berkembang pesat. Omzetnya juga terus meningkat. Ini membuktikan bahwa ekonomi syari'ah bisa diterima oleh nasabah non-muslim," terang dosen teladan Kopertis Wilayah VII Jawa Timur tahun 2007 ini.

Mohyi optimistis, prospek ekonomi syari'ah pasca beroperasinya Jembatan Suramadu akan meningkat. Kultur masyarakat Madura yang religius, merupakan modal awal yang sangat mendukung.

Selain dikenal islami, masyarakat Madura dikenal suka menabung. Khususnya, sebagai bekal untuk menunaikan ibadah haji. "Kalau menabung untuk bekal ibadah, tentu cara-cara yang ditempuh harus halal dan sesuai dengan syariat Islam," ingat staf ahli Badan Kendali Mutu Akademik (BKMA) UMM ini.

Menyongsong beroperasinya jembatan Suramadu, pengembangkan SDM di Madura harus digarap secara serius. Sebab, selama ini, banyak orang-orang Madura yang SDM-nya bagus, memilih mengembangkan diri dan meniti karier di luar Madura.

Karena itu, dia berharap agar tokoh-tokoh Madura yang sukses meniti karier di luar Madura, bisa memberikan kontribusi pemikiran. Khususnya, mendorong terjadinya perubahan yang positif. "Sehingga, diharapkan bisa mengantisipasi kekagetan perubahan budaya, bila Madura benar-benar menjadi kawasan industri baru di Jawa Timur," harap suami Elok Maisyaroh ini. (taufiq rizqon/edi kurniadi)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 28 Maret 2009

Label: , ,

Djoko Diminta Lebih Terbuka

DPRD soal Temuan PLTMG

Penemuan energi listrik tenaga mekanikal gravitasi (PLTMG) oleh Djoko Pasiro, warga Jalan Pongkoran, Kota Pamekasan, terus menjadi perhatian. Sebab, jika penemuan tersebut benar dan dapat dipertanggungjawabkan akan sangat berguna bagi pengembangan teknologi.

Namun, penemuan tersebut tidak bisa terus menerus 'disembunyikan'. Sebab, selain dikhawatirkan sama seperti temuan blue energy di Nganjuk oleh Djoko Suprapto, sebuah temuan memang harus diuji terlebih dahulu. Demikian disampaikan anggota Komisi B DPRD Pamekasan, Abdillah Fuad Kuddah, kepada wartawan kemarin siang.

Menurut dia, temuan Djoko perlu mendapat apresiasi. Namun, di sisi lain Djoko harus bisa lebih terbuka. Sebab, hal itu akan berkaitan dengan temuan yang bersangkutan sendiri.

"Sulit rasanya jika tidak ada penjelasan ilmiah untuk publik percaya. Untuk itu, saya kira Djoko harus bisa terbuka," katanya.

Soal kekhawatiran takut dijiplak, Djoko diminta tidak perlu khawatir. Sebab, tidak mudah untuk membuat sebuah rekayasa teknologi. Apalagi, teknologi dimaksud masih tergolong baru. "Misalnya, Djoko presentasi kepada kami di DPRD soal temuannya. Nanti kan bisa jelas, apa memang bisa dikembangkan atau tidak," tandasnya.

Sejauh ini, menurut Abdillah, energi gravitasi memang hanya bertahan pada titik seimbang. Makanya, jika temuan Djoko memiliki pandangan lain, sebaiknya ada presentasi mengenai hal tersebut agar tidak ada kecurigaan publik.

Di sisi lain, Abdillah juga meminta pemkab agar tidak gegabah membantu menguruskan hak cipta dan hak paten bagi Djoko sebagai bagian HAKI (hak atas kekayaan intelektual). "Kalau tidak diuji dulu, minimal ada presentasi yang ilmiah dan logis, khawatir nanti gagal. Saya kira, kalau memang sudah layak, publik pasti mengapresiasi," katanya.

Sebelumnya, staf ahli bidang kesejahteraan masyarakat Abd. Razak Bahman selaku pemegang mandat dari bupati untuk bertanggung jawab dalam hal pengurusan HAKI, menyatakan akan mengajukan dana kepada DPRD.

Sementara itu, Djoko tetap terkesan "menutup" diri dengan temuannya. Indikasinya, ketika diminta menjelaskan lebih jauh, dia memilih diam. Alasannya, pihaknya masih menunggu hak cipta dan hak paten yang akan diurus oleh pemkab.

Hal itu disampaikan dalam beberapa kali wawancara dengan koran ini. Terakhir, Djoko mengatakan, temuannya memang tidak sama dengan prinsip energi pada umumnya. Sayangnya kemarin koran ini kesulitan menghubungi telepon selulernya untuk menanyakan soal harapan DPRD agar dia lebih terbuka. (zid)

Berita Terkait:

Sumber: Jawa Pos, Senin, 09 Februari 2009

Label: , , , ,

Menyimpang dari Kekekalan Energi

Soal Temuan PLTMG Djoko Pasiro

Penemuan pembangkit listrik tenaga mekanikal gravitasi (PLTMG) oleh Djoko Pasiro, 40, mulai menuai keraguan. Temuan itu dinilai menyimpang dari hukum kekekalan energi.

Salah satu yang meragukan temuan Djoko adalah M. Mahfud, pegiat dan peneliti bidang mesin dan elektro. Alasan Mahfud, dilihat dari kacamata ilmiah dan teori fisika, temuan Djoko tidak ada yang baru.

Alumni Fakultas Tehnik Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang 1988 itu menilai, ciptaan Djoko sebatas angan-angan tanpa ada penyebabnya. Padahal, seharusnya ada reaksi, ada aksi.

"Energi itu tidak bisa dibuat atau diciptakan, melainkan pemindahan energi menjadi energi yang dibutuhkan. Kalau tenaga gravitasi itu kan terkesan menciptakan energi," kata Mahfud saat ditemui koran ini kemarin.

Padahal, jelas pria asal Lumajang ini, energi gravitasi identik dengan energi potensial yang tidak mampu menghasilkan energi besar. "Meskipun bisa, tapi membutuhkan biaya besar. Bahkan lebih besar dari manfaatnya, karena kekuatannya terbatas," urainya.

Dijelaskan, temuan Djoko yang disebut tenaga gravitasi itu tidak ada bedanya dengan cara kerja jam dinding atau jam tangan yang tanpa menggunakan baterai. Tapi membutuhkan energi lain, yaitu per alias pelat atau beban untuk memutar jarum jam dan gandulan.

"Energi untuk memutar roda gila yang dikomparasikan terhadap gear perputaran rendah mencapai perputaran cepat, tetap membutuhkan energi untuk bisa memutar sampai 360 derajat," katanya.

Menurut Mahfud, meskipun tenaga mekanikal gravitasi yang disebut Djoko tidak membutuhkan BBM (bahan bakar minyak), perputaran tersebut tetap akan berhenti setelah mencapai titik seimbang. Dari titik seimbang itulah untuk memutar kembali mekanikal agar menghasilkan energi listrik juga membutuhkan energi lain.

"Kalau masih membutuhkan PLN atau tenaga manusia, ya sama saja bohong. Termasuk Nuklir, itu tidak lantas tenaga nuklir, melainkan berasal dari uranium," tandasnya.

Mahfud mengakui hasil kreatifitas Djoko perlu diacungi jempol dan diberi apresiasi khusus. "Tapi sayang, tidak didasari teori fisika sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah," katanya.

Sementara Djoko Pasiro mengaku temuannya tersebut berbeda dengan teori ilmiah fisika pada umumnya. Kata dia, PLTMG tidak sama dengan hukum kekekalan energi.

"Ini temuan energi baru. Jadi, mereka yang tidak paham tentang temuan saya pasti mengatakan seperti itu. Padahal, temuan ini tidak berdasarkan teori pada umumnya," kata Djoko.

Disinggung untuk mengembalikan energi saat mencapai titik seimbang, dia menjelaskan, justru titik seimbang itulah yang dijadikan energi baru, bahkan kekuatan menjadi dua kali lipat.

"Makanya, saya katakan ini temuan baru. Sebab, yang diketahui secara umum energi gravitasi itu terbatas. Namun, PLTMG ini tidak terbatas. Sehingga sebagian orang menilai menyimpang dari hukum kekekalan energi. Dan, memang ini tidak sesuai dengan teori tersebut," tandasnya.

Namun, Djoko enggan menjelaskan secara detail cara kerja, gaya, dan sifat energinya. Dia beralasan, mengantisipasi terjadi penjiplakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

"Saya tidak bisa menjelaskan sekarang. Setelah proses HAKI (hak atas kekayaan intelektual) mencapai titik akhir, saya siap menjelaskan secara ilmiah," tandasnya. (nam/mat)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 07 Februari 2009

Label: , , , ,

Djoko Pasiro,
Sang Penemu Listrik Tenaga Gravitasi (2-Habis)

Buat Helikopter dari Mesin Vespa, Tekuni Filosofi Einstein

Djoko Pasiro tidak pernah puas dengan suatu karya. Dia tidak hanya bereksperimen tenaga listrik tenaga gravitasi saja. Ada banyak karya lain yang pernah dan sedang dikembangkan. Apa saja?

BAGI orang yang baru kali pertama bertemu, Djoko terkesan kurang meyakinkan. Namun, ketika dia mulai bicara soal sebuah temuan dan karya berbasis teknologi, kemampuan dan kelebihannya mulai tampak.

Begitu pula kesan pertama saat Djoko bertemu Bupati Pamekasan Kholilurrahman pada Senin 2 Februari lalu. Penampilannya yang kalem dan sederhana sempat membuat sejumlah wartawan melihat sebelah mata. Namun, itu tidak berlangsung lama.

Ketika bapak dua anak itu mulai mengenalkan temuannya, dia terlihat meyakinkan. Djoko juga tidak segan untuk menjelaskan dengan bahasa teori yang ilmiah. Seperti dengan penjelasan yang sedikit berbau fisika.

Bahkan, dia juga tak segan berbicara secara teoritik tekstual. Sejumlah wartawan sampai kebingungan sendiri saat Djoko menjelaskan temuannya itu. "Sedikit banyak saya tahu rumus-rumus fisika modern, " ujarnya sambil melirik bupati.

Dari penjelasannya kepada wartawan, Djoko mengaku tidak hanya mengembangkan tenaga listrik gravitasi. Dia juga tengah dan akan terus mengembangkan sejumlah temuan. Misalnya, pembuatan kompor tanpa BBM (bahan bakar minyak), mobil listrik, micro helikopter hingga kapal layang.

Namun, dari sekian garapannya Djoko masih konsentrasi pada pengembangan penemuan energi listrik tenaga grativitasi. "Lainnya hanya bersifat pengembangan. Semua itu sudah pernah uji coba dan hanya bergantung kepada modal saja. Kalau punya modal, kapan saja bisa buat, " terangnya.

Pembuatan kompor tanpa BBM, misalnya. Menurut Djoko, cara kerjanya sangat sederhanya, mirip-mirip dengan energi listrik tenaga gravitasi. "Secara prinsip hampir sama, yakni mengandalkan kumparan untuk mengubah energi listrik menjadi energi panas, " katanya.

Sedangkan mobil listrik, micro helikopter, dan kapal layang diakui juga sudah pernah diujicobakan. "Untuk mobil listrik yang pernah kerjasama dengan salah satu STM di Sampang itu. Begitu juga helikopter. Ini juga sudah pernah uji coba di Batuan, Sumenep, dua tahun lalu, " ungkapnya.

Ditanya secara mendalam tentang cara kerja micro helikopter, Djoko secara gamblang memberikan penjelasan. Menurut dia, pembuatannya memang cukup rumit. Sebab, harus menggunakan rotor khusus yang fleksibel.

"Helikopter itu kan kekuatannya pada rotor. Rotor yang bisa mengangkat badan, membelokkan bodi, dan maju mundur maupun turun naik, " terangnya.

Untuk bisa membuat micro helikopter, Djoko mengaku hanya membutuhkan biaya sekitar Rp 5 juta. Itu digunakan untuk membeli mesin vespa baru, membuat baling-baling dari baja, kerangka dari besi khusus cor-coran, maupun panel. "Tapi, itu di luar biaya kerja lho, " katanya lalu tersenyum.

Apa yang mendasari Djoko bisa bereksperimen tentang teknologi? Menurutnya, teknologi bisa ditemukan dan dikembangkan sesuai kemampuan manusia. Itu bergantung kepada kemauan dan kerja keras dari masing-masing pribadi.

"Saya percaya semua upaya pasti akan menghasilkan sesuatu. Termasuk, dalam hal teknologi. Einstein (Albert Einstein,Red) saja sukses setelah gagal, tetapi terus berusaha, " ujarnya.

Djoko menambahkan, untuk pengembangan teknologi juga dibutuhkan biaya besar. Selain itu, diperlukan keseriusan untuk mengembangkannya. "Saya saja, biaya eksperimen itu tidak langsung dalam jumlah besar. Saya kumpulkan uang hasil servis bertahun-tahun baru sukses kembangkan energi listrik tenaga gravitasi," pungkasnya. (AKHMADI YASID)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 05 Februari 2009

Label: , , , ,

Djoko Pasiro,
sang Penemu Listrik Tenaga Gravitasi (1)

Eksperimen Sejak 1980-an, Habiskan Rp 65 Juta

Semula, Djoko Pasiro mungkin bukan siapa-siapa. Dia hanya tukang servis barang-barang elektronik. Namun, sejak dia menemukan listrik tenaga gravitasi namanya mulai dikenal. Dan, kini dia mulai banyak diperhitungkan.

MENYANDANG predikat sebagai lulusan STM (jurusan elektronik), Djoko-sapaan akrabnya-mungkin tidak bisa membanggakan diri. Sebab, dia hanya lulusan pendidikan menengah yang cenderung dipandang sebelah mata.

Tapi, siapa sangka jika di balik itu tersimpan potensi besar pada diri Djoko. Dia bukan saja mampu mengaplikasikan ilmunya saat didapat dari bangku sekolah dulu (sekitar tahun 1987), namun lebih dari itu Djoko juga punya kemampuan terpendam.

Tak heran, sampai-sampai Bupati Pamekasan Kholilurrahman menyebutnya sebagai mutiara terpendam. Hal itu seakan semakin dibenarkan dengan sikap Djoko yang kalem dan santun. Kesederhanaan juga sangat tampak dalam kesehariannya.

Tinggal di sebuah gang dengan rumah apa adanya, tak membuat Djoko mati kreatifitas. Dari rumahnya yang terlihat (maaf) kumuh, dia mampu melahirkan ide-ide teknologi terapan. Dari tempat tinggal sederhananya itu pula dia mampu bereksperimen sebuah teknologi.

Dari keterangannya, Djoko lahir di Pontianak 40 tahun silam. Ketika itu, orang tuanya yang anggota polisi memang bertugas di Pontianak selama beberapa tahun. "Tapi, saya kecil sampai besar di Pamekasan," tuturnya kalem.

Djoko mengakui, sejak kecil memang suka dengan elektronika dan mesin. Itu dibuktikan dengan keberaniannya sejak SD mengotak-atik barang-barang elektronik milik keluarganya.

"Sejak kecil sudah penasaran dengan lampu sepeda pancal yang menempel pada roda. Menurut saya ketika itu, bagaimana bisa hanya dengan alat pemutar sederhana bisa menjadi lampu," katanya.

Bakatnya mulai makin terlihat ketika Djoko masuk usia SMP. Ketika itu, dia makin sering mengotak-atik barang elektronik seperti radio, TV, dan lainnya. "Sejak STM saya sudah bisa menyervis radio maupun TV. Sejak itu pula saya mengenal banyak ilmu elektro," ungkapnya.

"Bahkan, guru saya di STM saja sering membawa TV ke rumah untuk diperbaiki. Itu karena mungkin melihat bakat saya," imbuhnya.

Pada saat kelas 2 STM, Djoko mengaku sudah bisa merangkai parabola manual. "Ketika itu memang yang ada hanya manual. Digital itu kan baru-baru ini," terangnya.

Puncaknya ketika lulus STM. Keinginannya untuk mengembangkan teknologi semakin menjadi. Termasuk, dalam menjawab rasa penasarannya melihat lampu sepeda pancal yang digerakkan hanya dengan pemutar sederhana saat SD.

"Sejak akhir 80-an saya mulai berpikir tentang mekanik gravitasi. Tapi sering terkendala. Sebab, saya juga harus melayani servis elektronik dan mesin warga yang datang," katanya.

Meski sibuk dengan pekerjaan sebagai tukang servis, Djoko tetap berpikir tentang bagaimana caranya membuat energi dengan gravitasi. "Bertahun-tahun saya tinggalkan eksperimen. Baru pada akhir 1990-an saya mulai mencoba lagi," tuturnya.

Dan, pada 2004 silam, Djoko mulai bereksperimen dengan banyak teknologi. Salah satunya membuat mobil listrik. Ketika itu dia menjalin kerjasama dengan salah satu sekolah teknik di Sampang.

"Contoh mobil listriknya sudah jalan dan pernah dicoba di area Monumen Arek Lancor. Namun karena konsensus tidak jelas, akhirnya saya hentikan. Bahkan, ketika itu sudah sampai dikirim ke Jakarta oleh sekolah tersebut untuk dikembangkan di Depdiknas," terangnya.

Dari pembuatan mobil listrik inilah muncul ide Djoko membuat teknologi baru agar menghasilkan energi. "Sejak itu memang saya konsentrasi menciptakan energi mekanik gravitasi. Upaya itu butuh kesabaran. Sebab, baru sekitar 2008 berhasil. Dan, ketika itu sudah ada teman mengupayakan pengembangan ke Jogjakarta. Tapi gagal karena saya dirugikan," ungkapnya.

Djoko mengakui, untuk bisa menghasilkan energi listrik tenaga mekanik gravitasi tak terhitung biaya yang sudah keluar. "Seingat saya, sampai akhirnya sukses tak kurang dari Rp 65 juta habis. Itu hanya untuk biaya eksperimen," tuturnya. (AKHMADI YASID)(bersambung)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 04 Februari 2009

Label: , , ,

Belajar IPA via Karapan Sapi

SALAH seorang guru berprestasi, yang diidamkan dunia pendidikan di Bangkalan adalah Drs Imam Muslich, guru IPA SD Pejagan 2 Bangkalan. Imam merupakan salah satu finalis lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran tingkat nasional tahun 2008.

Ia satu-satunya peserta guru SD dari Madura, di antara 6 peserta tingkat SD dari Jawa Timur. Lomba yang diadakan setiap tahun ini diselenggarakan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional.

Sosok guru seperti Imam tidak hanya mengajar secara teoritis di depan para siswanya. Saat mengajarkan tentang pengaruh gaya pegas dan gaya gesek pada benda misalnya, Imam menggunakan alat peraga berupa sapi-sapian.

Tengoklah bagaimana Imam saat mengajar 40 siswa kelas VI di SDN Pejagan 2 Bangkalan. Awalnya, para siswa diajak bergotong-royong memindahkan beberapa meja. Gabungan meja itu dijadikan arena permainan karapan sapi-sapian.

Sapi-sapian itu terbuat dari pecahan genteng (tembikar), sementara kayu kecil untuk keleles (pasangan)-nya, juga ada pegasnya dari karet.

Tembikar ini ada yang dibuat bulat total. Lainnya bulat bergerigi dua, bulat bergerigi empat, dan bulat bergerigi enam dan delapan. Gerigi ini untuk membuktikan daya geseknya.

Siswa dengan bergerombol di pinggir arena karapan sapi, bersiap-siap membuktikan teori pelajaran IPA yang telah didapat. Guru Imam Muslich meminta beberapa siswa agar agar memutar gerigi yang dihubungkan dengan pegas di keleles karapan sapi. Pertama dengan putaran 5, 10, 15.

Dalam praktik itu, tembikar yang digunakan polos. Semakin banyak memutar pegas, semakin cepat lari sapi-sapian itu.

“Ini apa artinya?” tanya Imam. “Semakin banyak pegas diputar semakin kuat pengaruhnya," jawab seorang murid.

Sedang untuk membuktikan gaya gesek, tembikar yang digunakan bergerigi 2, 4, 6, dan 8. Semakin banyak gerigi tembikar, gerakan sapi-sapian semakin lambat. “Ini pengaruh dari gaya gesekan,” terang Imam.

Metode mengajar yang diterapkan Imam ternyata menyedot perhatian siswa. Siswa pun terlihat tidak bosan karena diajak belajar sekaligus bermain sapi-sapian. Apalagi karapan sapi demikian melekat pada keseharian masyarakat Madura.

Kebetulan pada praktik teori pengaruh gaya pegas dan gaya gesek, disaksikan Kadinas Pendidikan, Drs H Setijabudi NK, MM, Kepala Sekolah SDN Pejagan 2, Drs Jumali.

Kepala Dinas Pendidikan Bangkalan, Drs H Setijabudi NK MM mengatakan, keikutsertaan salah satu guru SD di Bangkalan dalam lomba tingkat nasional, membawa nama baik daerah ini terutama di dunia pendidikan. “Ini juga berkat peran serta Bapak Bupati Fuad Amin yang selalu memberikan dorongan pada guru agar bisa berprestasi dengan baik,” katanya. (kas)

SSumber: Surabaya Post, Rabu, 17 Desember 2008

Label: , , ,

Kulit Bersih Nilai Tambah Kecantikan

Wajah cantik akan berkurang nilainya jika tidak ditunjang dengan kulit yang bersih. Untuk itu, luluran, kata Poeng, sebaiknya tidak hanya dilakukan sebagai tradisi menjelang pernikahan. Tapi, sebaiknya, luluran menjadi rutinitas bagi semua perempuan yang ingin tampil cantik.

Meski tidak ke salon, Poeng selalu merawat kebersihan kulitnya dengan menggosokkan lulur ke seluruh badan seminggu sekali. "Tapi, jika tidak ada waktu, sebulan dua kali sudah cukup," kata pemilik rias pengantin Tri Purnama itu.

Urusan lulur, Poeng mengaku lebih suka melakukan sendiri di rumah. Lulur dengan bahan alami kunyit, bengkuang, dan temu giring merupakan andalan Poeng. Saat luluran, yang wajib diperhatikan adalah cara mengoleskan adonan lulur ke kulit. Poeng terbiasa menekan-nekan lulur agar daki yang menempel di kulitnya rontok.

Untuk perawatan wajah, Poeng mewajibkan diri membersihkan muka sebelum dan sesudah make-up. "Kalau sebelum, biar make-up-nya bisa menempel dengan bagus. Kalau sesudah, ya biar wajah nggak kena masalah. Jerawat misalnya," ujarnya.

Tidak menggunakan foundation dan bedak secara tebal diungkapkan Poeng merupakan cara praktis menjaga wajah dari jerawat. "Pipi saya alhamdulillah nggak pernah ada masalah," tuturnya.

Untuk mendukung kebersihan penampilan, Poeng juga sangat memperhatikan kondisi rambut. Perempuan, lanjut dia, akan terlihat cantik jika rambutnya ditata dengan rapi. Poeng tidak suka melihat orang tua yang rambutnya panjang dan dibiarkan terurai. Kesannya kusut. "Karena itu, saya potong pendek. Gampang ngatur-nya. Apalagi, saya pakai kerudung. Kalau panjang, jadi lembap dan bikin cepat apek," kata pemilik hobi jalan-jalan itu. (dha/ayi)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 03 November 2008

Label: , ,

Riano Dwi Permana
Pengusaha Muda Restoran

Cucu Residen Terakhir Madura

Tak ada batasan bagi warga Madura yang ingin merantau ke luar pulau. Jika keluarga memerbolehkan, maka tak ada alasan untuk mengurungkan niat mengembangkan diri di luar Madura. Tidak hanya masyarakat jelata, jika mau putra-putri golongan elit pun bisa hijrah kemana pun mereka mau dan menghasilkan keturunan di tempat barunya. Tujuannya tidak lain untuk memerbaiki hidup di masa depan bagi diri dan keluarganya.

SIANG itu Riano D. Permana, SE. berencanakan merekrut tenaga kerja baru untuk usaha restorannya, khas makanan Madura. Sebab, beberapa bulan sebelumnya pria yang akrab disapa Riano itu berhasil menemukan tempat baru untuk mengembangkan usaha yang dia rintis sejak tahun 2006 lalu. Tak heran, dengan tempat baru yang lebih luas dan untuk memberikan layanan yang cepat pada pelanggannya, dia harus memiliki karyawan yang cukup banyak dan tentunya berkualitas.

Saat dihubungi, awalnya Riano meminta agar Koran ini datang pukul 11.00. Namun, tanpa basa-basi dia langsung setuju ketika Koran ini mengusulkan pertemuan sejam lebih awal. Bertempat di Jalan Semolowaru III/23, Koran ini tak melihat adanya aktivitas bisnis makanan. Sebab, tak mungkin didirikan restoran di rumah mungil nan sederhana itu.

"Mari masuk Mas, ini kantor saya. Nah, yang di sebelah ini rumah orangtua saya," terangnya saat ditanya dimana letak usaha restoran makanan khas Madura miliknya. Ternyata, letak restorannya hanya beberapa kilometer dari kantor yang sekaligus rumah orang tuanya itu.

Riano bukan keturunan Madura yang dilahirkan di Madura. Namun, jika dia bisa memilih tempat untuk dilahirkan, maka dia akan memilih Madura. Pasalnya, kecintaan dia dan kedua orang tuanya begitu kuat pada pulau garam itu. Meski tinggal di Jawa (Surabaya), tradisi kemaduraan terus dihidupkan dalam keluarga itu.

Terjaganya tradisi kemaduraan yang religius dalam keluarga Riano bukanlah tanpa alasan. Ayahnya adalah anak dari residen terakhir Madura, ketika wilayah timur provinsi Jawa Timur ini dibagi secara administratif dalam bentuk karesidenan. Berarti Riano adalah cucu residen Madura yang namanya kini dipakai untuk nama stadion di Pamekasan, R Soenarto Hadiwidjojo.

"Kemaduraan di keluarga saya ini sangat kental. Pertama, karena papa saya berasal dari Pamekasan, anak residen Madura terakhir. Lalu, mama adalah keponakan langsung dari Pak Noer (Mohammad Noer, Red.) mantan gubernur Jawa Timur asal Sampang," terangnya.

Menurut dia, suasana Madura di keluarganya begitu terasa ketika dia selalu mendapati orang tuanya berkomunikasi dengan bahasa Madura. Meski tak bisa berbahasa Madura, dia mengaku mengerti betul apa yang disampaikan orang tuanya dalam bahasa Madura. Begitu juga jika dia berhadapan dengan orang Madura yang menggunakan bahasa daerah.

"Saya kan memang lahir dan besar di Surabaya, lingkungan kebanyakan berinteraksi dengan orang Jawa. Tapi, kalau papa-mama atau orang lain asal Madura berbicara dengan bahasa Madura, saya tahu apa maksudnya. Nah, untuk membalas pakai bahasa Madura juga saya khawatir salah," ungkap alumni IESP Unair Surabaya ini.

Kesibukan kedua orang tuanya yang pengusaha dan dosen, membuatnya tak punya banyak kesempatan untuk berkumpul dengan keluarganya di Madura. Terlebih, keluarga mantan birokrat masa kemerdekaan ini sudah banyak ke luar Madura. Satu-satunya kesempatan untuk bisa berkumpul dan mengenali sanak keluarganya di Pamekasan, Riano harus mengikuti ritual pulang kampung setiap Lebaran tiba. "Kalau Lebaran, baru bisa kumpul semua. Itu pun kadang-kadang belum lengkap juga. Yang masih banyak di Pamekasan itu saudara-saudara dari ibu, dari ayah ada juga sebagian," ujarnya.

Baginya, ritual yang tidak kalah menarik ketika mengunjungi kampung halaman orang tuanya di Pamekasan adalah nyekar ke komplek makam keluarga. Di sana dia bisa mengetahui silsilah keluarganya. Tak heran, dia begitu bangga ketika mengetahui nama kakeknya dijadikan nama sebuah stadion di Pamekasan. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 27 Oktober 2008

Baca juga:
Berusaha Dengan Visi

Label: , , ,

Hj. R Ayu Tafrah

Merantau ke Surabaya agar Bisa Mandiri

BANYAK alasan mengapa orang Madura memutuskan hijrah ke luar pulau. Ada yang ingin memeroleh rejeki lebih. Ada pula yang pindah karena kurang mendapatkan kesempatan meneruskan cita-cita belajarnya. Tapi, ada yang memutuskan hijrah keluar pulau dengan tujuan belajar mandiri. Karena hidup diyakini bisa meningkatkan kematangan dan kedewasaan berpikir seseorang.

Dorongan seperti itulah yang diberikan R Mohammad Syafii, ayah Hj. R Ayu Tafrah, wanita kelahiran Pamekasan 12 September 1944 ini. Sehingga, keinginan untuk mendiri tertanam dalam diri Tafrah. Nah, saran mendiang ayahnya itulah yang membulatkan tekadnya untuk hijrah dan mengajar di Surabaya.

Menurut pensiunan guru olahraga ini, sebagai anak terakhir dari tiga bersaudara, dia merasa sebagai sosok yang sangat manja. Namun, hal itu tidak terlepas dari perlakuan kedua orang tuanya yang kerap mengabulkan semua permintaannya. Perlakuan orang tuanya terus dirasakan hingga dia lulus sekolah guru pendidikan jasmani negeri di Pamekasan. Akhirnya memeroleh pekerjaan di Sumenep yang dijalani 1,5 tahun.

"April 1967 saya sudah menjadi pegawai negeri dan mengajar di Sumenep. Karena terbiasa tidak melakukan semuanya sendiri, saya selalu membeli makanan dan membawa baju-baju kotor ke rumah Pamekasan. Tapi, ayah dan ibu saya tidak suka melihat itu, karena seharusnya saya bisa memasak dan mencuci baju sendiri," tuturnya saat ditemui wartawan koran ini di rumahnya Jalan Jetis I/57B.

Meski terkesan remeh, orang tuanya menganggap kebiasaan itu tidak baik untuk masa depan Tafrah. Karena itu, orang tuanya meminta bantuan pamannya, KH Alwi Ridho yang saat itu menjadi Dekan di IAIN Sunan Ampel Surabaya. "Saya diajak mengajar di IAIN. Karena bukan lulusan S1 saya tolak. Tidak mungkin bukan sarjana mengajar calon sarjana," katanya tersenyum.

Lalu, pamannya berinisiatif memasukkan Tafrah ke sebuah yayasan pendidikan Islam. "Waktu itu namanya masih Muallimat. Beberapa tahun kemudian, nama diganti Siti Khadijah," terangnya.

Menurut pecinta bunga anggrek ini, untuk bisa masuk dan menjadi tenaga pengajar di Siti Khadijah bukan hal mudah. Beruntung, pamannya punya hubungan baik dengan kepala sekolah yayasan tersebut. Atas rekomendasi pamannya, dia diterima sebagai guru olahraga.

Sejak itulah Tafrah mulai hidup sendiri dan harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Mau tak mau harus bisa memasak dan mencuci sendiri. Bahkan mencari tambahan untuk biaya hidupnya sendiri. "Saya bersyukur, ternyata maksud orang tua memindahkan saya ke Surabaya agar saya bisa mandiri," ungkapnya.

Dari hari ke hari dia jalani tanpa beban. Dia menganggap, selain bekerja, dia berusaha mengabdikan hidupnya pada agama. "Kalau orang lain mungkin berat. Sebab, saya satu-satunya guru olahraga perempuan waktu itu dan mengajar seluruh kelas SMP. Kan dipisah laki-laki dengan perempuan," terangnya.

Akhirnya, pada usia 60, tepatnya 2004, dia pensiun sebagai guru olahraga. Tapi, dia bersyukur bisa bertahan di Siti Khadijah hingga masa baktinya habis. Sebab, beberapa guru yang diangkat bersamaan dengannya banyak yang dipindah ke sekolah-sekolah umum di Surabaya dan daerah lain. "Saya nggak minta. Tapi memang terus di Khadijah sampai pensiun," tegasnyai. (nra/tra)


Tekankan Disiplin, Tak Pernah Terlambat Mengajar

YAYASAN Pendidikan Islam Siti Khadijah menjadi salah satu sekolah yang memiliki banyak siswa. Mereka tidak hanya berasal dari pulau Jawa. Tapi dari luar pulau juga banyak. Seperti dari Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Madura. Sehingga, tidak heran jika yayasan pendidikan dengan latar belakang Nahdatul Ulama (NU) ini menjadi salah satu sekolah terbesar dan favorit di negeri ini.

Pendidiknya juga berasal dari beraneka ragam suku bangsa. Prulalisme yang diikat dalam satu keyakinan dan tujuan bersama untuk mencerdaskan umat sangat kental dalam lingkungan yayasan pendidikan di Jalan A Yani, Surabaya ini.

Salah seorang pendidik yang bertahan sebagai guru adalah Hj. R Ayu Tafrah. wanita kelahiran Pamekasan 12 September 1944 ini mendapatkan kepercayaan sebagai guru olahraga di sekolah tingkat menengah (SMP). Sebab, latar belakang pendidikannya keolahragaan.

Sejak kecil, kecintaan terhadap berbagai macam olahraga membuatnya enjoy dengan profesi sebagai guru olahraga. Selain mengajar, dia kerap mengajak anak didiknya melakukan permainan yang bertujuan menyegarkan jasmani mereka. "Kalau jasmaninya segar, pasti rohaninya juga akan segar. Jadi, mereka bisa lebih siap menerima dan menyerap pelajaran-pelajaran di sekolah. Itu untuk menghindari stres pada siswa," tuturnya.

Meski demikian, dia tetap menekankan pentingnya disiplin di tengah kesenangannya mengajar olahraga sambil bermain. Namun, guru disiplin seperti dia seringkali mendapatkan protes dari anak-anak didiknya. Namun, setelah tahu pentingnya menghargai waktu, murid datang menyampaikan rasa terima kasih dan penghormatan kepadanya.

"Saya sering ketemu dengan murid-murid di berbagai kesempatan. Mereka selalu mengungkapkan rasa terima kasih terhadap apa yang saya lakukan (menekankan pentingnya disiplin, Red). Sebab, saya tidak segan memberi sanksi kepada murid yang terlambat datang saat pelajaran olahraga," papar wanita yang sudah 8 kali menunaikan ibadah haji ini.

Untuk memberi contoh kepada siswanya, sejak kali pertama mengajar sebagai guru, dia tidak pernah sekalipun terlambat datang ke sekolah. Sebelum menikah dan masih tinggal di rumah kos, dia berangkat ke sekolah usai menunaikan salat Subuh. "Saya sering ditanya imam salat di musalla tempat berjemaah. Kenapa terburu-buru pergi setelah salat subuh?. Saya jawab, supaya tidak keduluan murid," ungkapnya.

Begitu juga setelah dia menikah dengan H. Mas Mohammad Ismail Yahya dan tinggal di Bangkalan. Selama 13 tahun dia pulang pergi Surabaya-Bangkalan setiap hari. "Saya tetap tidak mau terlambat. Jadi setelah salat Subuh, tanpa wiridan saya berangkat ke Surabaya," terang nenek 10 cucu dari 8 anak sambung ini.

"Alhamdulillah, setelah lama di Bangkalan, suami saya membeli tanah dan membangun rumah di Surabaya. Saya bisa lebih tenang bertugas dan melakukan aktivitas lain di samping mengajar," ulasnya. (nra/tra)


Sumber: Jawa Pos, Selasa, 12 Agustus 2008

Label: , ,

Bos Pengemis Tinggal Nikmati Hidup


Cak To, begitu dia biasa dipanggil. Besar di keluarga pengemis, berkarir sebagai pengemis, dan sekarang jadi bos puluhan pengemis di Surabaya. Dari jalur minta-minta itu, dia sekarang punya dua sepeda motor, sebuah mobil gagah, dan empat rumah.

Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan 'karir'-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.

Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.

Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta.

Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang.

Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CRV kinclong keluaran 2004.

Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda CRV-nya yang berwarna biru metalik.

Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti 'orang mampu'. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkan sekolah dasar.

Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, pria beranak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut tidak peduli. "Yang penting halal," ujarnya mantap.

Cak To bercerita, hampir seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh tahun. Menurtu dia, tidak lama setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI.

Maklum, emak dan bapaknya dulu pengemis di Bangkalan. "Dulu awalnya saya diajak Emak untuk meminta-minta di perempatan," ungkapnya.

Karena mengemis di Bangkalan kurang 'menjanjikan', awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak ikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertama adalah di emprean sebuah toko di kawasan Jembatan Merah.

Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketika remaja, 'bakat' Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat.

Waktu itu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang melawan. "Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang," ungkapnya bangga.

Meski berperawakan kurus dan hanya bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya dirampas. Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas disegani di kalangan pengemis. "Wis tak nampek. Mon la nyalla sebet (Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red)," tegasnya.

Selain harus menghadapi preman, pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika dia atau keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP. "Kami berpencar kalau mengemis," jelasnya.

Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membebaskan.

Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis, berbagai ''ilmu'' dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan. Mulai cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan sebagainya.

Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990, penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. "Pokoknya sudah enak," katanya.

Dengan penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan oleh-oleh cukup mewah. "Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci," kenangnya.

Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia mulai mengumpulkan anak buah.

Cerita tentang 'keberhasilan' Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. "Kasihan, panen mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja," ujarnya enteng.

Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Surabaya Barat. "Kali pertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di kampung," tegasnya.

Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja. Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya Timur.

Agar tidak mencolok, ketika berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai di 'pos khusus', Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan.

Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri.

Pada 1996 itu pula, pada usia ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia menyunting seorang gadis di kampungnya. Sejak menikah, kehidupan Cak To terus menunjukkan peningkatan.

Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To. Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari.

Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per bulan.

Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya minta setoran sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali. "Ya alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada saya," ucapnya.

Dari penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai donatur tetap di sebuah masjid di Gresik. "Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal," katanya.

Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal saja. "Saya ingin naik haji," ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To akan mewujudkan itu pada 2010 nanti.

Sepuluh Persen untuk Komisi Satpam

Cak To punya anak buah 54 pengemis. Tapi, dia mengaku tidak mau asal merekrut anggota. Menurut pria kelahiran 1960 itu, hampir 60 persen anak buahnya masih punya hubungan darah. Kalau bukan, mereka masih berasal dari kampung yang sama di Madura atau sudah menjadi teman lama. "Kalau dirunut, kami masih sekeluarga. Masih keturunan Bindara Agung," katanya.

Cak To menegaskan, dirinya pantang mempekerjakan anak-anak. "Saya saja ndak ingin anak-anak saya mengikuti jejak saya. Masak mau mempekerjakan anak orang lain," ucapnya.

Kalau mau menjadi pengemis di bawah pengawasan Cak To, juga tidak boleh sembarangan. "Meskipun hanya pengemis, saya maunya mereka menguasai cara yang benar," ujarnya.

Para anggota baru mendapatkan materi pelajaran secara komplet. Mulai cara berpakaian, ekspresi wajah, hingga cara menghadapi bentakan calon pemberi atau petugas yang merazia.

Sebelum dilepas, para anggota baru mendapatkan pengawasan khusus. Cak To mengantarkan mereka ke tempat di mana mereka seharusnya mangkal. "Dalam satu sampai dua bulan terus saya awasi. Setelah itu, baru saya tinggal," jelasnya.

Karena punya banyak anggota, Cak To punya aturan main mengenai penempatan pengemis. Dengan demikian, pemasukan bisa maksimal, tidak saling mengambil jatah.

Salah satunya adalah pengaturan 'jam kerja' dan 'wilayah' anggota. Pada dasarnya, para pengemis 'bekerja' pukul 07.00 hingga 18.00. Tapi, kata Cak To, masing-masing pengemisnya punya jadwal. "Kapan harus ke perumahan A, kapan ke B, sudah ada jadwalnya," katanya.

Dalam satu perumahan, bisa terdapat satu atau dua pengemis yang dikoordinasi Cak To. Kalau ada dua, itu dilakukan dengan cara bergiliran. "Pengemis kedua baru boleh datang setelah selang beberapa jam dari pengemis pertama," ungkapnya.

Di perumahan-perumahan, Cak To mengakui adanya kendala petugas keamanan (satpam). Karena itu, pihaknya telah melakukan negosiasi. Kesepakatannya, pengemis boleh 'beroperasi' di kompleks perumahan itu, lalu sang petugas keamanan mendapat komisi sekitar sepuluh persen dari total penghasilan di kompleks tersebut.

"Per hari bisa ditaksir berapa penghasilannya. Setelah itu tinggal dipotong sepuluh persen," katanya.

Untuk persoalan stamina, Cak To punya kiat khusus. Sebab, kalau ditotal, setiap hari seorang pengemis menempuh perjalanan sekitar 15 kilometer.

Menurut dia, bawang putih adalah kunci untuk menjaga kebugaran. Setiap hari, bawang putih dia makan beserta menu sarapan pagi. "Bawangnya biasa saya makan dengan petis. Dijadikan lalapan," jelasnya.

Selain itu, Cak To pantang makanan berlemak. Dia menghindari makanan yang masuk kategori jeroan. "Itu makanan tidak bagus. Saya lebih senang makan sayuran," tegasnya. (ded/aza)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 12 Juni 2008

Label: , ,

Sentra Usaha Tambang di Desa Dhalemman, Kecamatan Galis

Daur Ulang Tambang Bekas Jadi Baru Lagi

Usaha ini sudah dijalani oleh H Muh. Soleh sejak tahun 1970 lalu. Awalnya, dia memproduksi tambang dari bahan alami kulit pohon waru. Namun, karena pohon tersebut semakin langka dan mahal, dia beralih ke bahan nilon dari tambang bekas yang diolah menjadi baru lagi. Bagaimana dia menjalankan usahanya?

Siapa yang menyangka di pedalaman Kecamatan Klampis ada induk usaha pembuatan tambang berbagai ukuran. Mulai dari tambang yang digunakan untuk menambat kapal besar di pelabuhan, hingga tambang untuk bahan baku membuat pecut khas Madura dan pembalut gagang celurit.

Semakin menjorok masuk ke jalan desa yang tidak beraspal, akan terlihat puluhan meter tambang ukuran besar tengah dijemur. Begitu masuk ke dalam "pabrik", tampak puluhan pekerja sedang sibuk bekerja. Sebagian bersantai menghisap rokok dan minum kopi sembari menunggu giliran kerja.

Pemilik home industri H Muh. Soleh mengaku, merekrut 35 pemuda setempat sebagai pekerja. "Saya sebenarnya punya tiga cabang. Tapi, pusatnya di sini," ungkapnya.

Dia membuat tambang dalam berbagai ukuran dan jenis. Hasilnya, banyak dibeli kalangan petani, nelayan, dan perusahaan galangan kapal yang menjadi pelanggannya sejak puluhan tahun lalu.

Menurut dia, ada 7 macam tali berdasarkan ukurannya. Sedang untuk jenis berwarna, bisa menghasilkan 16 jenis. Yang biasa di beli perusahaan kapal besar, adalah tali ukuran paling besar dengan diameter 20 cm.

Dalam sehari, pabrik tambang ini bisa menghasilkan tali besar hingga 2.000 meter. "Dalam satu line saja bisa 45 meter. Padahal, sehari kita bisa memproduksi 50 line," terangnya sambil menunjukkan tali yang sedang dijemur di depan rumahnya.

Biasanya, para pelanggan datang ke rumahnya 2 kali seminggu. Mereka berasal dari Madura hingga Malang. "Kalau dari Madura dan Malang, biasanya beli untuk tali sapi dan tali perahu. Kalau dari luar Madura, biasanya beli tali ukuran besar menggunakan truk atau pick-up," terang Soleh.

Harga untuk tali ukuran kecil di bandrol per biji. Untuk tali ukuran 4,5 meter di jual Rp 1.000 sampai Rp 4.000 per biji. Tali ukuran kecil paling mahal dikenal dengan sebutan tongar. Umumnya, digunakan untuk tali di hidung sapi atau kerbau. Untuk tali ukuran besar, di jual per kilo gram dengan harga Rp 15.000.

Menurut Soleh, harga tambang daur ulang produksinya relatif murah dibandingkan dengan harga tambang baru produksi pabrik. Sebab, bahan dasarnya adalah tambang bekas yang sudah tidak terpakai.

Untuk mendapatkan bahan tali tersebut, tak jarang dia berburu hingga ke Kalimantan. Tali bekas itu, dia beli seharga Rp 9.000 sampai Rp 12.000 per kilo gram. "Tapi kalau harga tali bekas naik, harga tambah daur ulang terpaksa kami naikkan juga," jelasnya.

Kendati usahanya bertahan puluhan tahun, dia mengaku sudah beberapa kali menghadapi krisis. Bahkan, pernah tali daur ulang hasil produksinya menumpuk di rumah. "Meski tidak ada pembeli, saya tetap berproduksi. Sehingga, untuk membayar pekerja saya terpaksa berhutang sana-sini," ungkap Soleh. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 16 Apr 2008

Label: , , ,