Hj. R Ayu Tafrah
Merantau ke Surabaya agar Bisa Mandiri
BANYAK alasan mengapa orang Madura memutuskan hijrah ke luar pulau. Ada yang ingin memeroleh rejeki lebih. Ada pula yang pindah karena kurang mendapatkan kesempatan meneruskan cita-cita belajarnya. Tapi, ada yang memutuskan hijrah keluar pulau dengan tujuan belajar mandiri. Karena hidup diyakini bisa meningkatkan kematangan dan kedewasaan berpikir seseorang.
Dorongan seperti itulah yang diberikan R Mohammad Syafii, ayah Hj. R Ayu Tafrah, wanita kelahiran Pamekasan 12 September 1944 ini. Sehingga, keinginan untuk mendiri tertanam dalam diri Tafrah. Nah, saran mendiang ayahnya itulah yang membulatkan tekadnya untuk hijrah dan mengajar di Surabaya.
Menurut pensiunan guru olahraga ini, sebagai anak terakhir dari tiga bersaudara, dia merasa sebagai sosok yang sangat manja. Namun, hal itu tidak terlepas dari perlakuan kedua orang tuanya yang kerap mengabulkan semua permintaannya. Perlakuan orang tuanya terus dirasakan hingga dia lulus sekolah guru pendidikan jasmani negeri di Pamekasan. Akhirnya memeroleh pekerjaan di Sumenep yang dijalani 1,5 tahun.
"April 1967 saya sudah menjadi pegawai negeri dan mengajar di Sumenep. Karena terbiasa tidak melakukan semuanya sendiri, saya selalu membeli makanan dan membawa baju-baju kotor ke rumah Pamekasan. Tapi, ayah dan ibu saya tidak suka melihat itu, karena seharusnya saya bisa memasak dan mencuci baju sendiri," tuturnya saat ditemui wartawan koran ini di rumahnya Jalan Jetis I/57B.
Meski terkesan remeh, orang tuanya menganggap kebiasaan itu tidak baik untuk masa depan Tafrah. Karena itu, orang tuanya meminta bantuan pamannya, KH Alwi Ridho yang saat itu menjadi Dekan di IAIN Sunan Ampel Surabaya. "Saya diajak mengajar di IAIN. Karena bukan lulusan S1 saya tolak. Tidak mungkin bukan sarjana mengajar calon sarjana," katanya tersenyum.
Lalu, pamannya berinisiatif memasukkan Tafrah ke sebuah yayasan pendidikan Islam. "Waktu itu namanya masih Muallimat. Beberapa tahun kemudian, nama diganti Siti Khadijah," terangnya.
Menurut pecinta bunga anggrek ini, untuk bisa masuk dan menjadi tenaga pengajar di Siti Khadijah bukan hal mudah. Beruntung, pamannya punya hubungan baik dengan kepala sekolah yayasan tersebut. Atas rekomendasi pamannya, dia diterima sebagai guru olahraga.
Sejak itulah Tafrah mulai hidup sendiri dan harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Mau tak mau harus bisa memasak dan mencuci sendiri. Bahkan mencari tambahan untuk biaya hidupnya sendiri. "Saya bersyukur, ternyata maksud orang tua memindahkan saya ke Surabaya agar saya bisa mandiri," ungkapnya.
Dari hari ke hari dia jalani tanpa beban. Dia menganggap, selain bekerja, dia berusaha mengabdikan hidupnya pada agama. "Kalau orang lain mungkin berat. Sebab, saya satu-satunya guru olahraga perempuan waktu itu dan mengajar seluruh kelas SMP. Kan dipisah laki-laki dengan perempuan," terangnya.
Akhirnya, pada usia 60, tepatnya 2004, dia pensiun sebagai guru olahraga. Tapi, dia bersyukur bisa bertahan di Siti Khadijah hingga masa baktinya habis. Sebab, beberapa guru yang diangkat bersamaan dengannya banyak yang dipindah ke sekolah-sekolah umum di Surabaya dan daerah lain. "Saya nggak minta. Tapi memang terus di Khadijah sampai pensiun," tegasnyai. (nra/tra)
Tekankan Disiplin, Tak Pernah Terlambat Mengajar
YAYASAN Pendidikan Islam Siti Khadijah menjadi salah satu sekolah yang memiliki banyak siswa. Mereka tidak hanya berasal dari pulau Jawa. Tapi dari luar pulau juga banyak. Seperti dari Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Madura. Sehingga, tidak heran jika yayasan pendidikan dengan latar belakang Nahdatul Ulama (NU) ini menjadi salah satu sekolah terbesar dan favorit di negeri ini.
Pendidiknya juga berasal dari beraneka ragam suku bangsa. Prulalisme yang diikat dalam satu keyakinan dan tujuan bersama untuk mencerdaskan umat sangat kental dalam lingkungan yayasan pendidikan di Jalan A Yani, Surabaya ini.
Salah seorang pendidik yang bertahan sebagai guru adalah Hj. R Ayu Tafrah. wanita kelahiran Pamekasan 12 September 1944 ini mendapatkan kepercayaan sebagai guru olahraga di sekolah tingkat menengah (SMP). Sebab, latar belakang pendidikannya keolahragaan.
Sejak kecil, kecintaan terhadap berbagai macam olahraga membuatnya enjoy dengan profesi sebagai guru olahraga. Selain mengajar, dia kerap mengajak anak didiknya melakukan permainan yang bertujuan menyegarkan jasmani mereka. "Kalau jasmaninya segar, pasti rohaninya juga akan segar. Jadi, mereka bisa lebih siap menerima dan menyerap pelajaran-pelajaran di sekolah. Itu untuk menghindari stres pada siswa," tuturnya.
Meski demikian, dia tetap menekankan pentingnya disiplin di tengah kesenangannya mengajar olahraga sambil bermain. Namun, guru disiplin seperti dia seringkali mendapatkan protes dari anak-anak didiknya. Namun, setelah tahu pentingnya menghargai waktu, murid datang menyampaikan rasa terima kasih dan penghormatan kepadanya.
"Saya sering ketemu dengan murid-murid di berbagai kesempatan. Mereka selalu mengungkapkan rasa terima kasih terhadap apa yang saya lakukan (menekankan pentingnya disiplin, Red). Sebab, saya tidak segan memberi sanksi kepada murid yang terlambat datang saat pelajaran olahraga," papar wanita yang sudah 8 kali menunaikan ibadah haji ini.
Untuk memberi contoh kepada siswanya, sejak kali pertama mengajar sebagai guru, dia tidak pernah sekalipun terlambat datang ke sekolah. Sebelum menikah dan masih tinggal di rumah kos, dia berangkat ke sekolah usai menunaikan salat Subuh. "Saya sering ditanya imam salat di musalla tempat berjemaah. Kenapa terburu-buru pergi setelah salat subuh?. Saya jawab, supaya tidak keduluan murid," ungkapnya.
Begitu juga setelah dia menikah dengan H. Mas Mohammad Ismail Yahya dan tinggal di Bangkalan. Selama 13 tahun dia pulang pergi Surabaya-Bangkalan setiap hari. "Saya tetap tidak mau terlambat. Jadi setelah salat Subuh, tanpa wiridan saya berangkat ke Surabaya," terang nenek 10 cucu dari 8 anak sambung ini.
"Alhamdulillah, setelah lama di Bangkalan, suami saya membeli tanah dan membangun rumah di Surabaya. Saya bisa lebih tenang bertugas dan melakukan aktivitas lain di samping mengajar," ulasnya. (nra/tra)
Sumber: Jawa Pos, Selasa, 12 Agustus 2008
Label: dokumentasi, r ayu tafrah, wajah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda