Mungkinkan Industrialisasi Gula di Madura Terwujud

Petani tebu di Sampang siap menyongsong industrisasi gula


Gaung industrialisasi gula di Madura dalam beberapa tahun terakhir sempat menggema. Keseriusan pemerintah ditandai dengan gerakan pembukaan ribuan hektare lahan tebu di Bangkalan dan Sampang. Namun sebagian pihak masih menyangsikan, akankah pilot project tersebut bakal terwujud.

Oleh : Achmad Hairuddin

Pertanyaan itu cukup berasalan, karena dilihat dari segi infrastruktur yang masih belum terpenuhi, seperti jalan belum memadai, ketersediaan air untuk pengairan irigasi lahan persawahan selama ini masih sangat tergantung terhadap musim hujan. Sehingga, secara kualitas dan kuantitas, hasil tanaman tebu tersebut diperkirakan tidak akan optimal.

Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut) Sampang, Singgih Bektiono, memaparkan, rencana program industrialisasi gula yang dilakukan BUMN perkebunan di Pulau Madura, sebagai salah satu upaya mengejar target swasembada gula yang dicanangkan pemerintah. Ia mengemukakan, wilayah Madura masih memiliki lahan yang cukup luas untuk dikembangkan menjadi areal budidaya tanaman tebu dan pabrik gula.

"Pemerintah pusat telah melakukan pemetaan, ternyata ada potensi lahan sekitar 60 ribu hektare (ha) yang bisa ditanami tebu. Potensi terbesar berada di Kab. Bangkalan dan Sampang,"jelas Singgih, ditemui Jum'at (23/11).

Secara teknis, lanjutnya, lahan di Pulau Madura sangat layak untuk budidaya tebu, karena didukung beberapa faktor, seperti lingkungan agroklimat, sinar matahari, suhu dan kelembapan udara, serta air.

"Jadi melalui sistem budidaya yang baik dan terprogram, serta didukung pabrik gula yang prima, saya optimistis rendemen tebu yang dihasilkan bisa mencapai 9 persen," ujarnya dengan nada optimis.

Singgih menambahkan, pihak Kementerian Pertanian merespon positif langkah tersebut, dengan menyiapkan langkah dukungan untuk mendorong program industrialisasi gula di Madura, termasuk mendorong perluasan areal tebu hingga mencapai 4 ribu ha pada 2013 nanti.

"Untuk mendukung program perluasan areal, Kementan juga mengalokasikan dana sekitar Rp 89 miliar guna membantu pengadaan bibit, traktor dan tenaga pendamping di lapangan. Karena sejak dua tahun terakhir, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X telah mengembangkan lahan tebu di Bangkalan dan Sampang dengan luas sekitar 1.300 ha. Bahkan BUMN Perkebunan itu juga berencana akan membangun pabrik gula di Madura," paparnya.

Menurut dia, dengan potensi lahan yang ada setidaknya dua atau tiga pabrik gula bisa dibangun di Pulau Madura dengan masing-masing berkapasitas produksi 10 ribu ton tebu per hari.

"Keseriusan tersebut direalisasikan pihak Kementan dengan membantu melakukan riset terpadu untuk perluasan lahan tebu dengan menggandeng Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) Pasuruan," katanya menambahkan.

Rasa optimisme juga diutarakan Ahmad Nawardi, anggota Komisi D DPRD Jatim, mengatakan, selama ini program swasembada gula masih terhambat oleh perluasan areal tebu dan pembangunan pabrik gula baru.

"Masih banyak pihak yang kurang antusias mendengar rencana industrialisasi gula di Madura, karena wilayah itu identik dengan garam dan tembakau. Padahal, potensi lahan di Madura sangat besar," ujar Nawardi.

Legislator asal PKB itu menjelaskan, rencana perluasan areal tebu di Madura tersebut lebih banyak memanfaatkan lahan tidur yang selama ini tidak tersentuh. Bahkan lahan tebu yang sudah dikembangkan oleh PTPN X merupakan lahan tidur yang cukup lama tidak difungsikan itu sebenarnya sangat potensial menjadi pengembangan budidaya tanaman tebu.

"Saya yakin jika industrialisasi gula itu bisa terwujud, maka tingkat kesejahteraan hidup petani akan meningkat. Namun yang paling penting Pemkab Sampang juga proaktif dalam membantu program itu, sehingga bisa bersinergi dengan Kementerian BUMN perkebunan untuk merealisasikannya," tandas anggota dewan Dapil Madura itu.

Sumber: Surabaya Post, Jumat, 23/11/2012

Label:

Analisis Kebijakan untuk Peningkatan Swasembada Garam Nasional

Analisis DPSR Kebijakan Perikanan

Driving Force (D):

Produksi nasional dianggap tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri, khususnya kebutuhan garam industri. Seperti akhir Desember 2011 stok garam konsumsi tinggal 306.000 ton, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai musim panen garam tiba karena konsumsi garam tiap bulan rata-rata sekitar 120.000 ton. Perusahaan lebih memilih garam impor daripada garam lokal karena harga garam impor jauh lebih murah meskipun kualitasnya masih di bawah garam lokal.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) selama Januari-November 2010, Indonesia mengimpor sebanyak 1,8 juta ton garam. Dari jumlah tersebut, impor garam untuk konsumsi 394.210 juta ton.

Pressure (P):

Beberapa tahun terakhir pemerintah beberapa kali melakukan impor garam, seperti baru-baru ini tahun 2011 mengimpor sebanyak 1,7 juta ton dengan surplus impor sebesar 200.000 ton. Adapun jumlah impor garam konsumsi pada tahun 2011 mencapai 932.756 ton atau meningkat dibandingkan impor tahun 2010 sebesar 597.583 ton.


State (S):

Garam rakyat banyak yang masih tersimpan rapi di gudang petani karena perusahaan hanya membeli dengan jumlah yang cukup sedikit. Sebagai contoh Stok garam rakyat di Madura, Jawa Timur, sampai awal tahun ini masih cukup melimpah dari hasil panen tahun 2011 kemarin. Namun, sejumlah perusahaan garam di Madura telah mengajukan izin melakukan impor garam untuk kebutuhan tahun ini.

Respon (R):

Keseriusan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam memacu produksi garam rakyat dibuktikan dengan program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) yang dilaksanakan di 40 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dimulai tahun 2011.

KKP mengembangkan Program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) dengan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dan Non BLM sebesar Rp.107,6 Milyar di atas lahan seluas 16.500 hektare (ha) yang melibatkan 29.000 petambak garam yang tergabung dalam 3.035 KUGAR.

KKP juga memberikan bantuan berupa fasilitas Sarana Air Bersih sebanyak 3 (tiga) unit senilai Rp3,08 miliar, bantuan pelatihan untuk para petambak garam dan bea siswa bagi anak para petambak garam sebesar Rp.7,32 miliar, serta memberikan sebanyak 1.558 Kartu Nelayan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memfasilitasi penyerapan sisa stok garam rakyat, melalui fasilitasi ini maka stok garam yang tersedia di tingkat petani dapat diserap, sehingga tidak perlu ada penambahan impor garam

Diadakan penerimaan Penyuluh Perikanan Tenaga Kontrak (PPTK) pada Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2012 dgn tujuan peningkatan usaha mandiri dan program minapolitan.

Menteri Kelautan dan Perikanan juga mencanangkan pulau Madura sebagai Pulau Garam. Ia menyebutkan bahwa, salah satu alasan pencanangan Madura sebagai pulau garam adalah agar dapat mendorong dan meningkatkan hasil produksi garam rakyat di Jawa Timur, sebagai lumbung garam nasional. Dan menyalurkan paket bantuan senilai total sebesar Rp39,3 miliar kepada petani Garam di Madura, Jawa Timur.

Sumber: DuniaKuMu Blog, 22 Maret 2012

Label: , , , , , , , , ,

Industri Garam

Garam yang seharusnya membuat rasa menjadi asin, kini terasa getir bagi petani garam. Tidak hanya mengeluh, mereka harus bergeser dan mencari penghidupan lain selain tambak garam yang telah menggarami kehidupannya selama ini.

Oleh M Taufiq Prasetyo

Harga yang tak bersahabat diimbuh cuaca yang tak menentu, mengakibatkan petani garam gagal panen. Pulau Madura yang diharapkan menjadi lumbung garam, kini tak berkutik. Di Kabupaten Sampang saja terdapat areal pertanian garam 420 hektare, dengan produksi hampir 300.000 ton per tahun. Belum lagi kabupaten-kabupaten lain, seperti Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan. Ini berarti masih banyak penduduk pulau ini menggantungkan nasibnya dari garam.

Namun, anomali cuaca saat ini membuat dompet petani garam mengering. Bagaimana tidak, bulan Agustus hingga September 2010 yang seharusnya musim kering, berubah menjadi basah akibat hujan lebat yang sering datang. Alhasil, gagal panen pada komoditi ini terjadi. Produksi garam nasional anjlok untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun industri pun berkurang.

Itu masih mengenai produksi garam yang turun, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, petani garam masih menanggung peningkatan biaya produksi dan harga itu masuk dalam biaya tetap (fixed cost) petani garam yaitu penggarap lahannya. Per hektar perlu empat hingga lima penggarap dengan gaji Rp 50.000 per hari. Jika mau berhitung, total biaya untuk menggarap 1 hektare ladang garam berkisar Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per hari.

Bandingkan dengan penghasilannya. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini harga garam petani hanya Rp 400 per kg, sedang biaya produksi mencapai Rp 350 per kg. Meski berdasar catatan Kementerian Perindustrian, harga garam terus meningkat dalam enam tahun terakhir. Pada 2004, harga garam Rp 50 hingga Rp 60 per kg dan 2009 mencapai Rp 300 hingga Rp 350 per kg.

Kita masih bisa merasakan asinnya garam, namun jika cuaca kian tak tentu arah tak menutup kemungkinan ke depan kita pun akan melahap lauk pauk hambar akibat rendahnya produksi garam nasional. Kebutuhan garam nasional tahun 2009 sekitar 2,8 juta ton. Dari angka tersebut, 0,2 juta ton garam diserap kebutuhan rumah tangga (garam meja) dan sebagai bahan baku industri pengolahan makanan dan minuman. Ini berarti 1,6 juta ton garam tak terpenuhi oleh kebutuhan nasional, yaitu untuk kebutuhan garam yang bukan untuk makanan. Semisal sebagai pengolah bahan baku kertas sebagai pengganti soda ataupun industri kosmetik dan farmasi.

Sekitar 1,6 juta ton itupun harus diimpor. Namun, regulasi pemerintah dalam melindungi petani garam membuat angka tersebut kian tak terpenuhi. Memang, garam impor sangat diharapkan oleh industri karena garam bersifat sangat premium, dengan kadar natrium chlorida (NaCl) sekitar 97 persen. Melihat kebutuhan industri akan garam seharusnya bisa mendongkrak produktivitas petani garam dalam negeri.

Kadar Masih Rendah

Saat ini di Jawa Timur ada tiga perusahaan dominan yang mengolah garam dari petani untuk dijadikan konsumsi, di antaranya PT Garam, PT Garindo, dan Pagarin. Masih ada perusahaan garam lain (PT Susanti Megah, PT Elit Star, PT Sumateraco. PT Garam) sebagai salah satu dari tiga perusahaan terbesar pengolahan garam sanggup membuat garam yang diinginkan industri. Sayang, kadar NaCl-nya hanya 93 persen. Ini mengakibatkan beberapa perusahaan garam pendatang baru mulai menggarapnya, salah satunya Cheetam Salt Ltd (Australia). Besar harapan, new entry ini sanggup memberi angin segar dalam meningkatkan produktivitas komoditi ini.

Namun, jangan salah, adanya pemain baru ini tak serta merta petani menjual hasil jerih payahnya pada perusahaan baru. Sebenarnya pemerintah melalui instansi Perindustrian dan Perdagangan sekitar sudah melakukan sosialisasi dan membantu meningkatkan kualitas garam yang dihasilkan para petani garam. Namun, petani garam yang rata-rata masih berpendidikan rendah, sulit menerima jika harus memproduksi garam dengan kualitas premium dan menjualnya pada pemain baru di dunia garam.

Ini menjadi salah satu penyebab teknologi pengolahan produksi garam tertinggal yang akhirnya membuat garam yang diproduksi tak sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Apalagi dengan keadaan cuaca yang tak menentu, menjadikan produksi yang dihasilkan petani garam menurun drastis. Di China, pengelola garam mengakali masuknya curah air hujan dengan menutupi lahan garam dengan plastik. Petani garam di China cukup terbantu dengan teknologi tepat guna dengan bantuan plastik dari pemerintah.

Sebagai saran, saatnya pembuat regulasi melakukan koordinasi dan pendekatan pada pelaku industri garam. Baik petani garam maupun perusahaan pengolah garam mentah harus dijembatani, sehingga ada komunikasi yang jelas dan terjadi simbiosis mutualisme. Pemberian akses masuk industri pengolahan garam baru juga akan memberi daya dobrak baru komoditi ini. Dengan mengacu pada undang-undang persaingan usaha dan perubahan struktur pasar akan menjadikan pasar garam kian gurih. Para industri garam akan bersaing mendekati sempurna, sehingga secara tidak langsung pasar industri garam tersegmentasi dengan sendirinya. Beberapa kartel yang terjadi di industri ini pun akan musnah. (n)

M Taufiq Prasetyo, Pemerhati Perdagangan Dalam Negeri

Sumber: Surya, Rabu, 13 Oktober 2010

Label: , , , ,

Industri Manufaktur di Madura

PENGEMBANGAN Suramadu diharapkan tidak hanya mendongkrak perekonomian di Jawa Timur saja akan tetapi juga perekonomian nasional. Industri manufaktur merupakan salah satu jawaban untuk mendongkrak perekonomian ini. Sungguh sangat disayangkan bila jembatan kebanggaan nasional Suramadu yang kokoh berdiri sudah seumur jagung ini hanya untuk menghubungkan Pulau Jawa dan Madura saja tanpa membawa dampak signifikan terhadap peningkatan harkat hidup di kedua daerah, baik di Jawa maupun Madura.

Oleh Yuwono B Pratiknyo

Tanpa menyalahkan BPWS, karena memang badan ini baru saja terbentuk. Apabila boleh berandai-andai, Jika saja BPWS yang merupakan Badan yang dibentuk khusus melalui Peraturan Presiden ini sudah ditetapkan jauh hari sebelum jembatan Suramadu selesai, ceritanya mungkin akan lain lagi. Perekonomian dan kemakmuran masyarakat khususnya di Madura saat ini mungkin saja akan lebih dirasakan masyarakat.

Menilik program kerja BPWS dalam jangka pendek ini yang lebih fokus pada program kerja yang sifatnya berupa pengembangan infrastruktur yang meliputi pengembangan pelabuhan atau terminal petikemas, air bersih, pelebaran jalan serta pembuatan jaringan telekomonikasi dan listrik.

Ke depan infrastruktur di daerah Surabaya dan Madura akan semakin lengkap. Program peningkatan Sumber Daya Manusia di Madura juga menjadikan program kerja BPWS disamping infrastruktur. Kemudian yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah problem tenaga kerja, mau dikemanakan sumber daya manusia yang terampil ini nantinya akan disalurkan? Jawaban yang mungkin adalah pembangunan industri manufaktur.

Lini Terdepan

Di era dunia datar (flat world) yang dipacu oleh roda globalisasi dan liberalisasi, industri manufaktur sudah terbukti berada di lini terdepan dalam pertarungan menghadapi persaingan mondial. Sebagai contoh Singapura. Kerja keras Singapura untuk memulihkan kondisi perekonomian mereka mulai menampakkan hasil. Membaiknya performa ekonomi Singapura pada kuartal dua tahun ini, dipicu oleh menguatnya sektor manufaktur.

Indonesia sebagai negara yang juga terimbas krisis global yang dewasa ini terjadi sebetulnya bisa menjadikan kondisi ini sebagai momentum untuk membenahi industri manufaktur. Harus akui, industri manufaktur pada tahun 2008, merupakan penyumbang terbesar dalam produk domestik bruto Indonesia, yaitu 27,9 persen, jauh meninggalkan peranan sektor-sektor urutan berikutnya, berturut-turut: pertanian sebesar 14,4 persen; perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 14,0 persen; serta pertambangan dan penggalian sebesar 11,0 persen (sumber: BPS).

Sekalipun tergopoh-gopoh, industri manufaktur kita ternyata masih tumbuh positif. hal ini bisa jadi bertolak belakang dengan industri manufaktur di Amerika yang mengalami penurunan drastis. Salah satu faktor yang membuat industri manufaktur kita tak mengalami hantaman berat adalah karena relatif kecilnya peranan industri yang berorientasi ekspor dan ketergantungan pada bahan baku impor rendah.

Memang benar kalau industri manufaktur yang berorientasi ekspor menghasilkan devisa yang besar namun perlu diingat, krisis yang global ini juga berimbas pada berbagai negara yang bisa dipastikan juga akan berpengaruh pada pasar ekspor. Sehingga ternyata industri manufaktur yang berorientasi pada pasar dalam negeri ternyata masih memiliki harapan yang cerah.

Kalau kita lihat kondisi saat ini, ada tiga sektor utama yang treadables di era global yaitu sektor pertanian, manufaktur, pertambangan dan galian. Kalau kita lihat kondisi di Madura maka sektor pertanian jelas tidak mungkin dikembangkan, karena memang pulau ini tidak lebih baik untuk pertanian jika dibandingkan dengan pulau Jawa.

Pertambangan dan galian juga tidak sebesar pulau Kalimantan yang menghasilkan banyak tambang. Sehingga hanya sektor industri manufakturlah yang cocok dikembangkan di pulau ini. Kalau boleh menganggap Batam sebagai salah satu pusat industri manufaktur, yang banyak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produk ekspor, maka bukan tidak mungkin Madura menjadi pusat industri manufaktur yang bisa membuat produk untuk kebutuhan industri dalam negeri sendiri.

Mengapa demikian? Jumlah penduduk bangsa ini saat ini hampir mendekati 250 juta jiwa, jumlah penduduk yang besar ini menjadi incaran produk-produk asing untuk masuk ke pasar Indonesia. Dan perlu diingat bahwa peningkatan daya saing dan profit maximization akan menjadi dasar hukum pergerakan barang dan jasa. Kalau dilihat dari hukum pergerakan barang dan jasa, maka sangat tepatlah jika mengharapkan Madura sebagai 'The Center of Manufacturer' di Indonesia.

Pertama, Madura memiliki tempat yang strategis. Dengan posisinya yang berada di 'tengah-tengah Indonesia' maka proses distribusi barang akan semakin mudah. Pasar di Indonesia Timur atau di Indonesia barat akan semakin mudah dijangkau, apalagi pulau Jawa yang saat ini sudah terhubung. Kedua, Masih banyak lahan di Pulau Madura yang belum tergarap dengan baik sehingga perlu pemanfaatan yang lebih lanjut. Ketiga, kesejahteraan masyarakat Madura. Masyarakat khususnya Madura memerlukan lapangan pekerjaan di sektor formil.

Dengan meningkatkan industri manufaktur maka akan berdampak sangat luas terhadap perekonomian. Struktur perekonomian akan menguat karena sektor primer kembali akan relatif menguat sehingga peningkatan proses nilai juga meningkat, yang pada gilirannya akan meningkatkan laju peningkatan produktivitas dan tingkat upah riil.

Lebih jauh lagi, peningkatan relatif sektor industri manufaktur akan mempercepat basis obyek pajak dan peningkatan nisbah pajak (tax ratio) yang berkelanjutan. Peningkatan sumber penerimaan pemerintah pada gilirannya akan membuat fondasi makroekonomi lebih kuat dan fungsi pemerintah semakin optimal.

Berbasis Pertanian

Perkembangan dan peningkatan industri manufaktur akan sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat, semakin tingginya tingkat pendidikan rata-rata penduduk, dan perubahan komposisi demografis. Dan akan berpengaruh pada berkurangnya jumlah dan proporsi pekerja di sektor pertanian. Hal ini harus kita tetap waspadai karena meski negara kita ini luas dengan sumber daya alam yang berlimpah, ternyata kita masih merupakan pengimpor beras, gula, kedelai, daging dan kebutuhan hasil pertanian lainnya.

Berarti ada sesuatu yang salah dengan system ini, harga pupuk yang mahal, kurangnya tenaga pertanian dan kualitas hasil pertanian yang kurang menjadi penyebab Negara kita menjadi negara pengimpor hasil pertanian.

Perkembangan ekonomi akan makin sehat kalau ada keterkaitan antara kedua sektor ini (industri manufaktur berbasis pertanian). Sektor pertanian dan industri bukan pilihan, melainkan berjalan seiring. Sampai kapan sektor ini bersinergi? Tentu saja sampai titik tertentu, ketika kedua sektor ini sudah mencapai titik optimal, barulah sektor jasa modern kian berperan secara sehat.

Sangat mungkin dan relevan apabila Madura menjadi pusat industri manufaktur baru di Indonesia, yang tentunya juga harus diperhatikan dampak-dampak negatif yang mungkin timbul. Selain itu, kekhasan Madura sebagai pulau yang agamis juga tetap diperhatikan dengan menjadikan warga Madura dapat berperan aktif menjadi tuan rumah di Pulaunya sendiri. Dikemudian hari, industri manufaktur diyakini akan menjadi tulang punggung Indonesia pada umumnya dan pulau Madura pada khususnya.

Yuwono B Pratiknyo, Dosen Program Studi Teknik Manufaktur Universitas Surabaya

Sumber: Surya, Jumat, 30 Oktober 2009

Label: , ,

Tembakau dan Industri Rokok di Madura

Saat ekonomi Indonesia mengalami keterpurukan, usaha mikro informal bertebaran di mana-mana di Indonesia. Hingga sekarang jumlahnya meningkat cukup pesat. Lebih dari 1 juta usaha mikro setiap tahun terus berdesakan. Tahun 2007 jumlah usaha mikro mencapai 47,7 juta unit dan kini diperkirakan melambung menjadi 50 juta unit.

Ini juga berlaku di Madura akibat rapuhnya harga tembakau yang tidak kunjung usai. Industri kecil (home industry) yang memproduksi rokok berkembang pesat. Dari tahun 2007 hingga sekarang, lebih dari 200 perusahaan rokok lokal mewarnai Madura.

Oleh Syafiqurrahman

Pada dasarnya Madura tidak ubahnya Kalimantan dengan tambang emas putihnya. Tembakau diibaratkan "daun emas", sumber penghasilan uang, dan berbeda dari pertanian lain, seperti jagung, padi, ketela pohon yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga. Namun tidak pada akhir-akhir ini, petani selalu dihadapkan pada petaka tata niaga yang memprihatinkan. Tembakau dalam mimpi petani meraup keuntungan besar. Namun yang terjadi justru sebaliknya, harga tembakau di Madura anjlok tak kunjung usai. Parahnya, "daun emas" itu bahkan tidak laku dijual. Padahal, tidak ada perubahan pada kualitas.

Akibatnya, banyak petani di Madura mendirikan industri rokok sebagai alternatif atas runtuhnya tata niaga tembakau. Tembakau yang tidak mendapat jatah mengantre di gudang alias ditolak dapat dialihkan ke perusahaan rokok lokal. Selain itu, harga rokok lokal juga amat terjangkau, yaitu 80 persen lebih murah dari produk rokok nasional dan multinasional. Rokok "1001 Alami" hanya dijual Rp 2.000 per bungkus (Pamekasan), rokok "Adi Rasa" berharga Rp 2.000 per bungkus, dan masih banyak rokok lokal lain yang harganya tidak lebih dari Rp 2.500 per bungkus. Kualitasnya pun tidak mengecewakan.

Sayang, tidak lama berselang beberapa perusahaan rokok lokal itu harus gulung tikar. Sebagian kecil tidak memiliki modal cukup dan sebagian besar tidak mampu membeli pita cukai, bahkan terperangkap dalam jeruji besi karena tidak memiliki izin produksi. Pemasarannya pun mengalami hal sama. Mereka layaknya buronan yang harus ditindak tegas karena dianggap melanggar undang-undang. Alasannya cukup sederhana: tidak berizin.

Padahal, jika dipikir lebih halus, hasil yang dikais dari usaha tersebut sangat tidak sebanding dengan harga izin produksi atau jauh lebih tinggi harga izin produksi. Harga pita cukai mencapai puluhan juta hingga ratusan juta rupiah. Selain itu, pengurusannya juga rumit dan ketat.

Dalam konteks ini, perusahaan rokok lokal di Madura berbeda dengan industri besar yang menyandarkan usahanya pada uang an sich; pengembangan ekonomi di level elite; dan usaha-usaha kelas atas, pabrik, serta industri besar yang rata-rata telah go public. Penyandang modalnya adalah para konglomerat. Sumber dananya dari penjualan saham di pasar bursa. Jalinan hubungan dengan rakyat atau masyarakat luas berada dalam posisi produsen - konsumen, juragan - buruh, penyandang modal-pencari kerja, dan seterusnya.

Bagi Madura, pengembangan dalam sistem ekonomi mikrolah yang tepat guna memeratakan pemberdayaan masyarakat. Sektor ekonomi mikro memang tidak memberi banyak penghasilan kepada negara karena pajak mereka sangat kecil dan retribusi mereka rendah. Namun harus diakui, petani di Madura umumnya tidak memiliki sumber dana yang jelas dan modal kuat. Bahkan, mereka rata-rata buruh tani yang menggantungkan diri pada semangat hidup yang kokoh. Dari sinilah mereka memulai meski harus apello koning (dengan jerih payah).

Karena itu Suhaidi RB, pengamat ekonomi Madura, mengatakan bahwa fenomena produksi rokok lokal di Madura yang tengah menggeliat hendaknya dijadikan momentum pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, bukan malah menakut-nakuti mereka dengan bermacam intimidasi seperti akan dibubarkan, dikenai hukuman, ditindak tegas, dan dilaporkan ke polisi.

Mestinya pemerintah lebih arif dalam menyikapinya, yaitu mempermudah dan mempermurah perizinan produksi, memberi bantuan modal, serta menjaga keamanan produk. Dengan demikian terbuka akses untuk membuat lapangan kerja bagi masyarakat dan warga tidak lagi menjadi pencari lapangan kerja. Setidaknya kesadaran, komitmen, dan kreativitas masyarakat dalam mengembangkan ekonomi pertanian dijadikan modal guna membangkitkan ekonomi masyarakat Madura.

Syafiqurrahman, Ketua Lembaga Pers Mahasiswa STIK Annuqayah Guluk-guluk, Sumenep

Sumber: Kompas, Rabu, 21 Oktober 2009

Label: , , ,

Madura dan Spirit Deng Xiaoping

Jika mau belajar dari sejarah Kota Shenzhen, pembangunan Madura bukan hal yang tidak mungkin. Sama dengan membayangkan Jembatan Suramadu beberapa tahun lalu sebagai hal yang mustahil.

Oleh: Satrijo Prabowo

MELIHAT wajah Pulau Madura pasca-operasional Jembatan Suramadu mengingatkan saya pada sejarah Kota Shenzhen di Provinsi Guangdong, China. Sekitar 30 tahun silam, kota kecil di seberang Hongkong ini, masih berupa kampung nelayan bernama Baoan County. Baru tahun 1992-an, kota seluas 2.020 km2, dengan enam kabupaten, yang saat itu berpenduduk 200.000 jiwa menjadi perhatian Deng Xiaoping.

Pemimpin China ini mengumpulkan para arsitek andal untuk mereformasi kota kering itu menjadi kota tujuan wisata. Hanya melalui pembicaraan selama empat hari, tepatnya tanggal 19-22 Januari, para arsitek berhasil membuat gambaran kasar tentang wajah baru Shenzhen. Hasilnya?

Sepuluh tahun kemudian, Shenzhen menjadi kota wisata. Tak kalah dengan Hongkong. Produk Domestik Bruto (PDB) yang tahun 1992 hanya 31,73 miliar yuan melonjak menjadi 190,82 miliar yuan pada 2002. Konsumsi per kapita masyarakat, dari 5.000 yuan menjadi 20.000 yuan. Kampung nelayan itu menjadi kota industri modern, yang tidak saja berpengaruh di China, melainkan dunia.

Sediktinya ada 1.000 jenis industri, 34 di antaranya memimpin di China, tujuh di antaranya industri besar berpengaruh di dunia, yang memproduksi perangkat lunak komputer, microelectronic dan komponen, video, audio dan produk elektro-mekanis.

Meski tak punya keindahan alam, Shenzhen membangun taman-taman kotal. Silakan masuk Window of The World, tempat wisata seluas 480.000 m2, yang memiliki lansekap dengan lampu indah di malam hari. Anda dapat melihat keindahan Menara Eiffel, Piramid Mesir, Menara Pisa, Taj Mahal dari India, Grand Canyon, bahkan Borobudur yang dibangun dalam duplikasi dengan rasio 1:3.

Untuk menarik wisatawan dunia, Shenzhen tidak saja membangun hipermarket raksasa yang memperdagangkan produk merek terkenal melainkan meredesain pasar tradisional. Kalau Anda ingin mengunjungi pasar tradisional yang bersih dengan air selalu bening, sayur segar, buah segar, bahkan ikan segar hidup, di sanalah tempatnya. Shenzhen punya Buji Farm Produksi, pasar peternakan di atas lahan 12 hektare dan luas lantai 20 hektare. Lebih dari 2.000 perusahaan dari 30 provinsi, kota dan daerah otonom di China terlibat dalam transaksi 3.000 jenis produk peternakan.

Potensi Madura

Secara geografis, Madura punya krakteristik hampir sama dengan Baoan County sebelum menjadi Shenzhen. Dataran itu juga sebagian besar diisi nelayan. Bedanya, jika Baoan County di Delta Sungai Pearl, Madura berada di antara Laut Jawa dan Selat Madura. Jika Baoan County berseberangan dengan Hongkong, Madura berseberangan dengan Surabaya.

Jika Madura sebelumnya sulit berkembang, itu semata-mata karena transportasi menuju Surabaya dimonopoli oleh satu jenis transportasi, yakni feri. Sampai suatu kali ketika KH Abdurrahman Wahid masih menjabat Ketua Umum PBNU sempat melontarkan joke. Gus Dur, panggilan akrab mantan Presiden RI itu mengungkapkan, ada sesuatu yang menghalangi rasa rindunya pada nahdliyin di Madura. “Perjalanan dari Jakarta ke Madura membutuhkan waktu seperti Jakarta ke Amerika. Yang paling lama, ngantre feri,” katanya.

Pulau Madura menyimpan banyak potensi. Banyak lahan kosong yang tidak produktif untuk pertanian berpotensi dijadikan kawasan pengembangan industri dan kawasan perdagangan. Apalagi, didukung dua pelabuhan besar, Pelabuhan Kamal di Kabupaten Bangkalan dan Pelabuhan Kalianget di Kabupaten Sumenep.

Madura juga dikelilingi kawasan pantai dengan panorama indah yang telah menarik perhatian wisatawan domestik maupun internasional. Sebut saja Pantai Camplong di Kabupaten Sampang, Pantai Tlanakan di Kabupaten Pamekasan, Pantai Lumbang dan Pantai Omben di Kabupaten Sumenep.

Menurut catatan saya, beberapa wisatawan internasional rela membuang dolar untuk mengunjungi Madura melalui Pelabuhan Kalianget. Tidak tangung-tanggung, mereka adalah peserta Cruise Tour, wisata mengelilingi bahari dengan kapal mewah seharga ribuan dolar, Selain panorama pantai, para turis selalu mengunjungi Kraton Kerajaan Sumenep, Makam Asta Tinggi dan melihat atraksi budaya Kerapan Sapi dan Kontes Sapi Sonok. Mereka selalu membawa menyempatkan membeli suvenir, berupa batik khas Madura.

Masih banyak potensi lain yang berpeluang menjadi sumber pendapatan negara. Sebut saja tradisi Otok-otok (arisan persaudaraan khas Madura), tradisi pernikahan, rumah etnik Madura, Tari Topeng, Hisory Arek Lancor, atau peluang wisata kuliner seperti Sate Madura, Soto Madura, Sambal Madura, Rujak Madura, Rujak Culek dll. Souvenir Madura pun sebenarnya tidak cuma batik. Tapi bisa topeng, pecut, udeng Madura, krupuk tenggeng, petis, dll.

Semangat Deng Xiaoping

Menjelang Pilpres, belum ada satupun capres dan cawapres yang menaruh perhatian bagaimana membangun Pulau Madura pasca-Jembatan Suramadu. Jika mau belajar dari sejarah Kota Shenzhen, pembangunan Madura bukan hal yang tidak mungkin. Sama dengan membayangkan Jembatan Suramadu beberapa tahun lalu sebagai hal yang mustahil.
Adakah di antara capres dan cawapres mempunyai spirit baja seperti Deng Xiaoping, saat memulai pembangunan Shenzhen. Satu kunci keberhasilannya adalah keberaniannya membuat kebijakan, membagi pembangunan China dalam lima Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zone), dan menjadikan Shenzhen dalam prioritas.

Masyarakat semestinya memanfaatkan masa promosi calon pemimpin dengan menjadikan pembangunan Madura sebagai nilai tawar politik. Yang terjadi, malah menghabiskan energi membahas misteri raibnya mur dan baut Suramadu. Padahal, jika Madura menjadi agenda bangsa, tidak menutup kemungkinan pembangunannya Madura melejit.

Meski tidak sehebat Shenzhen, setidaknya dalam waktu dekat Pulau Madura bisa mendapingi Surabaya sebagai Kota Indamardi (industri, perdagangan, maritim, dan pendidikan). Dengan begitu masyarakat Madura tidak perlu ke menyeberang ke Surabaya hanya untuk membeli baju.

Satrijo Prabowo, Mantan wartawan, sering bepergian ke China

Sumber: Surya, Kamis, 25 Juni 2009

Label: , ,

BPM Kembangkan Industri di Madura

Diharapkan Menyerap 800.000 Tenaga Kerja

Badan Penanaman Modal Jawa Timur berupaya mengembangkan industri di Madura seiring dengan beroperasinya Jembatan Suramadu mulai 10 Juni 2009. Sampai sekarang potensi di Madura belum tergarap dengan baik sehingga hasil industri-industri di sana belum maksimal. Pengembangan industri diharapkan akan menyerap sekitar 800.000 tenaga kerja.

Empat kabupaten di Madura, yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep, rata-rata memiliki 1 juta penduduk sehingga total penduduk di Madura sekitar 4 juta orang. "Beberapa investor asing maupun dalam negeri sudah berminat mengembangkan industri di sana. Kalau semua terealisasi, hal itu mampu menyerap tenaga kerja sedikitnya 20 persen dari penduduk di sana," kata Kepala Badan Penanaman Modal (BPM) Jatim Hary Soegiri, Selasa (2/6).

Beroperasinya Jembatan Suramadu praktis mendorong nilai investasi di Madura. Terkait dengan itu, BPM Jatim akan mengembangkan kawasan khusus di wilayah Jembatan Suramadu baik dari sisi Surabaya maupun Madura, yang masing-masing luasnya mencapai 600 hektar. "Sementara ini baru ada calon investor untuk pengembangan di sisi Madura," ujarnya.

Pengembangan kawasan itu antara lain untuk aktivitas perdagangan, perumahan, akses, dan pelabuhan peti kemas. Calon investor, kata Hary, merupakan perusahaan PMDN, yaitu Madura Industrial Seaport City (MISC). "Mereka berinvestasi Rp 3,2 triliun untuk proyek kawasan industri, perdagangan, dan pelabuhan," tuturnya.

Selain investasi baru tersebut, beberapa jenis industri sudah berlangsung di Madura, di antaranya peternakan sapi, industri garam, minyak atsiri, dan tembakau. Semua industri itu akan dioptimalkan, antara lain dengan pengelolaan secara profesional.

Peternakan sapi di empat kabupaten berpotensi untuk dikembangkan agar Madura dikenal sebagai penghasil sapi berkualitas baik. Demikian pula garam dari para petani setiap tahun selalu ada, tetapi kualitasnya tidak mampu bersaing dengan produk impor. "Oleh karena itu, masuknya investor akan memperbaiki industri ini baik dari segi lahan maupun produksi," tutur Hary.

Di Madura, industri minyak atsiri dinilai sangat potensial karena lahan yang tersedia sangat memadai. Pengembangan bahan baku parfum tersebut memerlukan peranan petani-petani di Ratu Eboh, Desa Tanjung, Kecamatan Burneh, Sumenep. "Mereka sudah lama mengelola lahan seluas 50 hektar untuk bahan baku minyak atsiri, tetapi lagi-lagi hasilnya belum maksimal," ujarnya.

Tujuh Proyek

Secara keseluruhan terdapat tujuh proyek yang akan dikembangkan seiring dengan dibukanya Jembatan Suramadu. Berbagai industri tidak lagi terkendala akses menuju Madura, yang selama ini hanya bisa dicapai melalui penyeberangan Ujung-Kamal.

Adapun realisasi investasi dari PMDN di Madura sampai sekarang sebesar Rp 27 miliar, yang berasal dari tiga perusahaan. Kontribusi terbesar berasal dari industri tembakau di Sumenep, PT Karya Dibya Mahardika yang nilainya mencapai Rp 16,9 miliar. Adapun realisasi dari PMA di Madura sebesar 1,86 juta dollar AS, yang sebagian besar merupakan kontribusi PT Aneka Boga Nusantara, industri pengolahan ikan di Sumenep. (BEE)

Sumber: Kompas, Rabu, 3 Juni 2009

Label: , ,

Menyongsong Industrialisasi Madura

Pascaberoperasinya Jembatan Suramadu, sebagai jalan non-tol maupun jalan tol, terdapat sejumlah armada angkutan penyeberangan yang harus istirahat atau dialihkan mengingat penurunan jumlah permintaan perjalanan.

JEMBATAN Suramadu adalah jembatan yang menghubungkan Kota Surabaya di Pulau Jawa dan kota Bangkalan di Pulau Madura. Keberadaan jembatan ini akan memperlancar arus lalu lintas barang dan jasa dari kedua wilayah tersebut. Jembatan sepanjang 5,4 km yang dibangun dengan biaya Rp 4,5 trilliun itu, akan menjadi pembangkit perubahan bagi Pulau Madura.

Jembatan Suramadu sudah mulai dicanangkan pembangunannya sejak tahun 1960-an. Pada 12 Juni 2009, jembatan Suramadu direncanakan dioperasikan dengan besaran tarif diperkirakan dibawah tarif penyeberangan Ujung-Kamal. Diyakini keberadaan jembatan Suramadu akan mengubah kondisi dan wilayah Pulau Madura yang semula terbelakang secara sosial ekonomi menjadi pulau yang bercirikan industri dan modern.

Pulau Madura yang kondisi geografisnya kurang subur, terutama di pesisir utara serta karakteristik penduduknya yang agamis dengan pertumbuhan ekonomi wilayah rata-rata rendah (2 sampai 4 persen per tahun), akan mengalami lompatan-lompatan spektakuler di bidang infrastruktur transportasi, sosial-budaya-pendidikan, dan ekonomi-industri.

Selain itu, di Pulau Madura nantinya akan berdiri kluster-kluster industri beserta ikutannya terutama disepanjang pesisir utara Kota Bangkalan dan di pesisir selatan kota Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Dalam proses menuju industrialisasi itu, bisa dipastikan akan memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai serta tak terelakkannya masuknya unsur-unsur budaya asing atau luar yang tidak mungkin bisa dibendung lagi.

Tiga Kebijakan

Berkaitan dengan pengembangan wilayah Madura, pemerintah perlu mempersiapkan dan membuat minimal tiga kebijakan terkait dengan eksistensi jembatan Suramadu dan pengembangan wilayah Madura sebagai zona industri.

Pertama, kebijakan pengembangan sistem jaringan transportasi dari dan ke kluster-kluster industri di wilayah Pulau Madura. Arus barang dan jasa yang keluar masuk pulau Madura kemungkinan besar mempunyai karakteristik yang sama dengan karakteristik barang dan jasa yang beroperasi di pulau Jawa, yang cepat dan intensitasnya serta kuantitas yang tinggi, padat, dan berat.

Ditinjau dari sistem transportasinya akan mengubah kondisi, yang semula sarana dan prasarananya berada pada tataran kelas lokal dan regional atau rendah menjadi sistem transportasi dengan standar dan kualitas kelas nasional atau bahkan internasional dengan kekuatan dan kualitas transportasi yang tinggi.

Kedua, kebijakan pengembangan di bidang sosial-budaya-pendidikan berkaitan dengan perlunya penguatan budaya lokal dan filterisasi budaya-budaya asing yang ikut masuk dalam proses industrialisasi dengan mempersiapkan sumberdaya manusianya melalui pendekatan penguatan di bidang pendidikannya yang mengarah pada terciptanya masyarakat yang terbuka, dinamis, berpendidikan, dan agamis.

Dengan dioperasikan Jembatan Suramadu, aspek informasi dan budaya asing bisa mengubah kondisi dan suasana wilayah yang semula agraris dengan budaya lokal yang kuat dan agamis serta kondisi pendidikan masyarakat Madura yang rata-rata masih berpendidikan rendah ke arah masyarakat Madura
yang modern dan industrialis.

Melalui kebijakan pengembangan pendidikan inilah karakteristik masyarakat Madura masih dapat dipertahankan keaslian dan kemurniannya serta proses industrialisasi di wilayah Madura berjalan dengan lancar dan tidak meninggalkan ciri-ciri masyarakat Madura yang mempunyai budaya lokal yang kuat dan unik serta agamis menjadi masyarakat Madura yang terbuka, dinamis, berpendidikan, dan agamis.

Ketiga, kebijakan pengembangan di bidang ekonomi-industri yang arahnya pada penataan kluster-kluster dan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dan merata yang akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di pulau Madura. Untuk itu, perlu dukungan infrastruktur kebijakan pengembangan ekonomi-industri setempat dengan menjamin tersedianya tenaga terampil putera daerah. Dan, pengembangan industri diselaraskan dengan karakteristik sumberdaya alam yang ada di pulau Madura.

Badan Pengelola

Peluang proses industrialisasi di Pulau Madura mulai tampak dari ramalan tren permintaan angkutan penyeberangan yang menurun sangat tajam pada 2010. Hasil kajian Departemen Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat tahun 2007 tentang Keberadaan dan Pengalihan Angkutan Ferry pasca Jembatan Suramadu, menyebutkan, di tahun 2010 akan terjadi penurunan permintaan perjalanan pada lintasan Ujung (Surabaya)-Kamal (Madura), lebih dari 70 persen.

Pascaberoperasinya Jembatan Suramadu, sebagai jalan non-tol maupun jalan tol, terdapat sejumlah armada angkutan penyeberangan yang harus istirahat atau dialihkan mengingat penurunan jumlah permintaan perjalanan.

Dari total 18 armada (12 operasi dan 6 perawatan), hanya dibutuhkan tiga armada (2 operasi dan 1 perawatan) untuk skenario Jembatan Suramadu sebagai jembatan tol. Dengan demikian, pada 2010, diperkirakan terdapat 12 sampai 15 armada yang berpotensi untuk dialihkan.

Pengalihan armada diusulkan pada lintasan penyeberangan dengan karakteristik yang mirip dengan lintas Ujung-Kamal yang merupakan pelayanan komersial dengan jarak 3,5 km dan jenis kapal yang relatif kecil (kapasitas 350 pnp + 2 kendaraan roda 4). Lintasan penyeberangan itu adalah lintasan Ketapang-Gilimanuk dan lintasan Batu Licin-Tanjung Serdang.

Terkait eksistensi Jembatan Suramadu dan pengembangan industrialisasi di wilayah Madura maka perlu dipikirkan adanya sebuah Badan Otoritas Pengelolaan Industrialisasi Wilayah Madura dan Badan Otoritas Pengelolaan Jembatan Suramadu yang secara teknis, berdiri sendiri atau digabung menjadi satu.

Priyambodo, Peneliti Bidang Transportasi Balitbangda Provinsi Jawa Timur

Sumber: Surya, Sabtu, 18 April 2009

Label: ,