Riak Suramadu Mengganggu Orang Madura

Sudah dapat diduga, setelah Jembatan Suramadu dibuka secara resmi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 10 Juni lalu, salah satu dampaknya arus lalu lintas di kawasan Madura meningkat pesat. Hampir tiap menit kendaraan bermotor lalu lalang di jalanan Pulau Madura, baik masuk maupun keluar dari pulau ini.

Oleh A Latief Wiyata

Di malam hari, sorotan lampu kendaraan bermotor itu berpadu dengan kemilaunya sinar lampu merkuri yang sudah mulai dijajar di sepanjang jalan utama mulai dari wilayah Kabupaten Bangkalan di bagian barat menyusur ke arah timur melewati wilayah Kabupaten Sampang dan Pamekasan yang akhirnya menembus wilayah Kabupaten Sumenep.

Bagaikan seorang gadis yang mulai dipingit untuk disandingkan dengan para investor kelas kakap yang sudah siap menghidupkan mesin-mesin industrinya, Madura benar-benar mulai bersolek. Sekilas keadaan ini menandakan geliat sektor perekonomian mulai terasa. Apalagi dipertegas oleh makin maraknya para pedagang "dadakan" yang memanfaatkan areal di sisi kiri dan kanan jalan utama di kaki jembatan memasuki wilayah Madura.

Saat awal peresmian Suramadu hanya terlihat sederetan pedagang "dadakan" yang menempati areal tak kurang dari 100 meter. Namun, setelah 10 bulan deretan itu kini telah memanjang hampir mencapai 2 kilometer. Gambaran ini makin menumbuhkan harapan orang Madura bahwa taraf kehidupan mereka secara ekonomi akan meningkat pesat oleh pembangunan Suramadu.

Dibalik semua itu, jangan dilupakan riak-riak Suramadu tidak selamanya menjanjikan hal positif bagi orang Madura. Paling tidak hal itu telah dirasakan oleh warga Desa Amparaan, Kecamatan Kokop, Kabupaten Bangkalan, yang menolak pengeboran minyak dan gas yang dilakukan oleh PT SPE Petrolium Ltd karena dianggap mengganggu kehidupan keseharian mereka. Meski kemudian perusahaan pengeboran ini memindahkan lokasinya ke Desa Batokaban, Kecamatan Konang, berdekatan dengan lokasi awal, ternyata warga di desa ini pun menunjukkan reaksi sama. Para warga mempermasalahkan itu karena rencana eksplorasi di Desa Batokaban tidak terdaftar dalam surat persetujuan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

Reaksi serupa juga telah terjadi sebulan lalu ketika ratusan nelayan dari Pulau Mandangin, Kecamatan Kota Sampang dan Kecamatan Camplong, mengepung lokasi pengeboran minyak PT Santos di Sumur Oyong. Para nelayan menganggap pengeboran minyak tersebut semakin mempersempit ruang aktivitas mereka dan merusak alat tangkap ikan serta mengakibatkan putusnya jangkar perahu mereka. Dalam unjuk rasa tersebut para nelayan yang jumlahnya ratusan orang menaiki puluhan kapal tradisional berputar-putar mengelilingi Sumur Oyong dan 2 kapal besar milik PT Santos kemudian mendudukinya seraya berorasi menuntut tanggung jawab perusahaan untuk mengganti segala kerugian yang mereka alami.

Aksi-aksi unjuk rasa tadi mengemuka ketika orang Madura merasakan perlakuan para investor yang telah mengganggu rasa keadilan mereka. Dalam suasana keterbukaan pascareformasi, ditambah dengan karakteristik sosial budaya masyarakat Madura yang menonjol yakni spontan, responsif, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi, unjuk rasa itu seolah kian mendapat legitimasi.

Meskipun harus diakui dalam konteks karakteristik sosial-budaya orang Madura cenderung terstigma sebagai kelompok masyarakat yang sikap dan perilakunya akrab dengan kekerasan, dibalik itu sikap dan perilaku orang Madura justru sangat sopan dan menghargai orang lain bila mereka mendapat perlakuan yang menjunjung rasa keadilan serta tak menyimpang dari etika sopan santun.

Kedua, sikap dan perilaku yang tampak ekstrem itu berdampingan secara diametral. Karakteristik sosial budaya ini selayaknya sudah diperhitungkan sejak dini oleh para pemilik modal yang akan masuk Madura. Bila hal ini dibiarkan, tentu akan sangat mudah menyulut konflik kekerasan.

Konflik kekerasan

Pembangunan Suramadu yang dibanggakan sebagai jembatan orang Madura menuju kehidupan yang lebih baik dari segi kualitas dan martabatnya justru akan kontraproduktif. Kehidupan sosial-budaya orang Madura akan terpuruk ketika konflik kekerasan kian merajalela bukan hanya oleh faktor pemicu utama yang selama ini telah diketahui secara umum, yakni membela martabat suami ketika istri dilecehkan (secara seksual), melainkan oleh ulah para investor yang lebih mementingkan keuntungan ekonomi semata tanpa memerhatikan kepentingan dan kebutuhan sosial-budaya orang Madura.

Perlu ditegaskan bahwa pada dasarnya orang Madura tidak menampik segala perubahan kecuali bila harga diri mereka telah dilecehkan oleh berbagai bentuk ulah termasuk menafikan kepentingan ekonomi mereka tak terkecuali yang terkait dengan pembangunan Suramadu.

Sebelum segalanya terlambat, semua pihak yang berkepentingan dengan perkembangan masyarakat Madura yang lebih berkualitas dan bermartabat ke depan sudah selayaknya sejak dini mengingatkan para investor yang mulai menunjukkan kenakalannya. Dialog-dialog yang bermuatan aspek sosial-budaya harus lebih dikedepankan dan diintensifkan baik melalui jalur-jalur formal maupun informal.

Institusi-institusi sosial keagamaan yang bertebaran di seluruh kawasan pulau dan telah dijadikan pilar-pilar penyangga dan penopang kehidupan orang Madura merupakan wadah efektif untuk tujuan itu. Sebab, dengan cara ini pemahaman terhadap orang Madura akan lebih pas dan proporsional. Dalam perkataan lain, pahami dan perlakukan orang Madura secara arif dan cerdas sesuai dengan konteks sosial-budaya mereka.

A Latief Wiyaya, Dosen Antropologi FISIP Universitas Jember =

Sumber: Kompas, 29/04/2010

Label: , ,

Investor Jangan Sampai Memanfaatkan
Keuletan Masyarakat Madura

Jembatan Suramadu yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni lalu menjadi ikon baru masyarakat Jawa Timur. Lihat saja, kemarin. Begitu dilakukan uji coba gratis, warga langsung menyemut, memadati jembatan ini. Mereka berjubel ingin menjajal jembatan yang menghubungkan daratan Surabaya dan Madura ini.

Di awal rencana pembangunannya, sejumlah ulama yang tergabung dalam Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra) Bangkalan menentang. Mereka khawatir adanya jembatan ini membawa dampak sosial-budaya bagi masyarakat seperti yang terjadi di Batam.

Namun, dalam perjalanannya, para ulama ini melunak. Mereka mengajukan sembilan syarat, di antaranya pembangunan di Madura harus memiliki ciri Indonesiawi, Madurawi, dan Islami.

Memang pembangunan jembatan ini diharapkan bisa memajukan wilayah Madura sejajar dengan daerah lainnya di Jawa Timur.

Untuk mengetahui sejauh mana kesiapan masyarakat Madura menyongsong perubahan sosial yang terjadi dengan adanya jembatan ini, wartawan Tempo, Jalil Hakim, mewawancarai Antropolog Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, A. Latief Wiyata, melalui surat elektronik, Kamis pekan lalu. Berikut ini petikan wawancaranya.

Apa yang harus dilakukan oleh empat kepala daerah agar keberadaan jembatan ini bisa memberikan manfaat besar bagi masyarakatnya?

Sebagai pemegang otoritas pemerintahan formal, para bupati di keempat kabupaten yang ada di Madura bersama jajarannya, paling tidak harus memperhatikan tiga hal.

Pertama, mengawal dan mengawasi proses industrialisasi agar dapat membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua orang Madura. Kedua, melalui otoritas kekuasaan formalnya, para bupati itu sudah seharusnya mempertahankan kedaulatan Madura. Jangan sampai kedaulatan mereka terhegemoni oleh kekuatan-kekuatan uang yang dimiliki para investor kakap.

Ketiga, sedini mungkin harus merancang tata ruang yang bagus agar kelak tidak timbul sengketa-sengketa yang menyangkut penataan dan peruntukan lahan yang tidak tepat antara kepentingan pihak pemerintah daerah sendiri, masyarakat, dan para investor yang pada gilirannya justru merugikan orang Madura.


Seberapa besar pemimpin formal dan nonformal bisa mendorong ke arah kemakmuran itu?

Saya sangat yakin dan optimistis masyarakat Madura ke depan akan kian maju dan meningkat kesejahteraannya andai para elite lokal, terutama elite formal, merupakan figur-figur yang benar-benar teruji secara intelektualitas, moralitas, dan amanah. Di pundak merekalah masa depan orang Madura dipertaruhkan dengan tantangan yang kian berat setelah beroperasinya Jembatan Suramadu.

Intelektualitas menyangkut tidak saja jenjang pendidikan yang disandangnya (kadang hanya teraktualisasi sebagai gelar simbolik semata yang tunamakna), melainkan lebih penting pada bagaimana mengimplementasikan semua pengetahuan serta wawasan intelektualnya dalam kehidupan nyata.

Secara moralitas, figur pemimpin yang dibutuhkan itu harus benar-benar mampu menunjukkan cara berpikir, bertindak, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moralitas, baik yang berasal dari ajaran agama (Islam) maupun dari nilai-nilai sosial budaya Madura.

Implikasinya nanti tidak akan terdengar lagi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sangat aib karena merugikan hampir semua orang Madura. Aspek yang terakhir adalah figur pemimpin itu harus dapat memegang teguh amanah.

Kekuasaan juga sangat sarat aspek moralitas. Ketika seseorang yang kebetulan diberi kesempatan memperolehnya kemudian benar-benar menyadari bahwa kekuasaan itu adalah sebuah amanah dari Yang Mahakuasa, niscaya kekuasaan itu akan bermanfaat bagi semua orang Madura. Sebaliknya, kekuasaan itu pula bisa membuat kehidupan orang Madura bisa menjadi semakin terpuruk. Padahal, keterpurukan ini menurut ajaran agama Islam sangat dekat dengan kekufuran bagi yang bersangkutan.


Anda yakin besarnya investasi yang masuk akan mampu memakmurkan masyarakat Madura?

Saya tidak percaya hal itu sepenuhnya. Berdasarkan perspektif ekonomi, memang semakin besar investasi, akan semakin besar kemungkinan keuntungan yang akan diraih. Namun, pertimbangan ekonomi tidak berdiri sendiri. Apalagi didasarkan pada teori pembangunan bahwa semua proyek industri besar lebih bersifat capital intensive (padat modal) daripada labour intensive (padat karya).

Aspek-aspek sosial budaya patut diperhitungkan. Secara sosiologis, komposisi masyarakat Madura sebagian besar berada pada strata bawah. Selain itu, kemampuan SDM Madura masih relatif rendah sehingga belum dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan akan tenaga kerja industri yang sangat padat modal. Itu artinya, kalaupun orang Madura dapat dimanfaatkan dalam proyek industrialisasi, tidak lebih pada tenaga-tenaga kasar belaka.

Jangan dilupakan, konsep para pemilik modal di mana pun selalu mencari keuntungan sebanyak mungkin dengan cara antara lain menggunakan tenaga kerja (kasar) dengan upah serendah-rendahnya. Keuletan dan sifat mau bekerja keras orang Madura saya khawatir justru dimanfaatkan oleh para investor. Dalam konteks inilah, pesimisme saya muncul akan terentasnya orang Madura dari lembah kemiskinan.


Apa sebenarnya yang dikhawatirkan oleh masyarakat Madura?

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebaliknya, dengan adanya Jembatan Suramadu sebagai infrastruktur dari suatu proyek besar, para pemilik modal yang akan mengoperasikan mesin-mesin industri besarnya sudah seharusnya bersikap profesional, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik.

Andai pengoperasian industri-industri besar itu tidak mengindahkan hal-hal itu, dengan mudah orang Madura akan merasa diperlakukan tidak adil sehingga akan mudah pula menyulut resistensi sosial.

Bila ini terjadi, konflik-konflik yang berujung pada tindakan kekerasan akan mudah meledak. Kasus-kasus Waduk Nipah di Sampang (1993) dan masalah agraria di Pasuruan (2007) merupakan pelajaran penting yang harus dihindari.


Bagaimana dengan dampak ikutan industrialisasi nantinya?

Memang harus diakui, dampak ikutan itu tak mudah untuk ditepis keberadaannya. Sebagai masyarakat yang tingkat religiositasnya tinggi, orang Madura tentu akan sangat memperhatikan dampak itu.

Persoalannya terletak pada para pengelola industrialisasi bekerja sama dengan elite-elite lokal (baik formal maupun nonformal) bagaimana seharusnya mengemas masalah ini agar tidak mengganggu rasa keagamaan orang Madura.

Tidak bisa dimungkiri mengenai "sarana kemaksiatan" seperti klub-klub malam dan sejenisnya. Sebagian orang Madura tentu sudah kenal itu tidak di Pulau Madura.

Dr A. Latief Wiyata, Antropolog FISIP Universitas Jember

Sumber: KORAN TEMPO edisi Jawa Timur, 15 Juni 2009

Label: , , ,

Suramadu dan Konflik Kekerasan

Ide pembangunan Jembatan Surabaya-Madura dicetuskan Prof Dr Ir Sedyatmo tahun 1960 sebagai bagian dari proyek ”menyatukan” Jawa, Bali, dan Sumatera (Kompas, 20/8/2003).

Namun, gagasan awal dari RP Mohammad Noer, sesepuh orang Madura sekaligus mantan Gubernur Jawa Timur. Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) mungkin merupakan satu-satunya proyek yang paling lama dibicarakan dalam diskusi dan seminar.

Oleh: A Latief Wiyata

Diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu (10/6), jembatan sepanjang 5.438 meter di atas Selat Madura itu menyatukan Pulau Jawa dan Madura, pembangunannya menelan biaya Rp 4,5 triliun. Kaki jembatannya dari pantai Kenjeran-Surabaya hingga Kecamatan Labang, Kamal, Kabupaten Bangkalan (Madura).

Perubahan Sosial

Dalam konteks pembangunan nasional, keberadaan Jembatan Suramadu merupakan bagian dari infrastruktur vital yang akan menunjang ”proyek” besar di baliknya. Namun, hingga kini banyak orang Madura belum tahu proyek apa saja yang hendak dibangun. Meski demikian, janji- janji pemerintah selalu melambungkan harapan orang Madura. Jargon-jargon ekonomis sering terdengar, seperti Madura akan menjadi zona industri (modern) dengan investasi amat besar dan kelak akan menyejahterakan masyarakatnya. Mereka yang selama ini cenderung dimarjinalkan secara ekonomi berharap nasibnya berubah menjadi orang yang mungkin (paling) sejahtera—setidaknya—di Jawa Timur.

Berbagai harapan ini tidak bisa ditolak karena kita paham, begitulah hukum ekonomi. Perlu diingat, berbagai perhitungan ekonomis tidak berdiri sendiri. Beragam kondisi nonekonomis juga patut dipertimbangkan.

Berfungsinya Jembatan Suramadu, cepat atau lambat, akan menimbulkan perubahan sosial warga Madura yang selama ini agraris. Pola kehidupan mereka akan diwarnai masyarakat industri. Para investor seyogianya merespons positif karakteristik sosial budaya warga Madura yang terbuka dan adaptif terhadap suasana dan lingkungan baru.

Karakteristik sosial budaya ini amat kondusif bagi bertumbuh kembangnya aneka industri besar. Bagaimanapun, masuknya pemilik modal besar yang disertai beroperasinya mesin-mesin industri merupakan kondisi-kondisi terbentuknya suasana dan lingkungan baru kehidupan masyarakat Madura kelak.

Meski demikian, beroperasinya mesin-mesin industri besar di Madura tidak akan mengubah karakteristik sosial budaya masyarakat Madura yang menonjol yakni spontan, responsif, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi. Karakteristik sosial budaya ini patut diperhitungkan para pemilik modal yang akan masuk Madura.

Pengoperasian mesin-mesin industri besar secara ekonomi tentu lebih bersifat padat modal (capital intensive) daripada padat karya (labor intensive). Dengan kata lain, keberadaan Jembatan Suramadu akan lebih berorientasi pada kepentingan pemilik modal besar daripada kepentingan orang Madura sendiri.

Bila demikian, proporsi terbesar orang Madura yang kemungkinan dapat menikmati berbagai keuntungan ekonomis dari beroperasinya mesin-mesin industri besar tentu hanya berkisar pada tataran pekerja menengah dan pekerja kasar. Kecemburuan sosial amat mudah tersulut bila pengelolaannya tidak memerhatikan prinsip-prinsip profesionalisme dan sarat aroma KKN.

Konflik Kekerasan

Meski demikian, orang Madura akan menerima semua itu selama pengelolaannya diyakini profesional dan transparan—dalam arti tidak menipu—dan memegang prinsip-prinsip keadilan. Lebih penting lagi, jangan sampai karakteristik sosial budaya orang Madura yang dikenal sebagai pekerja ulet, tangguh, dan pantang menyerah dimanfaatkan dan dimanipulasi sebagai tenaga kerja murah demi keuntungan investor. Segala bentuk ketidaktransparanan, ketidakadilan, dan manipulasi mudah mereka cium.

Hal itu mudah dipahami karena faktor geografis dan antropologis. Berbeda dengan pulau- pulau lain yang lebih dulu mengalami industrialisasi dalam skala besar, dari segi geografis, luas Pulau Madura sekitar 5.250 km, lebih kecil dari Pulau Bali.

Adapun faktor antropologis menyangkut penduduk Pulau Madura yang amat homogen, baik dari segi etnisitas, bahasa, maupun nilai-nilai sosial budaya. Faktor-faktor ini merupakan media kohesif yang amat erat mengikat mereka sehingga berpengaruh kuat terhadap kepekaan sosial terhadap berbagai perlakuan tidak adil dan semacamnya.

Itu sebabnya secara dini harus disadari sekaligus diantisipasi oleh para pemilik modal besar untuk bersikap dan berperilaku sportif dan profesional dengan penuh kearifan dan bijaksana dalam mengoperasikan mesin-mesin industrinya di Pulau Madura. Bila tidak, terkait sikap dan perilaku sosial budaya orang Madura yang amat spontan, responsif, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi, segala bentuk ketidaktransparanan dan ketidakadilan akhirnya mudah akan menjelma menjadi sikap dan tindakan resisten. Bila ini terjadi, tidak mustahil akan amat mudah tersulut menjadi benih-benih konflik kekerasan. Beberapa contoh yang sudah dikenal luas antara lain peristiwa Waduk Nipah di Sampang (1993) dan masalah agraria di Pasuruan (2007).

Andaikan beberapa dari banyak karakteristik sosial budaya Madura itu diperhatikan oleh semua pihak yang berkepentingan, niscaya ke depan segalanya akan berlangsung dengan baik tanpa harus diwarnai munculnya aneka resistensi dan konflik (kekerasan) sebagai wujud dari rasa tidak puas orang Madura.

A Latief Wiyata Antropolog Budaya Madura FISIP Universitas Jember

Label: , ,

Di Bawah Memburuk, di Atas Bersembunyi

Ada hal yang membuat Dr A. Latief Wiyata prihatin terhadap masyarakat Madura setelah terlibat dalam berbagai penelitian. Terutama pada warga Madura di luar pulau dalam memandang dirinya sendiri. Berikut petikan wawancaranya.

Apa yang membuat Anda aktif di bidang yang seluruhnya berkaitan dengan Madura?

Sebagai akademisi, sudah tentu saya hanya bisa berbuat sebatas atas pemikiran. Dalam hal ini pemikiran tentang Madura. Pemikiran itu bisa diperoleh dari bahan bacaan, seminar, diskusi, dan penelitian. Hanya pemikiran-pemikiran itu yang dapat saya sumbangkan pada Madura.

Bagaimana Anda akhirnya mendapat gelar orang yang paling getol mencari tahu tentang sosial budaya Madura?

Bermula dari keprihatinan saya sejak akhir 1970-an pada langkanya peneliti tentang Madura. Terutama peneliti yang berasal dari Madura sendiri, kalau pun ada jumlahnya sangat sedikit. Saya tergerak untuk meneliti sendiri bagaimana Madura. Ini saya lakukan agar pemahaman orang luar tentang Madura menjadi lebih proporsional dan kontekstual. Sejujurnya, saya justru lebih mengenal Madura sejak menulis desertasi untuk meraih gelar doktor. Tapi, sampai sekarang saya masih memelajari dan meneliti tentang Madura.

Mengetahui banyak hal tentang Madura, apa pengaruhnya pada Anda?

Mungkin yang bisa saya jawab, selama berada di luar Madura, menjadi kian jelas bagi saya bagaimana persepsi orang luar tentang Madura. Juga tentang bagaimana orang Madura di luar pulau menilai dirinya sendiri dan menilai Madura secara keseluruhan. Saya menangkap semua itu mengarah pada hal-hal yang negatif. Sangat menyedihkan, justru orang-orang Madura yang ada di luar ikut memerkuat persepsi negatif itu. Terutama di sebagian kalangan bawah dengan perilaku yang kurang patut. Sedangkan di kalangan atas, mereka justru "bersembunyi" dari identitas kemaduraannya. Jadi, wajar jika persepsi orang luar tetap tidak bergeser. Padahal, orang Madura yang kebetulan beruntung menjadi elit-elit inilah yang seharusnya memiliki andil besar untuk menepis persepsi buruk tentang Madura. Caranya, dengan menunjukkan identitas diri sebagai orang Madura.

Itu yang Anda tangkap di luar, bagaimana di Madura sendiri yang sebentar lagi akan menghadapi industrialisasi?

Secara pribadi saya tetap mengamati perkembangan industrialisasi yang akan digulirkan di Madura. Sesuai dengan kapasitas saya sebagai ilmuwan, saya akan menulis beberapa pemikiran saya tentang itu di media. Kadang terbesit sedikit pesimisme dalam benak saya bahwa industrialisasi itu akan lebih menguntungkan investor. Tapi, saya masih berharap kerugian orang Madura tidak separah yang saya bayangkan.

Banyak yang khawatir terhadap kesiapan masyarakat Madura menghadapi industrialisasi. Jika alasan kekhawatiran itu adalah ketertutupan apa Anda sepakat?

Saya tidak setuju dengan pendapat itu. Dalam era teknologi komunikasi yang sangat pesat seperti sekarang, ketertutupan sudah nyaris tidak nampak lagi. Orang Madura sudah sangat terbuka terhadap setiap perubahan. Bahkan, saking cepatnya mereka berubah sehingga gaya hidup mereka sudah nyaris tidak lagi mencerminkan gaya hidup kemaduraan sesuai dengan nilai-nilai sosial-budaya Madura.

Jika sudah terbuka, apa lagi yang perlu dibangun dari masyarakat Madura?

Bagi orang Madura sendiri yang penting adalah komitmen. Komitmen untuk tetap memelihara dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya Madura itu harus dibangun oleh mereka sendiri. Dan itu, harus dipandu dan diarahkan oleh para elit-elit yang ada di Madura. (nra/ed)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 10 Desember 2008

Label: ,

A. Latief Wiyata
Akademisi dan Peneliti tentang Madura

Melihat Masyarakat Madura Kena Virus Kapitalisme

Dalam sebuah buku yang mengulas tentang pertarungan ideologi, Francis Fukuyama menyatakan kapitalisme merupakan akhir dari sejarah hidup manusia. Artinya, segala sesuatu yang diperbuat manusia didasari oleh kecintaan mereka pada materi. Perubahan pun kemudian banyak dipengaruhi oleh mainstream ideologi "benda" ini. Bagaimana "si pencari Madura" melihat gejala itu di pulau garam? Berikut paparan Dr A. Latief Wiyata.

KALANGAN akademisi dan peneliti tentang Madura sudah tak asing dengan nama A. Latief Wiyata. Dia sudah banyak berkarya dalam tulisan-tulisan yang membeberkan bagaimana kehidupan sosial-budaya masyarakat Madura. Bahkan, akademisi yang satu ini berani mendalami fenomena Carok yang masih pro-kontra untuk dinyatakan sebagai salah satu tradisi Madura.

Berdasar tempat kelahirannya, pria yang kini menetap di Jakarta ini memiliki ikatan emosional yang sangat tinggi pada Madura. Dia dilahirkan di Kampung Patenongan, Desa Parsanga, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep pada 22 Juni 1950. Namun, sejak meninggalkan tanah kelahirannya (1970) untuk berkuliah di FISIP Universitas Jember, dia mulai jarana pulang. "Ayah dan kerabat saya yang lain masih ada di Sumenep. Saya masih sering menjumpai mereka di sana, ya tergantung keperluan," ujarnya saat ditanya seberapa sering datang ke kampung halamannya.

Mengenang tanah kelahirannya, Latief mengaku lebih banyak menghabiskan waktu bersama anggota keluarganya. "Ayah saya anggota Polri yang bertugas di luar Sumenep. Jadi, saya memang lebih banyak berkumpul dengan keluarga," kenangnya.

Selain di rumah, Latief juga punya beberapa teman akrab di kampungnya. Bersekolah di SDN Giling 1 Sumenep, berangkat dan pulang sekolah dijalaninya tanpa berkendara. Bersama teman sekampungnya tersebut, dia berjalan kaki melewati areal tegalan sambil menikmati suasana alami pepohonan dan kicauan burung. Sesekali, dia juga berjalan kaki di jalan umum. "Kadang kalau ada cikar (gerobak yang ditarik sapi) lewat saya menumpang saja di belakangnya," ungkap mantan Ketua LPPM Unibang (sekarang Unijoyo) ini.

Sayang, lanjutnya, segala yang dia rasakan di masa muda tak bisa dirasakan oleh generasi sekarang.

Bukan hanya suasana itu, Latief mengungkapkan, nuansa religius yang dia rasakan dulu juga mulai hilang. "Perubahan yang paling menonjol adalah gaya hidup," tegasnya.

Alasannya, ketika masih muda dia banyak bersinggungan dengan suasana Madura yang kental. Selain bersekolah formal, anak-anak di masanya juga rajin mengaji di surau. Jika waktu salat Magrib tiba, maka tak seorang pun ada di luar rumah, semuanya khusuk menjalankan ibadah salat.

"Begitu juga kalau Subuh. Semua warga akan bangun pagi untuk pergi ke surau atau masjid, lalu melanjutkan ke aktivitas yang lain. Sayang, sekarang semua sudah memudar. Maghrib pun kadang masih terdengar suara TV atau VCD player yang menyetel musik dangdut," sesalnya.

Tidak kalah mengkhawatirkan, gaya hidup sebagian besar orang-orang di kampungnya dan di kampung lain di Madura, sudah mulai terkena virus kehidupan "kapitalistik". Maksud Latief, segala sesuatu sudah mulai diukur dengan materi. Status sosial dan kebanggaan diri cenderung dipresentasikan dengan kepemilikan barang-barang konsumtif.

"Saya memahami kondisi itu sebagai dampak gempuran arus globalisasi. Mainstream (pola pikir) yang kapitalistik sangat gencar menyerbu melalui media elektronik dengan cara yang sadis," kata mantan koordinator penelitian konflik di Indonesia Timur.

Masalahnya, sambung Latief, masyarakat tidak sadar bahwa pada akhirnya mereka akan menjadi "korban". Ironisnya lagi, di saat yang bersamaan benteng pertahanan berupa nilai-nilai budaya Madura yang seharusnya dipertahankan ikut tergerus. Contoh kecilnya, pemberian nama pada anak yang baru lahir sudah tidak lagi menunjukkan "identitas" kemaduraan yang pada dasarnya bernafaskan Islam. Nama-nama itu kini berganti kata-kata yang berbau kosmopolitan. "Ini agaknya agar sinkron dengan gaya hidup yang baru itu," tandasnya.

Dia menegaskan, harus ada penelitian lebih lanjut terhadap fenomena tersebut. Sehingga, akan diketahui alasan dan latar belakang apa yang mendasari perubahan tersebut selain gempuran media dan pola pikir kapitalisme. Pasalnya, apa yang dia contohkan adalah hal kecil di antara banyak gejala perubahan di Madura.

Melihat kondisi tersebut, Latief menyatakan komitmennya untuk tetap memelihara Madura dengan caranya sendiri. Dia berkeinginan membuat Madura tidak hanya maju di bidang materi dan fisik, tapi dalam arti yang lebih luas. Sebab, bidang fisik tidak menjamin kemajuan masyarakat Madura secara luas.

"Meskipun secara fisik tidak berdomisili di Madura, tapi saya masih bisa berbuat untuk Madura dengan menulis atau seminar tentang Madura di mana saja," ungkapnya.

Agar hasil tulisannya bisa dibaca dan bermanfaat bagi banyak orang, dia memublikasikannya dalam blog internet. Latief berharap, hasil-hasil pemikirannya dalam blog internet tersebut bisa dipakai oleh siapa saja yang sedang mencari Madura. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 10 Desember 2008

Baca juga:
Di Bawah Memburuk di Atas Bersembunyi

Label: , ,

Madura Jangan Dipandang Sebelah Mata


oleh: Abdul Latief Wiyata

MAKIN hari makin banyak ilmuwan Indonesia yang kurang setuju pada pemetaan Clifford Gertz khususnya menyangkut wilayah budaya, abangan, santri, dan priayi. Mereka mempertanyakan "kewenangan" Gertz menafsirkan fenomena budaya, karena dia hanya beberapa tahun tinggal di Pare (Kediri). Para ilmuwan sebenarnya melihat temuan Gertz itu tak lebih sekadar justifikasi dari sistem kekuasaan saat itu, sehingga ketika kepentingan politik berubah, maka "wilayah" budaya itu pun akan berubah.

Tafsir baru. Demikian yang diinginkan sebagian ilmuwan dalam melihat fenomena sosial budaya. Tafsir itu akan lebih bermakna dan penuh nuansa, manakala dilakukan oleh orang yang terlibat langsung di dalamnya. Bukan seperti Gertz yang datang dan tinggal beberapa lama lalu membuat peta.

Itulah yang coba dilakukan. Meski baru mulai akrab dengan studi Madura ketika Huub de Jonge menjadi dosen tamu sosiologi di Universitas Jember awal 1980-an, sebagai oreng Madura Latief merasa apa yang dipersepsikan orang luar Madura selama ini terlalu simpel. Madura hanya dilihat sebagai entitas etnis tunggal dengan stereotip yang cenderung naif.

"Stereotip negatif ini yang membuat kalangan menengah Madura akan sulit mengaku Madura manakala mereka berada di luar Madura. Sebab, masyarakat luar Madura telah punya persepsi yang kurang bagus akan Madura. Ini yang harus kita berantas," ujarnya.

Madura di benak orang luar tak lebih dari celurit, karapan sapi, atau kekerasan. Bahkan, di bidang ekonomi orang Madura terlalu akrab dengan sate, becak, atau besi tua. Di sisi lain, Madura dikenal sebagai orang yang taat beragama dan patuh pada kiai. Di luar daerahnya, orang Madura dikenal sebagai pekerja keras, khususnya di sektor yang mengandalkan otot ketimbang otak.

Akan tetapi, bagi Latief, Madura tidak sekadar kekerasan dan keterbelakangan. Sama dengan entitas sosial budaya di Indonesia, Madura punya serpihan budaya mengakar kuat. Amatlah salah jika orang beranggapan bahwa Madura hanyalah kekerasan dan kekerasan.

Menurut Latief, pemahaman orang terhadap Madura yang tidak utuh itu dilatari pengetahuan yang kurang memadai. Itu terjadi karena studi Madura masih kurang. Sedihnya, orang Madura yang berada di lingkungan kampus pun, enggan meneliti Madura.

Jika orang Madura mau meneliti sosial budaya Madura, akan lebih banyak nuansa yang bisa ditangkap, dibanding orang Belanda atau luar Madura lainnya. Latief mencontohkan keterikatan orang Madura terhadap ulama yang tidak sentral dan sangat lokal.

"Benar, Madura adalah basis NU. Akan tetapi, dulu jarang sekali orang Madura yang kenal Gus Dur. Mereka lebih kenal Kiai Allawy di Sampang, Kiai Kholil di Bangkalan, Kiai Warist di Sumenep. Baru setelah jadi Presiden, orang Madura tahu Gus Dur. Bahkan, tidak semua warga Sampang patuh pada Kiai Allawy," ujar Latief.

Kasus pemilihan Bupati Sampang mencerminkan bagaimana ketaatan lokal warga Madura. Meskipun sama-sama berasal dari NU, toh Kiai Allawy tidak bisa "menaklukkan" warga PKB yang notabene juga NU. "Perspektif sosiologis seperti ini yang jarang dipahami orang luar Madura," ujar Latief yang kandidat doktor UGM ini.

Dalam budaya Jawa ketaatan masyarakatnya bisa tersentralisasi pada sultan sebagai tokoh agama dan pemerintahan, sehingga, sangat jarang terjadi konflik antardaerah. Katanya, "Di Madura pernah terjadi warga Sampang saling bunuh dengan warga Bangkalan."

Lebih jauh, kata ayah dua orang putra ini, ketaatan warga Madura bisa dipilah dalam tiga arus besar, ulama, umara, dan blater (jawara), yang memiliki wilayah otoritas berbeda namun saling melengkapi. Dari pandangan ini bisa dipahami mengapa karapan sapi yang melukai itu, bisa tetap bertahan.

"Menyakiti hewan itu jelas dilarang agama. Akan tetapi, karapan sapi itu wilayah blater, ulama akan sulit masuk. Rapal untuk memperkuat lari sapi, mereka peroleh dari ulama," ujar Latief.

LATIEF memilih carok untuk disertasi, sebab hampir tidak ada ilmuwan yang mau meneliti secara lebih komprehensif. Banyak tulisan yang tersebar di berbagai buku dan jurnal ilmiah, hanya membahas carok dari sisi yang kontroversial, tanpa menyentuh substansinya.

Menurut Latief, carok lebih didasarkan pada rasa malo (malu) yang berhubungan dengan harga diri seseorang. Malo berbeda dengan todus, yang dalam bahasa Indonesia juga berarti malu. Todus lebih terkait dengan pelanggaran norma. Akan tetapi malo secara otomatis menghilangkan eksistensi sosial budaya Oreng Madura.

"Bagi warga Madura lebih baik mati dibanding ada tetapi tiada. Kalau sudah malo berlaku ungkapan tembang pote mata, angor mate katela' tolang (daripada kelihatan putih mata, lebih baik mati kelihatan tulang, Red)," ujarnya.

SELEPAS SMA di Bangkalan, tahun 1970 Latief kuliah di jurusan administrasi negara FISIP Universitas Jember. Sejak jadi asisten dosen di almamaternya tahun 1974, Latief memegang mata kuliah yang sulit, Filsafat Pancasila.

Sampai awal 1980-an, ketika ahli Madura asal Belanda Huub de Jonge hadir di Jember, Latief masih mengajar mata kuliah yang jauh dari masalah etnisitas. Ia tertarik melakukan studi Madura karena Jonge tahu lebih banyak tentang Madura dibanding dirinya.

"Saya merasa tertantang. Masak orang Belanda yang baru beberapa tahun tinggal di Madura, lebih tahu dari saya," ujarnya.

Meski harus mulai lagi dari awal, Latief merasa menikmati pilihan barunya. Dia terus menempel Jonge ke mana pun pergi, terutama dalam penelitian di berbagai daerah di Madura.

"Saya banyak belajar dari Jonge. Bahkan, ketika saya di Belanda, saya ditunjuki peta Desa Parsanga' (Kabupaten Sumenep), tempat saya lahir. Saya kaget karena ternyata desa kelahiran saya itu dulunya sangat subur, kok sekarang jadi gersang," ujar pria kelahiran 22 Juni 1950 ini.

Makin kerap mengikuti Jonge, makin banyak ragam budaya Madura yang ditemui Latief. Tidak heran kalau dia bisa bicara banyak nuansa budaya Madura kepulauan dan daratan. Budaya Madura kepulauan, seperti di Pulau Kangean, Sapudi, atau Sapeken, sudah dipengaruhi Bugis atau Makassar. "Kenyataan ini makin melengkapi kesalahan persepsi masyarakat luar tentang Madura," ujarnya.

MERAIH gelar S-2 dari Universitas Indonesia, Latief sangat kagum kepada Parsudi Suparlan, ahli sosiologi perkotaan UI. Katanya, "Saya ingat bagaimana beliau berbulan-bulan hidup menggelandang saat penelitian soal gelandangan. Itu sungguh luar biasa".

Sebagai Oreng Madura, penampilan Latief tidak banyak berubah. Bicaranya lantang bahkan cenderung meledak-ledak meskipun tentu disertai alasan yang cukup. Bagi orang yang belum akrab, gaya bicara Latief bisa ditafsirkan simbol kesombongan. "Dari dulu, saya ya begini ini. Terserah orang mau menganggap apa," ujarnya. (Mohammad Bakir)

Sumber: Kompas, Kamis, 9 November 2000

Label: ,

Memahami Madura

Pelajaran dari Kasus Sampang

Sejak pemerintahan rezim Orde Baru hingga kini, Madura sudah berkali-kali menarik perhatian publik karena terjadinya tindak kekerasan atau amuk massa. Mulai dari kasus pembangunan Waduk Nipah di wilayah Kabupaten Sampang, kasus pertikaian antaretnik di Sambas, serta kerusuhan massa pada Pemilu 1977 yang merata di semua wilayah Madura.

Oleh A Latief Wiyata

Di pengujung tahun ini, lagi-lagi Madura menjadi perhatian publik dengan terjadinya amuk massa di Kota Sampang yang berpangkal pada hasil pemilihan bupati dan wakil bupati. Akibatnya, sampai sekarang pelantikan tertunda, dan Gubernur Jatim Imam Oetomo menyerahkan masalah ini ke pusat, yang sampai sekarang pun belum jelas juntrungannya.

Menarik sekali mencermati terjadinya amuk massa dari dua kelompok yang bertikai tersebut. Sebab pertama, mereka adalah sama-sama warga Sampang (baca: Madura) yang terkenal sangat taat sebagai Muslim. Kedua, mereka sama-sama berafiliasi pada partai politik yang berazaskan Islam. Bahkan konon mereka juga sama-sama dari komunitas nahdliyin.

Tulisan ini ingin mencoba melihat lebih jauh kasus tersebut dalam konteks sosio-kultural yang selanjutnya akan dijadikan semacam entry point untuk memahami orang Madura meskipun harus diakui masih banyak entry point lain yang bisa dilewati untuk maksud yang sama.

Orang luar Madura selalu menilai orang Madura sangat taat dan patuh kepada figur atau tokoh tradisonal (ulama/kiai) daripada kepada figur atau tokoh formal. Hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat ungkapan buppa'-babu'-guru-rato. Makna ini menunjukkan kepatuhan dan ketaatan orang Madura pertama-tama kepada kedua orangtua, kemudian berturut-turut kepada guru (figur ulama/kiai), dan terakhir kepada figur rato (pemimpin formal).

Yang perlu lebih dipahami bahwa kepatuhan serta ketaatan orang Madura kepada figur ulama/kiai sangat bersifat personal oleh karena itu sangat lokal. Artinya, setiap kelompok orang Madura, bahkan secara lebih ekstrem, tidak tertutup kemungkinan setiap keluarga-cenderung mempunyai referensi terhadap figur tertentu sesuai dengan keyakinan mereka. Tidak cukup hanya itu, referensi ini sangat berkait pula dengan faktor lokalitas di mana mereka berdomisili. Oleh karenanya, sangat mungkin terjadi figur ulama/kiai ini bukan referensi dari kelompok masyarakat yang lain yang tempat domisilinya kebetulan jauh.

Bila demikian halnya, mudah dimengerti apabila dalam kasus Sampang terjadi pertikaian antarkelompok pada tingkat grass root yang secara sosio-kultural mereka merupakan kaum nahdliyin dan bahkan sama-sama berafiliasi pada partai politik Islam.

Sebab, sudah menjadi rahasia umum, sejak proses "demokratisasi" digulirkan, beberapa ulama/kiai Madura menjadi pengurus dari partai-partai politik baru sehingga secara "instituonal" dan "personal" mereka menjadi terfragmentasikan.

Ironisnya, dalam suasana politik yang penuh carut-marut, realitas sosial budaya masyarakat Madura yang semacam itu dengan mudah dimanfaatkan oleh elite-elite politik formal. Dari sinilah bermula potensi konflik, yang tidak mustahil akhirnya menjadi amuk massa penuh kekerasan sebagaimana telah telanjur terjadi itu.

Dalam konteks yang lain, kasus amuk massa di Sampang mengindikasikan pula tentang kegagalan para tokoh dan elite tradisional (ulama/ kiai) dalam mengimplementasikan peran dan fungsi sosio-kultural mereka. Secara sosial budaya mereka sudah diakui oleh semua orang Madura sebagai center of solidarity. Namun, kenyataannya yang dapat dibaca dan dimaknai dari kasus Sampang, justru merekalah yang menjadi "motor penggerak" terjadinya konflik horizontal.

Oleh karena itu, kiranya perlu upaya reflektif tentang hal ini oleh semua pihak tentang perlunya penguatan kembali atau revitalisasi sense of the Madureseness yang kini sudah mulai muncul tanda-tanda dan gejala akan semakin luntur sehingga kasus yang sama tidak akan terulang kembali kelak kemudian hari.

A Latief Wiyata, Pengamat Masalah-masalah Sosial dan Budaya Madura

Sumber: KOMPAS, Senin, 20 November 2000

Label: , , , ,

Modal Rekonsiliasi Orang Madura

Rekonsiliasi pascakonflik di Kalimantan menjadi keharusan. Persoalannya, banyak pihak tidak memahami modal masing-masing etnik atau kelompok dalam upaya rekonsiliasi. Budaya, yang sejatinya memiliki potensi besar sebagai modal, seringkali justru dipandang sebagai penghalang. Saling membuka diri untuk melihat kearifan budaya masing-masing etnik tampaknya menjadi kewajiban.

Oleh: Dr. A. Latief Wiyata (CERIC Univ. Jember - Antropolog Budaya Madura)

Konflik sosial yang terjadi di Kalimantan - Sambas tahun 1999 dan Sampit tahun 2001 - sampai saat ini belum menuju tahap rekonsiliasi yang dapat menjamin terwujudnya perdamaian dan integrasi sosial. Berbagai upaya untuk mencapai rekonsiliasi telah berkali-kali dilakukan dengan jalan menyelenggarakan 'musyawarah' yang melibatkan tokoh-tokoh kelompok masyarakat yang bertikai - seperti 'Musyawarah Damai Anak Bangsa di Bumi Kalimantan' (Maret 2001) dan 'Musyawarah Tekad Mufakat Rakyat Kalimantan' (Februari 2002). Diskusi, seminar, dialog, dan publikasi juga telah dibuat untuk mencari solusi konflik demi menciptakan perdamaian yang permanen. Sudah menjadi anggapan umum bahwa konflik sosial di Kalimantan dimaknai sebagai konflik antarkelompok etnik, seperti antara orang Madura dengan orang Melayu di Kota Sambas, dan antara orang Madura dengan orang Dayak di Kota Sampit. Bahkan ditengarai konflik tersebut bernuansa agama (Islam-Kristen). Namun, temuan data-data di lapangan menunjukkan adanya faktor sosial-ekonomi dan politik yang menjadi penyebab timbulnya konflik etnik tersebut.

Pembahasan tentang konflik etnik di atas telah sering dilakukan dengan menggunakan berbagai macam perspektif dan teori kekerasan, namun kurang sekali memberikan perhatian pada unsur-unsur primordial yang menjadi basis pengikat sosial dan identitas suatu kelompok etnik. Analisis konflik sosial di atas dengan perspektif primordial sangat membantu dalam memahami sikap perilaku budaya suatu kelompok masyarakat secara kontekstual dan mencarikan solusi konflik sosial. Tulisan ini mengeksplorasi unsur-unsur primordial masyarakat Madura dan maknanya sebagai modal budaya mencapai rekonsiliasi sosial dengan kelompok etnik lain.

Kekerabatan dan Agama

Sebagaimana dikatakan oleh Geertz (1981), yang dimaksud dengan unsur-unsur primordial adalah: "Unsur-unsur sosial budaya yang lahir dari yang ‘dianggap ada’ dalam kehidupan sosial. Sebagian besar dari hubungan langsung dan hubungan keluarga, tetapi juga meliputi keanggotaan dalam lingkungan keagamaan tertentu, bahasa tertentu atau dialek tertentu serta kebiasaan-kebiasaan sosial tertentu. Persamaan-persamaan hubungan darah, ucapan atau bahasa, kebiasaan, dan sebagainya memiliki kekuatan yang meyakinkan". Menurut Glaser dan Moynihan (1981), yang termasuk unsur-unsur penting primordial adalah genealogi (keturunan dan ikatan kekerabatan), sistem kepercayaan (termasuk religi dan agama), dan bahasa.

Dalam realitas kehidupan sehari-hari, unsur-unsur primordial menjadi pengikat utama dalam membentuk suatu identitas kelompok etnik. Identitas ini menjadi penanda ciri atau karakter tersendiri yang terwujud dalam sikap dan perilaku budaya mereka. Dengan kata lain, unsur-unsur primordial yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik akan menjadi unsur pembeda identitas diri dari suatu kelompok etnik yang lain. Dalam sistem interaksi sosial, perilaku budaya merupakan perilaku simbolik yang pemaknaannya harus dilakukan secara kontekstual. Artinya, setiap orang dari suatu kelompok masyarakat harus mampu mengidentifikasi dan memahami makna simbolik dari perilaku budaya tersebut. Pemahaman yang sama terhadap suatu perilaku simbolik di antara obyek dan subyek sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya kesalahpahaman dalam interaksi sosial. Dengan persepsi ini, pemahaman yang sama tersebut dapat meminimalisasi timbulnya konflik yang bernuansa etnik. Setiap orang atau kelompok masyarakat dan kebudayaan harus menghindari perilaku etnosentrisme yang dapat menimbulkan ketegangan sosial.

Elemen penting primordial yang selalu muncul (dan sengaja dimunculkan) dalam interaksi sosial adalah ikatan kekerabatan. Dalam masyarakat Madura, ikatan kekerabatan terbentuk melalui garis keturunan, baik dari keluarga berdasarkan garis ayah maupun garis ibu (paternal and maternal relatives). Pada umumnya, ikatan kekerabatan antarsesama anggota keluarga lebih erat dari garis keturunan ayah sehingga cenderung "mendominasi". Ikatan kekerabatan orang Madura mencakup sampai empat generasi ke atas (ascending generations) dan ke bawah (descending generations) dari ego.

Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau kerabat (kinsmen), yaitu taretan dalem (kerabat inti atau core kin), taretan semma’ (kerabat dekat atau close kin), dan taretan jau (kerabat jauh atau peripheral kin). Di luar ketiga kategori ini disebut sebagai oreng lowar (orang luar) atau "bukan saudara" (lihat Wiyata: 2002). Dalam kenyataannya, meskipun seseorang sudah dianggap sebagai oreng lowar tetapi bisa jadi hubungan persaudaraannya lebih akrab daripada kerabat inti, misalnya karena adanya ikatan perkawinan atau kin group endogamy.

Hubungan sosial yang sangat akrab dapat pula dibangun oleh orang Madura dengan orang-orang di luar lingkungan kerabat tanpa memperhatikan asal-usul kelompok etnik. Biasanya hubungan sosial itu selain didasarkan pada adanya kesamaan dalam dimensi primordial, tidak jarang terjadi juga karena faktor kesamaan kepentingan di bidang ekonomi dan politik. Bila kualitas hubungan sampai mencapai tingkatan yang sangat akrab, mereka akan dianggap dan diperlakukan sebagai keluarga atau kerabat (taretan). Sebaliknya, ada kalanya anggota keluarga (taretan termasuk taretan ereng) justru dianggap dan diperlakukan sebagai oreng (bukan keluarga atau kerabat) jika kualitas hubungan kekerabatannya sangat rendah, misalnya karena adanya perselisihan tentang harta warisan. Dalam ungkapan Madura, hal yang demikian disebut oreng daddi taretan, taretan daddi oreng. Artinya, orang lain yang bukan keluarga dapat dianggap sebagai saudara, sebaliknya saudara sendiri dapat dianggap sebagai bukan keluarga. Dalam konteks ini, unsur kekerabatan orang Madura mengandung makna inklusivitas sehingga memberi ruang bagi terwujudnya integrasi sosial dengan kelompok etnik lain.

Selain ikatan kekerabatan, agama menjadi unsur penting sebagai penanda identitas etnik suatu kelompok masyarakat. Bagi orang Madura faktor ini seakan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri mereka. Artinya, jika orang Madura telah menjadi pemeluk agama selain Islam, dirinya akan merasa identitas ke-Madura-annya telah berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Bahkan, lingkungan sosialnya akan menganggap hal yang sama. Pada gilirannya, dia akan selalu merasa terasing dalam lingkungan pergaulan sosial budaya Madura.

Dalam kehidupan sosial orang Madura di Kalimantan, khususnya di Kota Sampit, hubungan persaudaraan antara orang Madura dengan orang-orang Dayak yang beragama Islam ternyata sudah terjalin dengan sangat baik sebelum terjadinya konflik. Pengalaman Mus (30), salah seorang pengungsi Sampit yang ada di wilayah Kabupaten Jember ketika ditemui di tempat kerabatnya membuktikan tentang hal itu. Mus menceritakan bahwa sebelum terjadinya pembantaian, puluhan orang Dayak lokal (Sampit) yang beragama Islam mendatanginya di kompleks pondok pesantren yang dikelola oleh ayahnya. Sebagai sesama Muslim, orang-orang Dayak lokal tersebut memohon kepada ayahnya untuk segera meninggalkan Sampit dalam waktu tiga hari agar terhindar dari pembantaian. Untuk menghilangkan kesangsian ayahnya atas permohonan tersebut, orang-orang Dayak lokal itu menyerahkan sebilah mandau sebagai cermin komitmen perdamaian dan kesungguhan hati. Pengalaman Mus ini menjadi modal budaya orang Madura untuk membentuk "kekerabatan semu" (pseudo kinship) dengan etnik lain.

Sebagaimana lazimnya pada masyarakat atau kelompok etnik lain, orang Madura juga lebih memperhatikan faktor agama dalam urusan perkawinan atau perjodohan. Sekalipun demikian, dalam hal-hal yang lain, orang Madura menghargai pluralisme sosial keagamaan dan keetnikan.

Bahasa

Bahasa merupakan salah satu identitas kelompok etnik yang tampak jelas dalam suatu interaksi sosial masyarakat majemuk (Gumperz, ed. 1982). Salah satu identitas Orang Madura adalah bahasa Madura. Bahasa Melayu merupakan salah satu penanda identitas orang Melayu. Bahasa Dayak juga merupakan salah satu identitas budaya orang Dayak. Orang-orang Madura di Pontianak menguasai dengan baik bahasa Melayu, bahasa Indonesia, dan bahasa Madura.

Penggunaan bahasa-bahasa tersebut ditentukan oleh konteks interaksi yang mereka hadapi. Dalam pergaulan sehari-hari, seperti di tempat-tempat publik, bahasa Melayu merupakan bahasa komunikasi dan interaksi sosial yang digunakan oleh orang-orang Madura. Bahasa Indonesia akan digunakan oleh orang-orang Madura jika mereka berurusan dengan instansi atau dalam situasi resmi. Bahasa Madura digunakan di dalam lingkungan internal mereka.

Dalam masyarakat multietnik, seperti di Kota Pontianak, bahasa Melayu merupakan bahasa dominan yang digunakan dalam pergaulan sosial. Secara historis, dominasi bahasa Melayu ini terkait dengan masa awal keberadaan orang Melayu di kota tersebut. Seperti halnya kota-kota maritim lainnya di tanah air, Pontianak yang merupakan kota bandar maritim telah menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) penduduk setempat. Keberadaan kota ini juga tidak terlalu jauh dengan Riau yang merupakan daerah asal bahasa Melayu. Karena itu, orang-orang Melayu merupakan penduduk lokal yang lebih awal kedatangannya di kota Pontianak dibandingkan dengan orang Madura.

Konteks historis dan geografis di atas telah menempatkan bahasa Melayu memiliki kedudukan dan peranan yang penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Pontianak. Karena bahasa Melayu merupakan referensi komunikasi sosial, para pendatang pun seperti orang-orang Madura harus belajar dan menggunakan bahasa tersebut dengan baik. Pemahaman yang baik terhadap bahasa Melayu sering mendorong timbulnya gejala interferensi leksikal ketika orang-orang Madura berbicara dalam bahasa Madura di lingkungan internalnya atau ketika mereka berbahasa Indonesia dengan orang yang baru dikenalnya.

Sebagai sarana interaksi sosial, penguasaan bahasa Melayu tidak hanya untuk mengekspresikan diri, tetapi juga menjadi media integrasi sosial dengan orang-orang Melayu atau penduduk Pontianak. Dalam konteks integrasi sosial, bahasa bukan sekadar untuk meningkatkan "daya keberterimaan" masyarakat lokal terhadap kehadiran dan eksistensi orang-orang Madura, memudahkan pemahaman terhadap budaya masyarakat lokal, tetapi juga menjadi sarana untuk mempermudah akses terhadap sumber daya ekonomi lokal.

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan orang-orang Madura dalam menguasai sektor-sektor ekonomi informal adalah karena kemampuannya menguasai bahasa Melayu dengan baik sesuai dengan tujuan-tujuan interaksi sosial seperti di atas. Jika orang-orang Madura mampu keluar dari batas-batas identitas budaya mereka untuk menguasai pemakaian bahasa Melayu secara 'baik dan benar', apakah orang Melayu melakukan hal serupa terhadap bahasa Madura sebagai sarana untuk menjalin kerja sama dan memahami dengan baik identitas ke-Madura-an?

Terlokalisasinya penggunaan bahasa Madura untuk lingkungan internal yang terbatas merupakan bukti jika bahasa ini belum digunakan secara lintas etnik. Baik orang Melayu maupun orang Dayak belum tentu bisa dengan baik berbahasa Madura. Pemahaman bahasa Madura yang minimal seperti ini menyulitkan orang Melayu dan Dayak mengembangkan integrasi sosial atau kedekatan sosial dengan orang Madura. Segregasi sosial di antara kelompok-kelompok etnik tersebut tetap berlangsung karena belum berkembangnya pemahaman timbal-balik terhadap bahasa masing-masing.

Kasus integrasi sosial-budaya Madura dan Jawa di kawasan "tapal kuda" Jawa Timur merupakan contoh yang baik. Sekalipun kedua kelompok etnik berbeda identitas budayanya, konflik antara orang Madura dengan orang Jawa di daerah ini tidak terjadi, apalagi yang berskala besar. Kedua pihak dapat memahami dengan baik masing-masing bahasa yang digunakan, baik secara aktif maupun pasif. Pemahaman bahasa dan kemampuan komunikatif (verbal repertoire) secara timbal-balik akan meningkatkan "daya keberterimaan" masing-masing pihak.

Dalam konteks integrasi sosial dan rekonsiliasi permanen, upaya memahami dengan baik bahasa Madura oleh orang Melayu atau Dayak merupakan sesuatu hal yang harus dipertimbangkan. Penguasaan simbol-simbol bahasa Madura yang baik merupakan pintu masuk untuk memahami perilaku sosial dan makna kebudayaan Madura. Jalan ini ditempuh untuk kepentingan meningkatkan saling pengertian, memudahkan menjalin komunikasi dan kerja sama sosial ekonomi, serta mendorong kedekatan sosial-budaya. Pencapaian ketiga hal tersebut akan mempermudah distribusi sumber daya sosial, ekonomi, dan politik lokal secara merata di kalangan kelompok-kelompok etnik, sehingga menjadi modal budaya untuk menciptakan integrasi sosial yang akan menjadi basis rekonsiliasi yang permanen dan berkesinambungan.

Penanda Identitas

Unsur-unsur primordial yang mencakup kekerabatan, agama, dan bahasa merupakan penanda identitas masyarakat dan kebudayaan Madura. Kekerabatan dalam kehidupan orang Madura tidak selalu dapat dimaknai sebagai cerminan dari sikap eksklusivitas orang Madura. Sebaliknya, justru ikatan kekerabatan dapat membentuk "kekerabatn semu" (pseudo kinship) yang disebut dengan ungkapan oreng daddi taretan. Ini merupakan salah satu modal budaya untuk membangun dan mengembangkan interaksi sosial dengan kelompok etnik lain.

Agama Islam juga merupakan identitas penting orang Madura. Dalam hal keagamaan ini, orang Madura sangat ketat untuk hal-hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan. Dalam hal-hal lain, orang Madura juga bersikap terbuka dan menghargai perbedaan identitas keagamaan. Perbedaan keyakinan keagamaan tidak menjadi penghalang untuk menjalin kerja sama dengan orang lain. Sikap keterbukaan ini merupakan modal budaya yang bisa dimanfaatkan untuk membangun rekonsiliasi dengan kelompok etnik Melayu atau Dayak.

Bahasa Madura merupakan identitas lain bagi orang Madura. Kemampuan orang Madura memahami bahasa Melayu harus dilihat sebagai bagian dari strategi adaptasi orang Madura untuk berintegrasi dengan masyarakat lokal di Kalimantan. Langkah demikian seharusnya juga diikuti oleh kelompok etnik lain untuk memahami eksistensi bahasa Madura. Pemahaman bersama atas kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok etnik sangat penting untuk modal memahami jati diri atau identitas budaya masing-masing kelompok etnik. Hal ini juga mencerminkan adanya saling pengertian dan penghargaan terhadap unsur kebudayaan yang dimiliki masing-masing kelompok etnik. Dengan jalan demikian, integrasi sosial bisa dikembangkan dan menjadi basis terbentuknya rekonsiliasi yang berkelanjutan di bumi Kalimantan.***

Daftar Pustaka
  • Geertz, Clifford. 1981. "Ikatan-ikatan Primordial dan Politik Kebangsaan di Negara-negara Baru", dalam Juwono Sudarsono (ed.), Pembangunan Politik dan Perubahan Politik. Jakarta: Gramedia, hal. 1-14.
  • Glaser, Nathan dan Daniel P. Moynihan (eds.). 1981. Ethnicity. Theory and Experience. Cambridge: Havard University Press.
  • Gumperz, John J. (ed.). 1982. Language and Social Identity. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Martin, Jean. 1981. The Ethnic Dimension. London: George Allen & Unwin.
  • Mas’oed, Mohtar dkk. (ed.). 2000. Kekerasan Kolektif, Kondisi dan Pemicu. Yogyakarta: P3PK UGM.
  • Petebang, Edi dan Eri Sutrisno. 2000. Konflik Etnik di Sambas. Jakarta: ISAI.
  • Seymour-Smith, Charlotte. 1993. Macmillan Dictionary of Anthropology. London: Macmillan Press Ltd.
  • Sihbudi, Reza dan Moch. Nurhasim (ed.). 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia. Studi Kasus Kupang, Mataram dan Sambas. Jakarta: Grasindo.
  • Wiyata, A. Latief. 1987. Taneyan Lanjang. Pola Pemukiman dan Kesatuan Sosial di Masyarakat Madura. Seri Kertas Kerja No. 6. Jember: Pusat Kajian Madura Universitas Jember.
  • Wiyata, A. Latief. 2002. Carok. Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS.

Artikel ini telah dimuat di Jurnal Aksi Sosial (JAS) Edisi 'Integrated Approach' Tahun II No.2 / Januari-Februari-Maret 2005. JAS bisa didapatkan di toko-toko buku terkemuka atau hubungi ceric1@fisip.ui.edu, aksisosial@yahoo.com.

Label: , , ,