Investor Jangan Sampai Memanfaatkan
Keuletan Masyarakat Madura
Jembatan Suramadu yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni lalu menjadi ikon baru masyarakat Jawa Timur. Lihat saja, kemarin. Begitu dilakukan uji coba gratis, warga langsung menyemut, memadati jembatan ini. Mereka berjubel ingin menjajal jembatan yang menghubungkan daratan Surabaya dan Madura ini.
Di awal rencana pembangunannya, sejumlah ulama yang tergabung dalam Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra) Bangkalan menentang. Mereka khawatir adanya jembatan ini membawa dampak sosial-budaya bagi masyarakat seperti yang terjadi di Batam.
Namun, dalam perjalanannya, para ulama ini melunak. Mereka mengajukan sembilan syarat, di antaranya pembangunan di Madura harus memiliki ciri Indonesiawi, Madurawi, dan Islami.
Memang pembangunan jembatan ini diharapkan bisa memajukan wilayah Madura sejajar dengan daerah lainnya di Jawa Timur.
Untuk mengetahui sejauh mana kesiapan masyarakat Madura menyongsong perubahan sosial yang terjadi dengan adanya jembatan ini, wartawan Tempo, Jalil Hakim, mewawancarai Antropolog Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, A. Latief Wiyata, melalui surat elektronik, Kamis pekan lalu. Berikut ini petikan wawancaranya.
Apa yang harus dilakukan oleh empat kepala daerah agar keberadaan jembatan ini bisa memberikan manfaat besar bagi masyarakatnya?
Sebagai pemegang otoritas pemerintahan formal, para bupati di keempat kabupaten yang ada di Madura bersama jajarannya, paling tidak harus memperhatikan tiga hal.
Pertama, mengawal dan mengawasi proses industrialisasi agar dapat membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua orang Madura. Kedua, melalui otoritas kekuasaan formalnya, para bupati itu sudah seharusnya mempertahankan kedaulatan Madura. Jangan sampai kedaulatan mereka terhegemoni oleh kekuatan-kekuatan uang yang dimiliki para investor kakap.
Ketiga, sedini mungkin harus merancang tata ruang yang bagus agar kelak tidak timbul sengketa-sengketa yang menyangkut penataan dan peruntukan lahan yang tidak tepat antara kepentingan pihak pemerintah daerah sendiri, masyarakat, dan para investor yang pada gilirannya justru merugikan orang Madura.
Seberapa besar pemimpin formal dan nonformal bisa mendorong ke arah kemakmuran itu?
Saya sangat yakin dan optimistis masyarakat Madura ke depan akan kian maju dan meningkat kesejahteraannya andai para elite lokal, terutama elite formal, merupakan figur-figur yang benar-benar teruji secara intelektualitas, moralitas, dan amanah. Di pundak merekalah masa depan orang Madura dipertaruhkan dengan tantangan yang kian berat setelah beroperasinya Jembatan Suramadu.
Intelektualitas menyangkut tidak saja jenjang pendidikan yang disandangnya (kadang hanya teraktualisasi sebagai gelar simbolik semata yang tunamakna), melainkan lebih penting pada bagaimana mengimplementasikan semua pengetahuan serta wawasan intelektualnya dalam kehidupan nyata.
Secara moralitas, figur pemimpin yang dibutuhkan itu harus benar-benar mampu menunjukkan cara berpikir, bertindak, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moralitas, baik yang berasal dari ajaran agama (Islam) maupun dari nilai-nilai sosial budaya Madura.
Implikasinya nanti tidak akan terdengar lagi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sangat aib karena merugikan hampir semua orang Madura. Aspek yang terakhir adalah figur pemimpin itu harus dapat memegang teguh amanah.
Kekuasaan juga sangat sarat aspek moralitas. Ketika seseorang yang kebetulan diberi kesempatan memperolehnya kemudian benar-benar menyadari bahwa kekuasaan itu adalah sebuah amanah dari Yang Mahakuasa, niscaya kekuasaan itu akan bermanfaat bagi semua orang Madura. Sebaliknya, kekuasaan itu pula bisa membuat kehidupan orang Madura bisa menjadi semakin terpuruk. Padahal, keterpurukan ini menurut ajaran agama Islam sangat dekat dengan kekufuran bagi yang bersangkutan.
Anda yakin besarnya investasi yang masuk akan mampu memakmurkan masyarakat Madura?
Saya tidak percaya hal itu sepenuhnya. Berdasarkan perspektif ekonomi, memang semakin besar investasi, akan semakin besar kemungkinan keuntungan yang akan diraih. Namun, pertimbangan ekonomi tidak berdiri sendiri. Apalagi didasarkan pada teori pembangunan bahwa semua proyek industri besar lebih bersifat capital intensive (padat modal) daripada labour intensive (padat karya).
Aspek-aspek sosial budaya patut diperhitungkan. Secara sosiologis, komposisi masyarakat Madura sebagian besar berada pada strata bawah. Selain itu, kemampuan SDM Madura masih relatif rendah sehingga belum dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan akan tenaga kerja industri yang sangat padat modal. Itu artinya, kalaupun orang Madura dapat dimanfaatkan dalam proyek industrialisasi, tidak lebih pada tenaga-tenaga kasar belaka.
Jangan dilupakan, konsep para pemilik modal di mana pun selalu mencari keuntungan sebanyak mungkin dengan cara antara lain menggunakan tenaga kerja (kasar) dengan upah serendah-rendahnya. Keuletan dan sifat mau bekerja keras orang Madura saya khawatir justru dimanfaatkan oleh para investor. Dalam konteks inilah, pesimisme saya muncul akan terentasnya orang Madura dari lembah kemiskinan.
Apa sebenarnya yang dikhawatirkan oleh masyarakat Madura?
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebaliknya, dengan adanya Jembatan Suramadu sebagai infrastruktur dari suatu proyek besar, para pemilik modal yang akan mengoperasikan mesin-mesin industri besarnya sudah seharusnya bersikap profesional, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik.
Andai pengoperasian industri-industri besar itu tidak mengindahkan hal-hal itu, dengan mudah orang Madura akan merasa diperlakukan tidak adil sehingga akan mudah pula menyulut resistensi sosial.
Bila ini terjadi, konflik-konflik yang berujung pada tindakan kekerasan akan mudah meledak. Kasus-kasus Waduk Nipah di Sampang (1993) dan masalah agraria di Pasuruan (2007) merupakan pelajaran penting yang harus dihindari.
Bagaimana dengan dampak ikutan industrialisasi nantinya?
Memang harus diakui, dampak ikutan itu tak mudah untuk ditepis keberadaannya. Sebagai masyarakat yang tingkat religiositasnya tinggi, orang Madura tentu akan sangat memperhatikan dampak itu.
Persoalannya terletak pada para pengelola industrialisasi bekerja sama dengan elite-elite lokal (baik formal maupun nonformal) bagaimana seharusnya mengemas masalah ini agar tidak mengganggu rasa keagamaan orang Madura.
Tidak bisa dimungkiri mengenai "sarana kemaksiatan" seperti klub-klub malam dan sejenisnya. Sebagian orang Madura tentu sudah kenal itu tidak di Pulau Madura.
Dr A. Latief Wiyata, Antropolog FISIP Universitas Jember
Sumber: KORAN TEMPO edisi Jawa Timur, 15 Juni 2009
Label: a latief wiyata, dokumentasi, investor, suramadu
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda