Laba Untuk Rakyat
Jembatan penghubung kota Surabaya dan pulau Madura sudah berfungsi. Selain banyak yang bersukacita, tak sedikit pula yang berdukacita. Di antara kita ada yang bertanya-tanya: “Bagaimana nasib penyeberangan ferry Ujung-Kamal? Kan bisa bangkrut? Tutup?” Sungguh sebuah pertanyaan empati yang baik, menyiratkan kekuatiran pada nasib penyelenggara jasa penyeberangan ferri dan nasib para pedagang asongan di kawasan itu.
Oleh: Sirikit Syah
Namun mari kita berpikir logis. Para pedagang asongan, seperti layaknya rakyat Indonesia dari sektor non-formal umumnya, akan menemukan daya dan saluran survivalnya sendiri. Bahkan tanpa bantuan pemerintah sekalipun. Akan halnya penyelenggara penyeberangan ferry, mereka adalah badan usaha pemerintah bernama ASDP (Angkutan Sungai Danau dan Pantai). Jadi, bila pemerintah akan bangkrut di penyeberangan Ujung-Kamal, so what? Memangnya kenapa? Biar saja pemerintah bangkrut di situ, tetapi membuka sesuatu yang baru, yang lebih baik bagi lebih banyak rakyat. Dalam bahasa Emha Ainun Najib, “Siapapun koalisinya, apapun sistemnya, yang penting Laba Untuk Rakyat.”
Seandainya Cak Nun salah satu kandidat pilpres, slogan itu terdengar lebih jujur dan menjanjikan. Cak Nun bahkan tak peduli metodanya: mau neolib, sosialis, kapitalis, IMF, Bank Dunia, wewe gombel, gendruwo, iblis; semuanya silakan saja, yang penting Laba Untuk Rakyat. Pantas saja Cak Nun ditepuki terus menerus dari pukul 8 sampai 12 malam hari Rabu dan Kamis kemarin. Memang itulah rakyat: tak peduli metodenya, yang penting hasilnya. Laba untuk siapa lagi kalau bukan untuk rakyat?
Slogan slengekan gaya arek Jombang ini memang terdengar lebih ampuh daripada slogan lain seperti “Lanjutkan!”, “Perubahan!”, atau “Lebih cepat lebih baik”. Yang sinis gampang mencemooh: “Kalau dilanjutkan, makin bangkrutlah negara kita.” Atau: “Apanya yang akan diubah?”, dan “Lebih cepat, tidak selamat.” Maka slogan Republik Balkadalba rekaan Cak Nun ini bagai air segar menyiram hati rakyat yang tandus dan gersang.
Tapi, apakah kita akan setuju saja dengan “siapapun” mitra koalisinya dan “apapun” sistemnya? Terlanjur. Hal-hal yang sedang kita cemaskan ini sudah terlanjur. Siapa mengira Jaringan Islam Liberal bisa akur dengan Partai Keadilan Sejahtera? Ya, hanya di SBY-Boediono mereka bisa mengesampingkan perbedaan-perbedaan prinsipil, dan bergandengan tangan mendukung calon pemenang. Siapa pula yang tidak meragukan sinergi Megawati-Prabowo? Apakah ada pasangan yang lebih absurd daripada dua orang ini? Orangtua Megawati dan mantan mertua Prabowo bermusuhan. Megawati dan Prabowo sendiri berseberangan. Tapi, seperti kata Cak Nun: “Siapapun koalisinya, apapun sistemnya, yang penting Laba Untuk Rakyat.” Jadi, pasangan seabsurd Mega-Prabowo pun oke-oke aja menurut teori Balkadalba. Yang penting untuk rakyat.
Inilah yang sering diabaikan oleh para penyelenggara negara, para buruh upahan yang mendapatkan fasilitas dari pajak yang kita bayarkan pada negara. Ribut-ribut tersinggung di wilayah Ambalat, tetapi tak ada perhatian pada warga negara di garis perbatasan. Warga negara melapor disiksa suami di negara asing, pejabat KBRI malah menjadi corong suami berkebangsaan asing. Untung ada Siti Hajar. Reputasi KBRI sedikit terselamatkan dari kemerosotan yang memalukan. Pendeknya, setelah negara dikuasai klan Soeharto selama 32 tahun, pada 11 tahun terakhir reformasi hanya retorika dari para penerus OrBa. Rakyat tak pernah berdaulat. Rakyat hanya obyek sasaran kampanye. Giliran menghitung laba, rakyat seperti tidak ada. Pembangunan bukan demi rakyat, tetapi demi proyek.
Di tengah berbagai kecurangan dan keculasan para politikus dan penyelenggara negara, kita seperti terhibur oleh ejekan-ejekan Cak Nun pada diri sendiri dan para para pemimpin. Bagaimanapun, seniman terasa lebih jujur. Syair mengalir lebih jernih. Puisi itu membersihkan, ujar Robert Frost.
Sayang, kejujuran seniman mendapatkan ujiannya ketika diiming-imingi segepok uang untuk membanyol dengan tujuan politis. Seburuk-buruknya karya seni adalah karya seni yang dibeli untuk keperluan politik. Bayangkan situasi ini: tiga kandidat pilpres tengah melakukan deklarasi kampanye damai. Suasana tentu saja rukun dan damai. Namun kerukunan itu terusik oleh sebuah pentas seni dagelan yang tidak lucu. Sudah materinya klise –banyolan apa yang lebih klise daripada mengejek pejabat negara?- momentnya juga tidak cocok. Seniman dan sponsornya telah melakukan tindakan tidak etis (secara politik, seni, dan moral), karena mereka bersama-sama menodai gagasan deklarasi damai dengan mengejek salah satu kandidat, yang kebetulan pejabat yang sedang berkuasa.
Bukan hanya kalangan politisi yang diserang yang terkejut. Orang awam politik seperti saya juga terkejut. Rasa kesenimanan saya terganggu. Kok bisa seniman bernama besar seperti Butet, yang terkenal dengan parodi dan impersonasinya atas tokoh-tokoh, mau dibayar untuk melakukan karya seni yang tidak etis? Maksud saya, kalau dia seniman kecil-kecilan yang mabuk kepayang pada honor fantastis yang ditawarkan oleh Mega-Pro, motivasinya dapat diterima nalar. Namun ini Butet, dramawan top, seniman kaya, kritikus pejabat paling laris di Indonesia. Apa yang membuatnya melanggar etika berkesenian dan tata krama deklarasi politik? Semata-mata uang? Jangan-jangan iming-iming jabatan kekuasaan?
Cak Nun juga pernah terpeleset seperti Butet. Kritikus Soeharto yang paling lantang, belakangan malah Cak Nun dipercaya menjadi orang dekat Presiden Soeharto. Di kalangan penyair dan dramawan, materi paling gampang ditulis dan diaktingkan adalah: mengejek pejabat negara. Anda bahkan tak perlu terlalu bekerja keras untuk itu. Apapun yang Anda katakan, gesture dan mimik apapun yang Anda mainkan, Anda akan dihujani tepuk tangan. Namun kalau Anda mengejek pejabat di depan pejabat bersangkutan, di hadapan para pesaingnya pada saat deklarasi kampanye damai, orang tak bisa lagi tertawa pada banyolan Anda.
Cak Nun, bahkan Rendra, bisa tergelincir dalam slogan-slogan klise anti-pemerintah. Untung Cak Nun telah kembali ke jalan yang benar, menurut Wawali Arif Affandi. Memang dia masih mengkritik pemerintah –materi tergampang yang dapat dijual- namun dia menyelipkan ide brilliant: Laba Untuk Rakyat. Slogan politik ini mestinya dimiliki oleh kandidat presiden. Pertanyaannya kembali pada kita, yang kemarin meneriakkan kesetujuan dengan gegap gempita kepada Cak Nun. Ini pertanyaannya: benarkah kita tak peduli pada mitra dan cara? Benarkah kita tak peduli pada isu neolib, ekonomi kerakyatan, IMF, Bank Dunia, Islam radikal, militerisme, Balkadalba, sejauh laba untuk kita? Kita buktikan saja saat mencontreng nanti.
Sumber: Surabaya Post, Sabtu, 13 Juni 2009
Label: dokumentasi, rakyat, Sirikit Syah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda