Cara Madura Memandang Dunia

Dunia pasca perang dunia kedua membelah menjadi dua, Barat dan timur. Barat menunjuk komunitas negara-negara bekas penjajah sedang timur jamak dirujukkan kepada negara-negara bekas jajahan yang masih membangun jatidiri nasionalisme dan developmentalismenya. Pembelahan ini bukan cuma soal geoekonomi namun bersifat jauh menjangkau sampai kepada hal-hal pandangan hidup masyarakat dunia.

Oleh Syarif Hidayat Santoso *)

Jamak diketahui orientalisme mendahului oksidentalisme. Cara berpikir orang barat yang menghakimi dan menghukumi orang timur dengan perspektif barat. Orang timurpun juga begitu, meski terjajah ratusan tahun dan diminorkan dalam peradaban kontemporer, timur menawarkan banyak hal kepada barat. Timur berdiri dengan sikap-sikap ideologi baru mulai spiritualisme, anti neolib, fundamentalisme dan sosialisme dunia ketiga. Spiritualisme berbasis ketimuran dalam berbagai paketnya sejak Yoga, meditasi Cina sampai sufisme Islam ditawarkan dan menjadi melodi kultural yang booming di barat. Timur juga menawarkan pos kolonialisme untuk memilah sisi subaltern sebuah tamaddun. Timurpun berkemas dengan spirit anti neolib dan sosialisme gaya baru untuk mengejar barat. Dua dekade terakhir, timur menawarkan fundamentalisme yang anehnya tidak cuma ditawarkan kepada barat namun dikampanyekan di timur sendiri.

Persoalan timur barat bukan persoalan semantik arah angin. Ini buah berpikir transdialogisme yang terjadi sejak paruh abad 20. Seandainya tidak ada kolonialisme, takkan pernah ada pemilahan barat dan timur seperti saat ini. Transformasi kolonialisme telah melahirkan dikotomi bersikap akut yang bahkan tak mampu memerdekakan akal dalam meninjau dunia.

Di Madura, dua kutub (barat-timur) hadir secara sinergis pada pandangan dunia orang Madura. Namun, ada keunikan yang dipresentasikan cara pandang orang Madura terhadap dirinya dan dunia sekitarnya. Meski dibelit aura warna-warni dalam kolonialisme, orang Madura tetap memiliki cara pandang tersendiri terhadap dunia.

Edward Said, dalam buku monumentalnya, Orientalism mengkritik cara pandang kolonialis yang mendikotomikan barat-timur sebagai sesuatu yang berantitesis dengan peletakan barat sebagai superior dan timur sebagai subordinan peradaban. Barat adalah segala-galanya bagi orang barat, karenanya barat harus dimenangkan dalam kontestasi apapun. Bagi orang Madura, keterpakuan pada dikotomisasi ini justru tak merisaukan cara pandangnya. Boleh dikata, pandangan dunia orang Madura relatif bebas dari klasifikasi geografis. Di Madura, barat dan timur memiliki posisi dan daya tawar sama.

Di masa kolonialisme, istilah oreng bhara’ (orang barat) dirujukkan kepada ras Eropa yaitu Belanda. Namun, Barat (bhara’) bagi orang Madura juga menggambarkan aspek kesatuan dan kesakralan teogeografis, yaitu menggambarkan arah kota suci. Kalau ada orang Madura berucap Ka Bhara’, maka itu berarti konotasi naik haji ke Mekkah. Musim hujan yang merupakan masa bertiupnya angin barat disebut dengan nembhara’ Bagi mayoritas orang Madura, musim penghujan adalah berkah karena topografi pertanahan Madura yang mengambil bentuk ladang sudah pasti membutuhkan banyak air, apalagi Madura adalah pulau kering. Bhara’ dimaknai sebagai sesuatu yang penuh kebaikan, meski orang Madura juga menyebut bhara' sebagai identifikasi terhadap orang barat. Penyebutan bhara’ sebagai lafal yang berkait dengan musim hujan dan Mekkah adalah sesuatu yang menarik. Baik Mekkah maupun musim penghujan adalah sesuatu yang dianggap barokah dalam pandangan keislaman orang Madura.

Pandangan orang Madura yang menyebut bhara’ dengan identifikasi barokah terhadap Mekkah sekaligus musim hujan ini menarik sekali, karena bersesuaian dengan pandangan dunia Al Quran yang menyebut air hujan dan Ka’bah di Mekkah sebagai sesuatu yang penuh berkah. Dalam surat ayat Qaaf ayat 9 disebutkan “Dan kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah”. Sementara dalam Surat Ali Imran ayat 96 disebutkan “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun bagi umat manusia adalah baitullah yang di Mekkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi manusia”. Walhasil, sikap Madura terhadap barat selain mendapat justifikasi dari sisi kultural juga sinergik dengan pandangan dunia Quran.

Sebaliknya, musim kemarau disebut nemor, sebuah penyebutan yang berkait erat dengan kata temor (timur). Di Madura, kata timur sendiri memiliki makna paradoks. Paradoks kemakmuran karena musim kemarau selalu dimaknai berkah bagi mayoritas orang Madura yang petani tembakau dan garam dan paradoks kerugian karena timur juga dimaknai magis negatif. Dalam sistem religi orang Madura dikenal istilah elmo temor (ilmu timur) atau asma’ temor (asma’ timur). Dua istilah ini mengacu kepada konsep magi yang sifatnya merusak, sejenis sihir putih yang sering menyebabkan pemiliknya merugi lahir batin. Elmo temor atau asma’ temor sering dianggap berbahaya karena pemiliknya sering ditimpa taras yaitu kondisi dimana terjadi kerusakan secara perlahan terhadap harta dan jasmani seseorang atau kondisi dimana seseorang kehilangan berkah dalam pekerjaannya. Terkadang asma’ temor dan elmo temor digunakan dalam rangka apagar (pagar diri) sebagai pelengkap ajaza’ dalam upaya melindungi badan tapi tetap saja ia menuai kontroversi. Kalangan puritan sering menuduh asma’ temor sebagai khurafat yang lahir dari sinkretisme.

Namun, asma' temor menjadi menarik karena dia menggambarkan sebuah pribumiisasi Islam di Madura. Dalam asma’ temor, mantra yang diucapkan sering merupakan kombinasi antara Quran dan mantra lokal berbahasa Madura (A. Latief Bustami: 2002). Kecenderungan mantra kombinatif ini pada dasarnya mirip dengan konsep mantra dalam ajian orang-orang Jawa yang juga menggunakan kombinasi bahasa lokal dan Quran atau syahadat sebagai pamungkas. Dalam asma’ temor, lokalitas dipaksa tunduk kepada Islam, terbukti bahwa setiap pembacaan asma’ temor biasanya diakhiri syahadat yang menunjukkan superioritas Islam.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa barat dan timur bisa baik sekaligus bisa buruk. Dalam memori kultural Madura, timur tak selalu diartikan positif dan merepresentasikan eksotika, sebagaimana barat juga tak melulu dipandang negatif. Barat dan timur bisa positif sekaligus negatif. Saya kira inilah pandangan terbaik yang mendahului lahirnya diskursus orientalisme dan occidentalisme di timur. Inilah pandangan manusiawi dalam melihat dunia.

Pola pikir ini sama dengan orang Banyuwangi dalam melihat timur dan barat. Dalam perspektif orang Banyuwangi, barat kadang disamakan dengan ketidaksopanan terbukti dari istilah Wong Kulonan yang ditujukan kepada setiap perilaku tak sopan. Timurpun dalam perspektif Banyuwangi juga kadang mengandung sinisme. Timur dalam benak orang Banyuwangi bermakna sama dengan orang Madura, yaitu berkaitan dengan magis, karena kata timur (wetan) dekat dengan makna wiwitan (asal), sedang wiwitan juga makna dari kata Purwo. Purwo sendiri adalah nama sebuah hutan (Alas Purwo) yang menjadi referensi mistik orang Blambangan (Heru. S.P Saputra: 2007)

Kedudukan timur dan barat yang sejajar dalam pola pikir orang Madura inilah yang menyebabkan orang Madura enteng dalam bersikap Paparan tentang konsep barat-timur dalam ruang pikir Madura menunjukkan bahwa sistem dunia pikir orang Madura tak mengikatkan diri pada fokus tertentu. Worldviewnya bebas tanpa batasan harus diideologikan kemana. Inilah cara pandang terbaik dalam melihat kolonialisme dan efeknya. Dengan merdeka terhadap dikotomi barat-timur, orang Madura bebas mereferensi dunianya sendiri. Orang Madura tak sungkan untuk menilai orang lain tanpa harus tunduk pada konseptualisasi sebuah peradaban yang dianggap superior.

Karenanya, dalam Manusia Madura (2007), Mien Ahmad Rifai secara gamblang menjelaskan bagaimana Madura menyebut Jawa melalui sebutan Jhaba yang berarti Jewawut, jenis pangan yang tak enak di lidah orang Madura. Atau filosofi Madura Mon ngajhi ka Arab mon adhaghang ban Cena (kalau ngaji kepada orang Arab, kalau berdagang dengan Cina). Parebhasan ini mengajari kita untuk memandang dunia sesuai spesialisasinya. Dalam memori kultural orang Madura, Cina dan Arab didudukkan setara sesuai konteks kemanusiaannya. Namun, Cina juga terkena stereotip rentenir karena dalam parebasan Madura Timur (Sumenep) sering muncul kalimat Aotang ka iye’, majar ka Cena (berhutang ke Arab, bayarnya ke Cina) yang menunjukkan bahwa etnis Cina bisa saja berlaku pelit dan berperilaku rentenir. Istilah pelit sendiri sering diasosiasikan dengan istilah Tambi Keleng (pelit seperti orang Keling). Penyebutan Keling, nama sebuah wilayah di India menunjukkan bahwa Madura tak selalu menganggap positif orang-orang timur.

Di masa perang dunia kedua, juga terkenal parebhasan ondur syetan dhateng dano (pergi syetan datang hantu) yang merujuk kepada situasi datangnya penjajah baru Jepang yang menggantikan penjajah lama (Belanda). Dalam tataran ini, baik Belanda yang barat maupun Jepang yang timur sama-sama dinilai negatif karena sama-sama memiliki sikap imperialis. Dalam menilai, Madura tak menggunakan paramater geopolitik, geoideologi namun kepada sikap dan perilaku apakah sesuai dengan humanisme atau tidak.

Arab dan Islam dalam tradisi Madurapun dipribumiisasi sedemikian rupa. Salah satunya, ketika sepasang orang tua Madura menyebut nama mereka sesuai nama anak pertama. Jika anak pertamanya bernama Ahmad, maka secara otomatis bapak ibunya akan disebut Pa’na Ahmad dan Bu’na Ahmad. Ritus sosial semacam ini tak lantas menjadikan orang Madura fundamentalis. Ritus sosial ini justru meneguhkan atitesis Madura terhadap Arabisasi ala kaum fundamentalis. Orang Madura tak perlu bergaya ala kaum fundamentalis yang mengganti nama mereka dengan Abu Ahmad atau Ummi Ahmad jika nama anak pertama mereka Ahmad. Inilah cara orang Madura agar Islamisasi Arab itu tidak berubah menjadi kolonialisasi Arab.

Ritus sosial penggantian nama terjadi spontan begitu saja tanpa ada yang mengkomando. Orang Madura tak perlu ribut soal Islamisasi karena itu berjalan dengan sendirinya. Orang Madura tak perlu galau akan terpisah dari komunitasnya manakala merujuk kepada sunnah nabi. Islam dalam cara pandang orang Madura bukanlah sesuatu yang problematis namun sesuatu yang komplementer. Keberadaan Islam pada komunitas Madura menjadi pelengkap dalam produk kebudayaan yang sudah ada. Islam direferensi secara diakronis tanpa dilematisasi.

Islam Madura lahir dengan semangat normativitas dan historisitas sekaligus. Islam di Madura menemukan sentuhan unik karena antar pemimpin masyarakat baik kyae, klebun maupun blater hidup dalam semangat Islam sesuai karakternya masing-masing. Ritualisme di Madura dilakukan oleh berbagai partisipan baik pendukung kyai maupun blater dan klebun. Ritualisme bukan cuma sebuah rite de passage ala Arnold Van Gennep namun alat untuk memperkuat solidaritas sosial. Ritual telah berfungsi mempersatukan beragam partisipan yang berbeda melalui performa dan pengabdian (Emile Durkheim:1995). Berbagai tradisi sejak maulidan, imtihanan, slametan menjadi alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat guna tercapainya kerukunan sosial yang besar. Di Madura tak ada pembelahan masyarakat ala Clifford Geertz sebagaimana terjadi di Jawa. Di Madura tak ada segmen santri, abangan dan priyayi. Bisa jadi seorang blaterpun adalah santri sebagaimana seorang klebun dalam berbagai insiden politik didukung kyai. Madura secara lihai mampu membantah pemikiran Geertz dan orientalis lain yang sering membagi masyarakat Islam berdasar asumsi-asumsi antropologis tak menyejarah.

Madura tak pernah mengalami proses pencarian otentisitas agama seperti yang melanda kaum fundamentalis. Sebagaimana disebut oleh Richard T. Antoun (2003), kaum fundamentalis selalu mencari kemurnian dengan tiga macam cara yaitu eksodus, pemisahan diri yang eksklusif serta konfrontasi. Di Madura, Islam tak pernah dipraktekkan dengan cara semacam ini. Madura dan Islam adalah satu kesatuan integral. Menjadi Islam bagi orang Madura tak lantas harus melahirkan eksklusifisme, konfrontativisme dan eksodus yang eskapis. Islam bisa nyaman dipraktekkan dengan menjadi Madura sekaligus, tanpa harus memperdebatkan mana ruang yang otentik mana ruang yang imitatif. Jika terdapat orang Madura yang memprotes tradisi Islam Madura sudah pasti hal tersebut karena efek transnasionalisme yang sejak sepuluh tahun terakhir juga melanda Madura.

Hal-hal diatas mengajarkan kepada kita bahwa Madura memiliki keunikan tersendiri dalam menilai dan mempersepsi ulang dunia. Bagi orang Madura, segala sesuatu bisa berparadoks namun tetap harus memiliki warna khusus yang hanya boleh dimaknai oleh orang Madura. Inilah cara pandang orang Madura yang merdeka terhadap dunia.

*) Penulis adalah Pengurus LTN MWC NU Kota Sumenep.

Artikel ini berasal dari Cara Madura Memandang Dunia | Berbagi Seputar Pulau Madura | TreTans Kunjungi http://www.tretans.com untuk Artikel lainnya dan sertakan link TreTans.com jika mengutip. Mator Sakalangkong

Label: ,