Suramadu Dibuka:
Bagaimana Kehidupan Warga Sekitarnya
Ingin Tagih Janji Ketika Ada Pembebasan Lahan
Ketika Jembatan Suramadu diresmikan, gubernur Jatim hingga presiden berkali - kali berterimakasih pada warga sekitar Suramadu. Sebab, tanpa kerelaan mereka melepaskan tanah, jembatan terpanjang di Indonesia itu tak akan berdiri. Kini warga resah, ingin menagih janji. Tapi pada siapa?
WILAYAH Kecamatan Labang merupakan daerah yang tanahnya paling banyak dipakai untuk pendirian Jembatan Suramadu. Pembebasan tanah besar - besaran dilakukan di kecamatan seluas 35.230 kilometer persegi ini. Namun, siapa yang tahu berapa luas sebenarnya tanah yang dibebaskan untuk keperluan Suramadu. Ketika warga didatangi aparat pemerintah dan meminta tanahnya dijual untuk kepentingan umum, mereka menurut saja.
Ratusan warga sudah tersingkir dari tanah - tanah leluhurnya sendiri. Mereka kemudian mencari tanah baru untuk dijadikan tempat tinggal. Harga ganti tanah yang mereka lepas tetap tak sesuai dengan harga tanah saat mereka membelinya lagi. Mereka mendapatkan tanah di wilayah kecamatan yang sama dengan harga yang lebih tinggi.
Persoalan bukan karena rugi saat membeli tanah lagi. Tapi, janji - janji para pembeli tanah sejak tahun 1970 - an. Mereka masih ingat betul wajah orang - orang yang datang untuk membeli tanah di mana rumahnya berdiri. Janji yang paling mereka pegang adalah putra - putri mereka bakal mendapat kompensasi pekerjaan di masa depan. Ketika Jembatan Suramadu selesai dibangun dan industrialisasi masuk ke Bangkalan.
"Tanah saya yang itu. Tepat di kaki Suramadu pertama dibangun. Di atas tanah itu dulu rumah saya berdiri. Di atas tanah itu juga Bu Mega (Presiden RI kelima, Red) meletakkan baru pertama pembangunan jembatan," ujar Solihin. Pria yang berprofesi sebagai nelayan ini merupakan seorang warga Labang, Desa Sukolilo Barat yang tanahnya dibeli sejak sekitar tahun 1970 - an.
Menurut dia, para pembeli lahan yang datang ke rumahnya menjanjikan anaknya akan dipekerjakan setelah jembatan selesai. "Saya punya anak empat. Yang tiga hanya sampai SD, lalu yang keempat ini saya sekolahkan sampai STM (sekolah kejuruan, Red)," ungkapnya. Harapannya, anaknya bakal mendapat pekerjaan setelah lulus.
Begitu anaknya lulus, Suramadu sedang dikerjakan. Namun, tak seorang pun dari para pembeli tanahnya bisa dia temui untuk menagih janjinya. Demikian juga dengan warga lain yang tanahnya dibeli seharga Rp 7000 per meter persegi itu. "Itu anak saya. Menganggur sejak lulus. Menunggu ada lowongan di pekerjaan jembatan ternyata tidak ada sampai jembatannya selesai dan akan dipakai," tuturnya.
Saprawi, ketua RT di Kampung Sekar Bungoh juga demikian. Nasibnya kurang lebih sama dengan dengan Solihin. Pembebasan lahan pernah mengumbar janji bakal mempekerjakan anaknya. "Saya benar - benar sama janji mereka (para pembeli tanah, Red). Sebab, mereka sangat meyakinkan dan membuat warga tergiur untuk memperbaiki nasibnya. Paling tidak untuk anak - anaknya," ungkapnya.
Di lokasi agak jauh dari jembatan ada Muzadi. Dia adalah pembuat perahu tradisional. Awalnya dia tinggal di Desa Sekar Bungoh sebelum tanahnya dijual. Anaknya yang dia perkirakan akan bekerja di proyek jembatan menganggur. "Ya sekarang saya mau menagih janji pada siapa. Pembeli tanah dari pemerintah yang dulu - dulunya datang dan beri janji akan mempekerjakan anak kami sudah tidak kelihatan batang hidungnya," sesalnya.
Kini dia mengaku pasrah. Apa pun risiko yang akan dihadapinya dan keluarganya akan dihadapi. Dia percaya, setelah jembatan selesai harapan baru masih banyak. Berbagai usaha yang akan masuk ke Madura bisa jadi lapangan kerja bagi semua orang, termasuk putra - putrinya. "Kalau sekarang ini mau menagih janji pada siapa. Sudah yang penting usaha jangan sampai berhenti," ujarnya optimistis. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)
Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 13 Juni 2009
Label: dokumentasi, suramadu
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda