A. Latief Wiyata
Akademisi dan Peneliti tentang Madura
Melihat Masyarakat Madura Kena Virus Kapitalisme
Dalam sebuah buku yang mengulas tentang pertarungan ideologi, Francis Fukuyama menyatakan kapitalisme merupakan akhir dari sejarah hidup manusia. Artinya, segala sesuatu yang diperbuat manusia didasari oleh kecintaan mereka pada materi. Perubahan pun kemudian banyak dipengaruhi oleh mainstream ideologi "benda" ini. Bagaimana "si pencari Madura" melihat gejala itu di pulau garam? Berikut paparan Dr A. Latief Wiyata.
KALANGAN akademisi dan peneliti tentang Madura sudah tak asing dengan nama A. Latief Wiyata. Dia sudah banyak berkarya dalam tulisan-tulisan yang membeberkan bagaimana kehidupan sosial-budaya masyarakat Madura. Bahkan, akademisi yang satu ini berani mendalami fenomena Carok yang masih pro-kontra untuk dinyatakan sebagai salah satu tradisi Madura.
Berdasar tempat kelahirannya, pria yang kini menetap di Jakarta ini memiliki ikatan emosional yang sangat tinggi pada Madura. Dia dilahirkan di Kampung Patenongan, Desa Parsanga, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep pada 22 Juni 1950. Namun, sejak meninggalkan tanah kelahirannya (1970) untuk berkuliah di FISIP Universitas Jember, dia mulai jarana pulang. "Ayah dan kerabat saya yang lain masih ada di Sumenep. Saya masih sering menjumpai mereka di sana, ya tergantung keperluan," ujarnya saat ditanya seberapa sering datang ke kampung halamannya.
Mengenang tanah kelahirannya, Latief mengaku lebih banyak menghabiskan waktu bersama anggota keluarganya. "Ayah saya anggota Polri yang bertugas di luar Sumenep. Jadi, saya memang lebih banyak berkumpul dengan keluarga," kenangnya.
Selain di rumah, Latief juga punya beberapa teman akrab di kampungnya. Bersekolah di SDN Giling 1 Sumenep, berangkat dan pulang sekolah dijalaninya tanpa berkendara. Bersama teman sekampungnya tersebut, dia berjalan kaki melewati areal tegalan sambil menikmati suasana alami pepohonan dan kicauan burung. Sesekali, dia juga berjalan kaki di jalan umum. "Kadang kalau ada cikar (gerobak yang ditarik sapi) lewat saya menumpang saja di belakangnya," ungkap mantan Ketua LPPM Unibang (sekarang Unijoyo) ini.
Sayang, lanjutnya, segala yang dia rasakan di masa muda tak bisa dirasakan oleh generasi sekarang.
Bukan hanya suasana itu, Latief mengungkapkan, nuansa religius yang dia rasakan dulu juga mulai hilang. "Perubahan yang paling menonjol adalah gaya hidup," tegasnya.
Alasannya, ketika masih muda dia banyak bersinggungan dengan suasana Madura yang kental. Selain bersekolah formal, anak-anak di masanya juga rajin mengaji di surau. Jika waktu salat Magrib tiba, maka tak seorang pun ada di luar rumah, semuanya khusuk menjalankan ibadah salat.
"Begitu juga kalau Subuh. Semua warga akan bangun pagi untuk pergi ke surau atau masjid, lalu melanjutkan ke aktivitas yang lain. Sayang, sekarang semua sudah memudar. Maghrib pun kadang masih terdengar suara TV atau VCD player yang menyetel musik dangdut," sesalnya.
Tidak kalah mengkhawatirkan, gaya hidup sebagian besar orang-orang di kampungnya dan di kampung lain di Madura, sudah mulai terkena virus kehidupan "kapitalistik". Maksud Latief, segala sesuatu sudah mulai diukur dengan materi. Status sosial dan kebanggaan diri cenderung dipresentasikan dengan kepemilikan barang-barang konsumtif.
"Saya memahami kondisi itu sebagai dampak gempuran arus globalisasi. Mainstream (pola pikir) yang kapitalistik sangat gencar menyerbu melalui media elektronik dengan cara yang sadis," kata mantan koordinator penelitian konflik di Indonesia Timur.
Masalahnya, sambung Latief, masyarakat tidak sadar bahwa pada akhirnya mereka akan menjadi "korban". Ironisnya lagi, di saat yang bersamaan benteng pertahanan berupa nilai-nilai budaya Madura yang seharusnya dipertahankan ikut tergerus. Contoh kecilnya, pemberian nama pada anak yang baru lahir sudah tidak lagi menunjukkan "identitas" kemaduraan yang pada dasarnya bernafaskan Islam. Nama-nama itu kini berganti kata-kata yang berbau kosmopolitan. "Ini agaknya agar sinkron dengan gaya hidup yang baru itu," tandasnya.
Dia menegaskan, harus ada penelitian lebih lanjut terhadap fenomena tersebut. Sehingga, akan diketahui alasan dan latar belakang apa yang mendasari perubahan tersebut selain gempuran media dan pola pikir kapitalisme. Pasalnya, apa yang dia contohkan adalah hal kecil di antara banyak gejala perubahan di Madura.
Melihat kondisi tersebut, Latief menyatakan komitmennya untuk tetap memelihara Madura dengan caranya sendiri. Dia berkeinginan membuat Madura tidak hanya maju di bidang materi dan fisik, tapi dalam arti yang lebih luas. Sebab, bidang fisik tidak menjamin kemajuan masyarakat Madura secara luas.
"Meskipun secara fisik tidak berdomisili di Madura, tapi saya masih bisa berbuat untuk Madura dengan menulis atau seminar tentang Madura di mana saja," ungkapnya.
Agar hasil tulisannya bisa dibaca dan bermanfaat bagi banyak orang, dia memublikasikannya dalam blog internet. Latief berharap, hasil-hasil pemikirannya dalam blog internet tersebut bisa dipakai oleh siapa saja yang sedang mencari Madura. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)
Sumber: Jawa Pos, Rabu, 10 Desember 2008
Baca juga:
Di Bawah Memburuk di Atas Bersembunyi
Label: a latief wiyata, dokumentasi, sosok
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda