Husnul Chotimah, Disainer Interior dan Furniture
Suka Lukis, Sumbang Seabrek Piala untuk Sekolah
Hobi berbohong tentu tidak akan mengantar seseorang pada kebahagiaan. Bahkan, perasaan bersalah selalu menghantuinya setiap saat dan dihindari banyak orang. Beda dengan hobi melukis. Hobi ini justru menjadi wadah di mana seseorang menggambarkan secara jujur isi hatinya. Selain itu, melukis juga bisa mengantarkan seseorang menuju kesuksesan. Seperti yang dirasakan oleh Husnul Chotimah.
BERAWAL dari pertemuan tidak sengaja di atas kapal feri Kamal-Surabaya. Pagi itu dara manis asal Bangkalan ini harus kembali ke Surabaya untuk mengerjakan tugasnya yang belum selesai. Padahal, pagi yang cerah itu adalah hari libur. Dia "mengejar" target kerja yang sudah diminta bosnya agar segera dirampungkan. Maklum, sebagai karyawan dia harus mematuhi apa pun permintaan atasannya.
Karena tak bisa langsung diwawancarai, Koran ini tak lupa meminta alamat tempat tinggalnya di Surabaya. Setelah memberikan alamat lengkap, alumni SMAN 1 Bangkalan itu segera melaju turun dari kapal dengan kecepatan yang cukup tinggi menggunakan sepeda motornya.
Dengan harapan punya waktu luang, Koran ini mencoba datang ke kediaman kosnya di Jalan Barata Jaya Tengah D-21, kawasan Mulyosari. "Saya baru saja pulang kerja dan ketiduran sebentar," ujarnya saat keluar dari rumah kosnya menemui Koran ini.
Setelah menunggunya selesai makan malam, gadis yang akrab disapa Husnul ini mulai menceritakan perjalanan hidupnya di Madura hingga sampai di Surabaya. Husnul bayi dilahirkan di Bangkalan, 7 November 1984. Rumahnya ada di pinggir sungai Rangbutoh. Tapi, akses menuju rumahnya bisa dilalui lewat gang yang ada di kampung Sak-Sak Timur. "Tidak sulit menemukan rumah saya. Cukup cari gang pertama di Sak-Sak Timur dan cari rumah yang di depannya ada pohon mangga," ujarnya merinci posisi rumah tempatnya dilahirkan 24 tahun silam.
Sejak kecil Husnul sudah memiliki hobi menggambar. Namun, potensinya tersebut baru benar-benar terlihat ketika dia duduk di kelas 3 bangku sekolah dasar. Sejak itu oleh para gurunya Husnul selalu diikutsertakan dalam berbagai lomba lukis di Bangkalan. Piala demi piala diperoleh Husnul dari berbagai perlombaan yang diikutinya atas nama sekolah.
Bahkan, dengan bangga Husnul mengaku paling banyak menyumbang piala pada sekolah-sekolah yang pernah dia duduki untuk mendapatkan pengetahuan. "Kalau tiap ada lomba lukis saya diikutkan lalu menang, berarti kan banyak juga piala yang saya sumbang buat sekolah. Hampir setiap lomba saya dapat juara satu, jadi pialanya juga pasti seabrek," katanya tersenyum bangga.
Meski banyak piala dia sumbangkan ke sekolah, ada juga piala yang dia simpan di rumahnya untuk kenang-kenangan.
Selain bangga pada dirinya sendiri, dia juga menjadi kebanggaan sekolah dan keluarganya. Tak heran, ketika melanjutkan kuliah di Surabaya tahun 2003, dia memilih jurusan yang banyak bersinggungan dengan dunia yang sejak kecil menjadi hobinya. Bahkan, sebelum lulus pun dia sudah direkrut perusahaan disain interior dan furniture milik warga Indonesia keturunan Tionghoa di Surabaya.
Hal lain yang paling dia ingat mengenai kampung halaman yang kini hanya seminggu sekali dia datangi adalah teman sepermainannya. "Saya punya teman di dekat rumah, namanya Faisol. Jadi, saat kecil memang mainnya sama anak laki-laki. Kalau Faisol main layangan, saya ikut main layangan. Begitu juga kalau Faisol main kelereng dengan anak laki-laki lainnya di kampung," kenang anak terakhir dari 8 bersaudara ini.
Sahabat masa kecilnya itu kini juga telah bekerja sebagai tenaga harian lepas (THL) di Bangkalan. Menikah dengan wanita yang juga THL dan sudah memiliki keturunan. Entah apa yang ada di benak Husnul, senyumnya mengembang ketika ditanya kapan dia juga akan menikah dan punya anak. "Ah, biar nanti-nanti saja nikahnya, kerja dulu saja," tandas gadis berambut gelombang ini.
Sungai di Rangbutoh juga sering menjadi tempatnya bermain air dan melihat pemandangan untuk dituangkan dalam bentuk gambar dan lukisan. Tak heran, sungai di belakang rumahnya tersebut memiliki nilai tersendiri bagi Husnul. Sebab, setelah dibangun plengsengan, perahu-perahu milik nelayan tak bisa lagi melewati sungai tersebut. "Dulu sungai di belakang rumah saya itu besar. Saat masih kecil saya masih sering melihat perahu-perahu milik nelayan di Junok dan Rangbutoh berangkat dan pulang dari menangkap ikan di laut," tuturnya. Kini, imbuhnya, selain makin sempit, sungai di belakang rumahnya itu kian kotor dan dangkal.
Disinggung mengenai hal baru yang didapatkan di Surabaya, dengan semangat dia menyebutkannya satu per satu. "Yang jelas punya banyak teman, kenalan dan relasi. Tapi, yang penting dari semua itu adalah pengetahuan yang membuat saya bisa berpikir dengan lebih detail. Hidup di mana pun kan harus siap mencari dan terima hal baru," tegas putri pasangan Suparman dan Siti Hamiah ini.
Sarjana lulusan disain interior ini merasa sangat bersyukur. Karena hingga 5 tahun tinggal di Surabaya, tak sedikit pun dia terpengaruh pola hidup negatif warga metropolitan yang cenderung boros dan suka bersenang-senang. "Saya tidak hobi kalau dugem atau clubbing. Uangnya lebih baik buat beli makan, waktunya untuk belajar," kata gadis yang punya hobi makan mie pangsit, bakso dan rawon ini. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)
Sumber: Jawa Pos, Rabu, 26 November 2008
Baca juga:
Satu Proyek Minimal Rp. 200 Juta
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda