Siraman Rohani Melalui Media Massa

KELAK penyebaran agama Islam harus dilakukan secara modern. Sebab, siar agama dengan cara konvensional akan kalah bersaing dengan media-media yang lebih banyak menyajikan informasi global dan hiburan. Bagaimana menyiasatinya? Berikut petikan wawancara dengan Abdullah Sattar, dosen sekaligus sekretaris jurusan penyiaran dan komunikasi Islam IAIN Sunan Ampel, Surabaya.

Menurut Anda apa yang harus dilakukan agar siar Islam tetap memiliki kekuatan di masa yang akan datang?

Berdasarkan disiplin ilmu yang saya tekuni sekarang, tentunya siar Islam harus dilakukan dengan cara yang lebih modern. Sebab, tidak selamanya konsep dakwah seperti sekarang bisa tetap bertahan. Masyarakat akan lebih memilih hal-hal praktis di zaman teknologi ini.

Contohnya?

Dakwah orasi atau ceramah secara lisan mau tidak mau harus ditingkatkan kualitasnya. Jadi, saat berceramah tidak asal berceramah. Konsep yang dibawakan harus sesuai dengan kebutuhan spiritual masyarakat zaman sekarang. Masyarakat sekarang jauh lebih kritis dan pintar. Karena itu, penceramah juga harus kritis dan pintar, tahu kebutuhan spiritual masyarakat serta memahami perubahan-perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Apa hanya di media orasi saja?

Tentu saja harus dikembangkan. Ada disiplin ilmu dalam penyiaran dan komunikasi Islam yang arahnya ke media cetak dan elektronik. Seperti radio, televisi dan film. Semuanya bertujuan untuk penyebaran dan dakwah Islam. Di bagian media, para pelajar akan dibekali cara berdakwah menggunakan tulisan. Nah, tulisan-tulisan atau legalistik itu kemudian menjadi pengisi di media-media yang sudah ada atau membuat media sendiri.

Bagaimana untuk radio, televisi dan film?

Sama saja, pelajar dibekali membuat program dan teknik membuat tontonan yang berisi hiburan sekaligus menjadi tuntunan bagi pemirsanya. Karena itu saya sangat mengapresiasi adanya media elektronik lokal yang bisa mengakomodasi para lulusan di bidang ini. Ke depan penyiaran agama secara lebih modern akan menjadi kebutuhan riil masyarakat. Sebab, masyarakat akan semakin tidak punya waktu untuk hadir di kegiatan kerohanian secara langsung. Siasatnya, siraman rohani harus dilakukan melalui media yang bersifat massa.

Apakah cara seperti itu bisa dikembangkan di Madura?

Untuk media cetak saya pikir masyarakat Madura secara keseluruhan sudah melek huruf. Jadi, saya yakin tidak akan ada masalah. Tapi, untuk membuat media cetak sendiri kiranya membutuhkan tenaga yang lebih di samping kesadaran masyarakat. Nah, menciptakan kesadaran masyarakat ini yang cukup sulit dilakukan. Kita harus tetap optimistis karena berkaitan dengan kebutuhan masyarakat.

Apakah siar agama modern ini banyak dipelajari oleh warga Madura?

Anda boleh survei, di kampus ini saja hampir separuh mahasiswa berasal dari Madura. Saya yakin itu karena mereka memiliki perhatian yang lebih pada perkembangan Islam di Madura. Apalagi setelah ini ada Jembatan Suramadu. Imbasnya pasti ada negatif dan positifnya. Nah, dampak yang negatif inilah yang harus diantisipasi. Kita harus berani bersaing dengan macam-macam hal yang berbau hiburan dengan penyeimbangan agama.

Mengenai kualitas tentunya belum bisa dilihat di awal. Tapi paling tidak harus dimulai, gempuran nilai-nilai baru yang bisa menarik masyarakat Madura jauh dari agama tidak akan berhenti. Maka, kita yang sadar ini perlu melakukan sesuatu untuk menanggulangi masalah itu. (nra/ed)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 21 November 2008