Pernah Terlibat Tim Pemindahan PLTG

WARGA Madura pasti masih ingat dengan kejadian putusnya kabel yang memenuhi kebutuhan listrik di seluruh Pulau Garam ini. Tahun 2002, kurang lebih 2 bulan lamanya Madura dalam keadaan gelap gulita jika malam datang. Kulkas, setrika, penanak nasi, kipas angin dan segala peralatan rumah tangga yang membutuhkan listrik untuk pengoperasiannya terpaksa sementara jadi souvenir.

Menurut berita, putusnya kabel listrik waktu itu disebabkan oleh jangkar kapal. Tapi, ada pula yang melihatnya dari kacamata politik. Pemadaman lampu selama 2 bulan di Madura itu dipandang ada kaitannya dengan pemilihan presiden dan tetek bengek politik lain di masa itu.

Sementara itu, padamnya listrik membawa berkah bagi pedagang minyak tanah dan bahan bakar lainnya untuk menyelamatkan diri dari gelap. Sebab, saat itu bahan bakar naik harganya dan langka. Panic buying bahan bakar menambah masalah di tengah kegelapan hingga akhirnya datang alat penyelamat. Alat itu yang akhirnya membuat Madura kembali "hidup" di malam hari, yaitu generator pembangkit listrik tenaga gas (PLTG).

Mohamad Rasul adalah bagian penting pembangunan PLTG tersebut. "Saya punya pengalaman menarik ketika PLTG itu akan dibangun di Gili Timur, Kamal itu," ungkapnya sembari memerbaiki posisi duduknya di ruang direktur utama PT. PJBS.

Diceritakan, waktu itu PLN akhirnya berinisiatif untuk mengirimkan mesin PLTG ke Madura agar kebutuhan listriknya kembali terpenuhi. Dia dipercaya mencari lokasi paling stategis untuk menempatkan mesin berkapaistas 40 MWh saat beban puncak itu. Lokasi yang didapatnya di daerah Gili Timur, Kamal-Bangkalan.

"Warga mengira pembangunan PLTG itu proyek besar, harga tanah untuk pembangunan instalasi menjadi mahal. Padahal, itu proyek rugi karena kecelakaan putusnya kabel listrik di dasar laut," terangnya.

Berhasil mendapatkan tanah untuk pembangunan instalasi, masalah lain kembali datang. Warga merasa akan terganggu dengan bunyi mesin yang akan dipakai untuk PLTG. Sehingga, mereka mengadu pada wakil rakyat di DPRD Bangkalan. Begitu selesai dibangun, beberapa anggota dewan datang dan meminta agar mesin pembangkit dinyalakan. "Katanya ingin mendengar suara mesinnya. Kan lucu, mereka pikir menghidupkan mesin pembangkit sama dengan menghidupkan mesin diesel di rumah mereka," katanya tersenyum.

Ketika para wakil rakyat itu berkunjung, Rasul sedang tidak di Madura. Akhirnya dia dipanggil ke DPRD Bangkalan untuk memberikan penjelasan. "Saya katakan pada mereka (anggota dewan, Red.) bahwa menghidupkan pembangkit itu tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, ada jaringan yang tersambung dan saling berhubungan mulai dari Jakarta hingga Madura sendiri. Sehingga, getaran di Madura akan berpengaruh juga pada kondisi Jakarta dan daerah lainnya," tuturnya.

Dijelaskan pula, bahwa sebenarnya dia bisa saja memindahkan mesin PLTG ke Sampang atau Pamekasan. Namun, ada pertimbangan yang harus diperhitungkan. Pertama, Rasul sebagai satu-satunya orang yang paling mengerti PLTG tinggal di Bangkalan, tepatnya di Perumnas Kamal yang berjarak beberapa kilometer saja dari lokasi pembangkit. Kedua, daerah yang paling dekat PLTG akan menerima pasokan listrik pertama kali jika ada masalah.

"Dari situ kemudian DPRD dan masyarakat akhirnya mengerti dan mau menerima keberadaan PLTG di daerahnya," tandas suami Leoni Murniati ini.

Jadi, sambungnya, yang terpenting bagi masyarakat Madura adalah pengertian dan komunikasi. Semua masalah dengan masyarakat Madura akan selesai jika ada forum komunikasi untuk menjelaskan duduk perkaranya. "Lha wong saya ini orang Madura, nggak mungkin merugikan saudara sendiri. Saya justru ingin sekali membantu masyarakat di mana saya dilahirkan," pungkasnya. (nra/ed)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 13 November 2008