Satu Proyek Minimal Rp 200 Juta

KEMAMPUAN dimiliki oleh Husnul Chotimah boleh dibilang sangat jarang ditemui di Madura. Sebab, untuk mendalami bidang disain interior, seseorang harus memiliki keahlian khusus, yaitu menggambar. Tak heran, lulusan dari disiplin keilmuan ini akhirnya punya skill yang istimewa.

Memakai jasa mereka pun cukup mahal harganya. Mulai dari disain hingga produksi, costumer (pengguna jasa) harus merogoh koceknya paling sedikit Rp 200 juta. "Itu (proyek Rp 200 juta, Red.) nilai proyek yang paling kecil di perusahaan saya. Hanya untuk mendesain rumah standar dengan 3 kamar, ruang tamu, ruang keluarga dan dapur. Sebab, proyek di atas nilai itu tidak terhitung jumlahnya," papar Husnul tentang harga yang harus dibayar pengguna jasa desainnya.

Menurut dia, harga mahal tersebut seimbang dengan apa yang diperoleh oleh pengguna jasa. Pasalnya, selain untuk membayar disainer, dana yang dikeluarkan oleh konsumen juga dipakai untuk membeli berbagai perabot yang disetujui untuk dipasang di rumahnya."Harga segitu sepertinya nggak ada apa-apanya bagi mereka yang punya duit lebih. Kalau uangnya pas-pasan ya tercekik," kelakarnya.

Jadi, imbuhnya, pada umumnya jasa desainer interior hanya dipakai oleh mereka yang memiliki sumber daya ekonomi high end (menengah ke atas).

Diungkapkan, dalam 2 tahun terakhir Husnul pernah mengerjakan disain interior seharga Rp 2,5 miliar untuk rumah seorang milyader di Makassar. Tak bisa dikerjakan sendiri, atasannya kemudian melibatkan 2 disainer lainnya untuk bekerja sama dengannya. "Kerja disainer itu sebenarnya sama saja dengan tukang. Mengukur ruangan yang akan diisi interior, kemudian membuat denah, presentasi, lalu diproduksi. Nah, yang di Makasar ini teman saya yang datang langsung untuk melakukan pengukuran," jelasnya.

Keterlibatan Husnul di bisnis disain interior ini tak terlepas dari disiplin ilmu yang dia jalani selama kurang lebih 4 tahun di ITS. Dengan kemampuannya menggambar sejak kecil, dia mengikuti tes khusus untuk masuk jurusan disain interior. Tak banyak yang bisa lulus dalam ujian tersebut. "Waktu ujian masuk saya diminta menggambar seekor kucing di atas meja yang sedang memainkan kacamata," ujar gadis asal Bangkalan ini.

Berhasil lulus ujian tersebut, Husnul hanya mendapat pelajaran menggambar manual hingga tutup semester III. "Pokoknya di awal-awal semester kuliahnya seperti pelajaran seni rupa di sekolah-sekolah," tandasnya.

Semester IV baru dia lebih banyak menggambar menggunakan komputer dengan program autocad. Husnul lulus dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) sangat memuaskan 3,38. Meski, wisudanya harus mundur 1 tahun karena cuti kuliah akibat patah tulang kaki. "Sebelum lulus saya memang mendapat tugas KP (kerja praktek, Red.) di sebuah perusahaan terkemuka di bidang disain interior dan furniture," tuturnya.

Pertama dia dikenalkan dengan tugas menggambar desain interior untuk rumah lantai 2. Perusahaan tersebut ternyata puas dengan hasil kerja Husnul. Sehingga, usai KP dia ditarik menjadi karyawan gambar kerja. Tugasnya membuat rancangan untuk pekerja di lapangan dalam menyelesaikan proyek interior dan furniture tersebut. Bersamaan dengan tugas barunya tersebut, dia dilatih untuk bisa menggambar disain interior dan diangkat menjadi junior designer. Setelah mahir, tak lama kemudian dia dipekerjakan sebagai senior designer.

"Daripada kantor lebih banyak disain interior rumah yang saya kerjakan. Dan, sampai sekarang tidak satu pun disain yang saya kerjakan datang dari costumer asal Madura. Kebanyakan dari Surabaya, Ngawi, Bojonegoro, Makasar, dan Kalimantan," ulasnya serius.

Tugas sebagai senior designer bukan hanya duduk di depan komputer saja. Laiknya costumer services di bidang usaha lain, Husnul harus turun ke lapangan untuk melakukan pengukuran. Setelah pengukuran, dia mulai mewawancarai si empunya rumah mengenai interior yang diinginkan. Usai wawancara, dia mulai membuat rancangan gambar untuk disetujui oleh atasannya.

"Kalau bos setuju, saya langsung presentasi ke konsumen. Nah, yang sering bikin pusing kalau konsumen tidak setuju dengan desain saya. Harus diubah berkali-kali sampai akhirnya setuju dan sesuai dengan keinginan konsumen," keluhnya.

Selama bekerja, hampir seluruh konsumen memiliki animo yang sama pada disain interior rumahnya. Kesan simple (sederhana), minimalis, modern dan bersih selalu menjadi perhatian konsumennya. "Jadi, bidang saya memang cenderung modern. Tapi, ada juga perusahaan lain yang bergerak di disain tradisional," terangnya.

Untuk disain modern kebanyakan bermain di jenis interior kotak-kotak. Sementara, tradisional lebih rumit dengan tipe interior yang penuh ukiran. "Mungkin kalau di Madura ada usaha disain interior bisa di kelas tradisional. Kan, interior dari Madura kaya ukiran. Pasarnya jelas beda, karena disain interior itu berbicara selera konsumen," pungkas pecinta bakso ini. (nra/ed)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 26 November 2008

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda