Madura dan Mahkamah Konstitusi
Seandainya, dalam pencoblosan ulang, diduga ada kecurangan lagi, bisa jadi pihak yang merasa dirugikan, entah itu Ka-ji atau KarSa, akan mengajukan keberatan. Lalu apa nantinya bunyi putusan MK, apakah akan mengulang preseden yang telah dibuatnya?
MAHKAMAH Konstitusi (MK) mengulang preseden yang pernah dibuat Mahkamah Agung (MA) dalam memutus sengketa pemilu kepala daerah (pilkada), yakni memerintahkan pemungutan suara ulang meski hanya di beberapa tempat.
Dahulu, MA memerintahkan pilkada ulang di beberapa tempat dalam perkara pilkada di Maluku Utara. Kini, MK memerintahkan pencoblosan ulang di Kabupaten Sampang dan Bangkalan, serta penghitungan perolehan suara ulang di Kabupaten Pamekasan.
Apa hanya sebuah kebetulan bahwa yang menjadi kendala hukum dalam proses pilkada Jatim adalah kecurangan yang terjadi di Bangkalan, Sampang dan Pamekasan? Apa di luar Madura tak ada kecurangan?
Suatu saat, pernah ada dua calon kepala desa, dari desa berbeda. Yang kalah dalam pilkades di Sumenep, mengeluh kepada saya soal kecurangan lawan-lawannya. Saya bertanya kepada kawan dari Sumenep Corruption Watch: “Berapa persentase kecurangan dari seluruh pilkades yang terjadi di Sumenep?” Mereka yang orang Madura asli itu menjawab : “Seratus persen!”
Saya tak bermaksud menyudutkan orang Madura. Kecurangan di Madura dalam pilkada menjadi tampak nyata dan gampang dibuktikan sebab dilakukan dengan cara-cara yang biasa. Tapi, kecurangan di Pulau Jawa lebih canggih, menggunakan otak orang-orang pintar dan lihai, sehingga tak mudah dibuktikan secara manual di pengadilan.
Dengan bahasa guyon saya katakan: “Orang Madura jujur dalam melakukan kecurangan, tapi orang Jawa tidak terus terang dalam melakukan kecurangan.” Ingat, ketika Singasari dilumat pasukan Kediri, lalu Raden Wijaya (menantu Kertanegara, raja Singasari yang kalah) dan pasukannya lari ke Madura, minta bantuan Arya Wiraraja di Sumenep.
Arya Wiraraja secara terus terang memintakan pengampunan politik agar Raja Kediri tidak menghukum Raden Wijaya dan kelompoknya. Raden Wijaya diperbolehkan kembali ke Jawa, diberikan hutan Tarik yang kemudian diberi nama Majapahit.
Selanjutnya, Raden Wijaya melibas Kediri, bersekutu dengan pasukan Tartar yang menyangka Prabu Kertanegara masih hidup. Padahal, yang masih hidup adalah Prabu Jayakatwang dari Kediri.
Setelah Kediri ditumpas, Raden Wijaya menjamu pasukan Tartar, dicekoki hingga mabuk lalu diserang dan diusir. Kemudian Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit, dan Madura tetap dijadikan wilayah 'jajahan' Majapahit.
Tak Mau Belepotan
Putusan MK yang memerintahkan pencoblosan ulang di Bangkalan dan Sampang serta penghitungan suara ulang di Pamekasan sudah jelas, keluar dari hukum acara yang dibuat MK sendiri, yaitu Peraturan MK Nomor 15 Tahun 2008.
Dalam Peraturan MK Nomor 15, diatur bentuk permohonan keberatan dan isi amar putusan MK. Isi putusan MK terbatas pada : (1) permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat formal dimaksud pasal 3, 4, 5, dan 6.
Dan (2) permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya MK menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU atau KPUD, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut MK, atau (3) permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan (pasal 13 ayat (3)).
Jadi, mestinya MK menggali secara aktif berapa perolehan suara pihak pemohon keberatan (Khofifah-Mudjiono/Ka-ji) dan pihak Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa), dengan menguji penetapan hasil penghitungan suara menurut KPU Jatim selaku termohon keberatan.
Memang, MK tak berwenang menilai kecurangan yang terjadi. Namun daripada membuat terobosan hukum dengan memerintahkan pencoblosan ulang, akan lebih baik jika ada terobosan hukum pada soal penilaian kecurangan dan berapa suara sah yang dapat dihitung berdasarkan alat bukti yang ditemukan.
MK tidak harus berpatokan pada alat bukti yang diajukan oleh pemohon dan termohon, tetapi bisa meminta pihak terkait, seperti Badan Pengawas Pemilu, Pemprov Jatim dan lain-lain yang punya data-data untuk dimintai keterangan dan bahkan meminta siapapun untuk memberikan data dan keterangan.
Artinya, sengketa pilkada yang dibawa ke MK harus tuntas di MK, bukan malah main pingpong penyelesaian dengan cara memerintahkan pencoblosan ulang yang menugaskan KPU Jatim untuk melakukan penetapan kembali hasil pilkada Jatim.
Seandainya, dalam pencoblosan ulang, diduga ada kecurangan lagi, bisa jadi pihak yang merasa dirugikan, entah itu Ka-ji atau KarSa, akan mengajukan keberatan. Lalu apa nantinya bunyi putusan MK, apakah akan mengulang preseden yang telah dibuatnya?
Ini akan menjadi ritual yang melelahkan rakyat Jatim. Padahal, belum tentu nantinya gubernur terpilih akan membawa perubahan revolusioner bagi Jatim, agar lebih sejahtera dan bahagia. Kalau korupsi tampaknya tetap berjalan, sebagaimana Jatim tahun ini, yang menjadi juara kedua dalam korupsi setelah DKI Jakarta.
Tampaknya MK tidak mau susah-susah. Maunya cuci tangan, tidak mau belepotan. Hukum dan pengadilan dalam sengketa pilkada ini juga ikut dalam wilayah abu-abu, tak tegas menjalankan tugas yang diemban, tak berani menghadapi risiko wewenangnya.
Namun, di luar konteks hukum itu, saya membayangkan hal positifnya, bahwa pilkada ulang di wilayah Madura itu dapat menjadi sebuah tes politik, sebagai pelatihan demokrasi.
Madura sebagai wilayah yang kami istilahkan sebagai karpet minyak dan gas bumi (migas) itu), kelak, akan menjadi sebuah pemerintah provinsi tersendiri, lepas dari 'jajahan' neo-Majapahitisme.
Kelak, kira-kira Jatim tidak akan ada lagi sengketa pilkada yang dibawa ke MK, karena kesulitan mencari bukti adanya kecurangan yang canggih dan sistematik.
Sumber: Surya, Friday, 05 December 2008
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda