Memahami Madura
Pelajaran dari Kasus Sampang
Sejak pemerintahan rezim Orde Baru hingga kini, Madura sudah berkali-kali menarik perhatian publik karena terjadinya tindak kekerasan atau amuk massa. Mulai dari kasus pembangunan Waduk Nipah di wilayah Kabupaten Sampang, kasus pertikaian antaretnik di Sambas, serta kerusuhan massa pada Pemilu 1977 yang merata di semua wilayah Madura.
Oleh A Latief Wiyata
Di pengujung tahun ini, lagi-lagi Madura menjadi perhatian publik dengan terjadinya amuk massa di Kota Sampang yang berpangkal pada hasil pemilihan bupati dan wakil bupati. Akibatnya, sampai sekarang pelantikan tertunda, dan Gubernur Jatim Imam Oetomo menyerahkan masalah ini ke pusat, yang sampai sekarang pun belum jelas juntrungannya.
Menarik sekali mencermati terjadinya amuk massa dari dua kelompok yang bertikai tersebut. Sebab pertama, mereka adalah sama-sama warga Sampang (baca: Madura) yang terkenal sangat taat sebagai Muslim. Kedua, mereka sama-sama berafiliasi pada partai politik yang berazaskan Islam. Bahkan konon mereka juga sama-sama dari komunitas nahdliyin.
Tulisan ini ingin mencoba melihat lebih jauh kasus tersebut dalam konteks sosio-kultural yang selanjutnya akan dijadikan semacam entry point untuk memahami orang Madura meskipun harus diakui masih banyak entry point lain yang bisa dilewati untuk maksud yang sama.
Orang luar Madura selalu menilai orang Madura sangat taat dan patuh kepada figur atau tokoh tradisonal (ulama/kiai) daripada kepada figur atau tokoh formal. Hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat ungkapan buppa'-babu'-guru-rato. Makna ini menunjukkan kepatuhan dan ketaatan orang Madura pertama-tama kepada kedua orangtua, kemudian berturut-turut kepada guru (figur ulama/kiai), dan terakhir kepada figur rato (pemimpin formal).
Yang perlu lebih dipahami bahwa kepatuhan serta ketaatan orang Madura kepada figur ulama/kiai sangat bersifat personal oleh karena itu sangat lokal. Artinya, setiap kelompok orang Madura, bahkan secara lebih ekstrem, tidak tertutup kemungkinan setiap keluarga-cenderung mempunyai referensi terhadap figur tertentu sesuai dengan keyakinan mereka. Tidak cukup hanya itu, referensi ini sangat berkait pula dengan faktor lokalitas di mana mereka berdomisili. Oleh karenanya, sangat mungkin terjadi figur ulama/kiai ini bukan referensi dari kelompok masyarakat yang lain yang tempat domisilinya kebetulan jauh.
Bila demikian halnya, mudah dimengerti apabila dalam kasus Sampang terjadi pertikaian antarkelompok pada tingkat grass root yang secara sosio-kultural mereka merupakan kaum nahdliyin dan bahkan sama-sama berafiliasi pada partai politik Islam.
Sebab, sudah menjadi rahasia umum, sejak proses "demokratisasi" digulirkan, beberapa ulama/kiai Madura menjadi pengurus dari partai-partai politik baru sehingga secara "instituonal" dan "personal" mereka menjadi terfragmentasikan.
Ironisnya, dalam suasana politik yang penuh carut-marut, realitas sosial budaya masyarakat Madura yang semacam itu dengan mudah dimanfaatkan oleh elite-elite politik formal. Dari sinilah bermula potensi konflik, yang tidak mustahil akhirnya menjadi amuk massa penuh kekerasan sebagaimana telah telanjur terjadi itu.
Dalam konteks yang lain, kasus amuk massa di Sampang mengindikasikan pula tentang kegagalan para tokoh dan elite tradisional (ulama/ kiai) dalam mengimplementasikan peran dan fungsi sosio-kultural mereka. Secara sosial budaya mereka sudah diakui oleh semua orang Madura sebagai center of solidarity. Namun, kenyataannya yang dapat dibaca dan dimaknai dari kasus Sampang, justru merekalah yang menjadi "motor penggerak" terjadinya konflik horizontal.
Oleh karena itu, kiranya perlu upaya reflektif tentang hal ini oleh semua pihak tentang perlunya penguatan kembali atau revitalisasi sense of the Madureseness yang kini sudah mulai muncul tanda-tanda dan gejala akan semakin luntur sehingga kasus yang sama tidak akan terulang kembali kelak kemudian hari.
A Latief Wiyata, Pengamat Masalah-masalah Sosial dan Budaya Madura
Sumber: KOMPAS, Senin, 20 November 2000
Label: a latief wiyata, amuk massa, dokumentasi, kiai, ulama
1 Komentar:
Ternyata, Madura adalah lahan gersang untuk berubah ke arah yang lebih baik, kasus Sampang seakan membuka wajah asli kita...!
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda