Industri Garam

Garam yang seharusnya membuat rasa menjadi asin, kini terasa getir bagi petani garam. Tidak hanya mengeluh, mereka harus bergeser dan mencari penghidupan lain selain tambak garam yang telah menggarami kehidupannya selama ini.

Oleh M Taufiq Prasetyo

Harga yang tak bersahabat diimbuh cuaca yang tak menentu, mengakibatkan petani garam gagal panen. Pulau Madura yang diharapkan menjadi lumbung garam, kini tak berkutik. Di Kabupaten Sampang saja terdapat areal pertanian garam 420 hektare, dengan produksi hampir 300.000 ton per tahun. Belum lagi kabupaten-kabupaten lain, seperti Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan. Ini berarti masih banyak penduduk pulau ini menggantungkan nasibnya dari garam.

Namun, anomali cuaca saat ini membuat dompet petani garam mengering. Bagaimana tidak, bulan Agustus hingga September 2010 yang seharusnya musim kering, berubah menjadi basah akibat hujan lebat yang sering datang. Alhasil, gagal panen pada komoditi ini terjadi. Produksi garam nasional anjlok untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun industri pun berkurang.

Itu masih mengenai produksi garam yang turun, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, petani garam masih menanggung peningkatan biaya produksi dan harga itu masuk dalam biaya tetap (fixed cost) petani garam yaitu penggarap lahannya. Per hektar perlu empat hingga lima penggarap dengan gaji Rp 50.000 per hari. Jika mau berhitung, total biaya untuk menggarap 1 hektare ladang garam berkisar Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per hari.

Bandingkan dengan penghasilannya. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini harga garam petani hanya Rp 400 per kg, sedang biaya produksi mencapai Rp 350 per kg. Meski berdasar catatan Kementerian Perindustrian, harga garam terus meningkat dalam enam tahun terakhir. Pada 2004, harga garam Rp 50 hingga Rp 60 per kg dan 2009 mencapai Rp 300 hingga Rp 350 per kg.

Kita masih bisa merasakan asinnya garam, namun jika cuaca kian tak tentu arah tak menutup kemungkinan ke depan kita pun akan melahap lauk pauk hambar akibat rendahnya produksi garam nasional. Kebutuhan garam nasional tahun 2009 sekitar 2,8 juta ton. Dari angka tersebut, 0,2 juta ton garam diserap kebutuhan rumah tangga (garam meja) dan sebagai bahan baku industri pengolahan makanan dan minuman. Ini berarti 1,6 juta ton garam tak terpenuhi oleh kebutuhan nasional, yaitu untuk kebutuhan garam yang bukan untuk makanan. Semisal sebagai pengolah bahan baku kertas sebagai pengganti soda ataupun industri kosmetik dan farmasi.

Sekitar 1,6 juta ton itupun harus diimpor. Namun, regulasi pemerintah dalam melindungi petani garam membuat angka tersebut kian tak terpenuhi. Memang, garam impor sangat diharapkan oleh industri karena garam bersifat sangat premium, dengan kadar natrium chlorida (NaCl) sekitar 97 persen. Melihat kebutuhan industri akan garam seharusnya bisa mendongkrak produktivitas petani garam dalam negeri.

Kadar Masih Rendah

Saat ini di Jawa Timur ada tiga perusahaan dominan yang mengolah garam dari petani untuk dijadikan konsumsi, di antaranya PT Garam, PT Garindo, dan Pagarin. Masih ada perusahaan garam lain (PT Susanti Megah, PT Elit Star, PT Sumateraco. PT Garam) sebagai salah satu dari tiga perusahaan terbesar pengolahan garam sanggup membuat garam yang diinginkan industri. Sayang, kadar NaCl-nya hanya 93 persen. Ini mengakibatkan beberapa perusahaan garam pendatang baru mulai menggarapnya, salah satunya Cheetam Salt Ltd (Australia). Besar harapan, new entry ini sanggup memberi angin segar dalam meningkatkan produktivitas komoditi ini.

Namun, jangan salah, adanya pemain baru ini tak serta merta petani menjual hasil jerih payahnya pada perusahaan baru. Sebenarnya pemerintah melalui instansi Perindustrian dan Perdagangan sekitar sudah melakukan sosialisasi dan membantu meningkatkan kualitas garam yang dihasilkan para petani garam. Namun, petani garam yang rata-rata masih berpendidikan rendah, sulit menerima jika harus memproduksi garam dengan kualitas premium dan menjualnya pada pemain baru di dunia garam.

Ini menjadi salah satu penyebab teknologi pengolahan produksi garam tertinggal yang akhirnya membuat garam yang diproduksi tak sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Apalagi dengan keadaan cuaca yang tak menentu, menjadikan produksi yang dihasilkan petani garam menurun drastis. Di China, pengelola garam mengakali masuknya curah air hujan dengan menutupi lahan garam dengan plastik. Petani garam di China cukup terbantu dengan teknologi tepat guna dengan bantuan plastik dari pemerintah.

Sebagai saran, saatnya pembuat regulasi melakukan koordinasi dan pendekatan pada pelaku industri garam. Baik petani garam maupun perusahaan pengolah garam mentah harus dijembatani, sehingga ada komunikasi yang jelas dan terjadi simbiosis mutualisme. Pemberian akses masuk industri pengolahan garam baru juga akan memberi daya dobrak baru komoditi ini. Dengan mengacu pada undang-undang persaingan usaha dan perubahan struktur pasar akan menjadikan pasar garam kian gurih. Para industri garam akan bersaing mendekati sempurna, sehingga secara tidak langsung pasar industri garam tersegmentasi dengan sendirinya. Beberapa kartel yang terjadi di industri ini pun akan musnah. (n)

M Taufiq Prasetyo, Pemerhati Perdagangan Dalam Negeri

Sumber: Surya, Rabu, 13 Oktober 2010

Label: , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda