Garam Bagian dari Budaya Madura

Kadarisman Sastrodiwirdjo

Garam sangat dibutuhkan oleh manusia. Bagi tubuh manusia, garam merupakan salah satu unsur yang essensial. Karena itu, sejak manusia mengenal garam, maka garam tidak bisa dipisahkan dari konsumsi manusia. Garam ada yang dibuat dari air laut, seperti di negara kita. Pada lokasi tertentu yang air lautnya memiliki kepekatan tinggi, masyarakat mengolahnya menjadi garam dengan sistem penguapan ( solar evaporation). Sementara itu pada beberapa negara lain, garam diperoleh dengan cara menambangnya.

Oleh: Kadarisman Sastrodiwirdjo *)

Pada perkembangan berikutnya, ternyata garam tidak hanya dibutuhkan unutuk dikonsumsi, melainkan juga untuk industry. Banyak industry yang membutuhkan garam, seperti industry pangan, farmasi, pengasinan, industry kulit, dan yang tidak banyak diketahui orang, adalah pengeboran minyak. Untuk pengeboran minyak ini dibutuhkan garam dengan jumlah besar dengan kualitas prima.

Di negara Indonesia sentra usaha garam menyebar. Mulai dari aceh, Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara sampai ke wilayah timur Indonesia, banyak ditemui sentra-sentra usaha garam. Luas area seluruhnya sekitar 19.664 Ha. Sekitar 63% dari areal itu ada di Jawa Timur.

Sementara itu, luas arel penggaraman di Madura, sekitar 11.695 Ha. Berarti Madura memiliki areal penggaraman yang terluas diseluruh Indonesia. Karena itulah mengapa sejak dulu kala Madura dikenal sebagai pulau garam.

SEJARAH GARAM DI MADURA

Menurut Mahfud Effendi dan Yoyok R. Effendi dalam buku Profil Garam Madura (2009), garam diperkenalakan oleh seorang tokoh legendaries bernama Pangeran Anggasuta pada awal abad XVI. Konon tokoh ini muncul ketika ada perang antara kerajaan Klungkung Bali dengan Raja Sumenep. Ketika tentara Bali dalam posisi terdesak, muncullah Anggasuta yang menjadi penengah dan sekaligus menjadi penjamin. Beliau meminta kepada Raja Sumenep, agar pasukan Bali tidak dihancurkan. Permohonan tersebut dikabulkan oleh Raja Sumenep.

Demikianlah, selanjutnya setelah Anggasuta menetap di Girpapas Sumenep, beliau mengajarkan kepada masyarakat cara membuat garam dari air laut, dengan sistem penguapan ( solar evaporation ). Sistem ini berlanjut sampai sekarang. Hal ini dimungkinkan karena kadar air laut di selat Madura memiliki kepekatan yang cukup tinggi. Kemudian garam berkembang di pesisir selatan Sumenep, dan terus merambah ke Pamekasan dan Sampang. Di Pamekasan, pengelolaan garam dilakukan oleh masyarakat pantai selatan yaitu di Kecamatan Pademawu, Galis, dan Tlanakan.

Kebijakan pemerintah mengenai garam berubah-ubah sesuai dengan kepentingan pemerintah pada waktu itu. Pada zaman Hindia Belanda garam dinyatakan sebagai komoditas monopoli, artinya bisa memproduksi garam hanya pemerintah. Di Kalianget Sumenep, Krampon dan Mangunan didirikan pabrik garam bricket.

Bentuknya khas, seperti “kennong” pada gamelan. Disamping itu ada garam curai dan garam halus yang disebut garam meja. Kemudian pada zaman kemerdekaan, pemerintah RI menasionalisasi perusahaan garam, menghapus monopoli, dan rakyat diperkenankan mengelola garam yang disebut “ garam rakyat “.

GARAM DAN BUDAYA MADURA

Mengamati perjalanan panjang sejarah hubungan antara orang Madura dengan garam, maka nampak bahwa hubungan antara keduanya berjalin kelindan. Orang Madura tidak bisa dipisahkna dengan garam, sehingga tepatlah kalau dikatakan bahwa garam merupakan bagian dari budaya Madura. Bukti-bukti tentang hal itu ditemui dalam berbagai ungkapan atau petatah -petitih Madura.

Apabila kita cermati, banyak ungkapan atau peribahasa Madura yang mengaitkan perilaku orang dengan buja (garam). Dalam buku Parebasan dan Saloka Madura kumpulan tulisan Oemar Sastrodiwirjo dijumpai beberapa ungkapan sebagai berikut: Ta’ enning pentae buja (tiak bisa dimintai garamnya) yang menunjuk pada orang pelit. Sedang watak orang yang sulit menerima nasehat yang baik, dikatakan: ta’ nyerrep buja accem asam garam yang biasanya dibuat obat, tidak bisa meresap kedalam tubuh). ta’ nemmo buja e betton (tidak menemukan garam di pelataran) untuk menggambarkan orang yang selalu dianggap sebagai sumber kesalahan. buja ebuwang ka tase’ atau ambujai saghara (membuang garam ke laut) menggambarkan pekerjaan yang sia-sia.

Orang Madura dalam mengatakan kecantikan seorang gadis, menggunakan istilah yang berbeda dengan etnis lain. Kalau etnis lain menyebut 'hitam manis', orang Madura menyebutnya Celleng seddha (hitam sedap). Hal lain yang khas dari Madura adalah sambal. Dikalangan orang Madura sambal yang favorit adalah buja cabbhi yaitu garam yang diuleg dengan lombok. Makan menjadi lahap apabila dilengkapi dengan sambal tersebut. Kata buja cabbhi kemudian dipakai sebagai istilah untuk mengukur jumlah uang.

Misalnya kalau kita menanyakan besarnya penghasilan seseorang, dia secara diplomatis akan mengatakan cokop kaangghuy melle buja cabbhi (cukup untuk sekedar membeli sambal garam-lombok). Masih banyak lagi ungkapan Madura yang mengaitkan garam dengan perilaku sehari-hari.

Bukti-bukti diatas kiranya sudah cukup untuk menguatkan kenyataan bahwa garam memang merupakan bagian dari budaya Madura. Implikasi dari hal ini adalah dalam hal pengelolaan garam. Orang lain dalam mengelola garam mungkin saja melihatnya semata-mata dari aspek keuntungan. Kalau untung ditangani, kalau tidak ditinggal. Beda dengan orang Madura yang mengelola garam bukan diukur dari untung rugi.

Alhasil, sampai kapanpun orang Madura akan tetap mengelola garam bukan semata-mata karena sebagai sumber penghasilan, melainkan lebih sebagai bagian dari hidupnya.

*) Pengamat Budaya Madura

Sumber: Surabaya Post, Senin, 01/04/2013

Label: , ,

Analisis Kebijakan untuk Peningkatan Swasembada Garam Nasional

Analisis DPSR Kebijakan Perikanan

Driving Force (D):

Produksi nasional dianggap tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri, khususnya kebutuhan garam industri. Seperti akhir Desember 2011 stok garam konsumsi tinggal 306.000 ton, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai musim panen garam tiba karena konsumsi garam tiap bulan rata-rata sekitar 120.000 ton. Perusahaan lebih memilih garam impor daripada garam lokal karena harga garam impor jauh lebih murah meskipun kualitasnya masih di bawah garam lokal.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) selama Januari-November 2010, Indonesia mengimpor sebanyak 1,8 juta ton garam. Dari jumlah tersebut, impor garam untuk konsumsi 394.210 juta ton.

Pressure (P):

Beberapa tahun terakhir pemerintah beberapa kali melakukan impor garam, seperti baru-baru ini tahun 2011 mengimpor sebanyak 1,7 juta ton dengan surplus impor sebesar 200.000 ton. Adapun jumlah impor garam konsumsi pada tahun 2011 mencapai 932.756 ton atau meningkat dibandingkan impor tahun 2010 sebesar 597.583 ton.


State (S):

Garam rakyat banyak yang masih tersimpan rapi di gudang petani karena perusahaan hanya membeli dengan jumlah yang cukup sedikit. Sebagai contoh Stok garam rakyat di Madura, Jawa Timur, sampai awal tahun ini masih cukup melimpah dari hasil panen tahun 2011 kemarin. Namun, sejumlah perusahaan garam di Madura telah mengajukan izin melakukan impor garam untuk kebutuhan tahun ini.

Respon (R):

Keseriusan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam memacu produksi garam rakyat dibuktikan dengan program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) yang dilaksanakan di 40 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dimulai tahun 2011.

KKP mengembangkan Program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) dengan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dan Non BLM sebesar Rp.107,6 Milyar di atas lahan seluas 16.500 hektare (ha) yang melibatkan 29.000 petambak garam yang tergabung dalam 3.035 KUGAR.

KKP juga memberikan bantuan berupa fasilitas Sarana Air Bersih sebanyak 3 (tiga) unit senilai Rp3,08 miliar, bantuan pelatihan untuk para petambak garam dan bea siswa bagi anak para petambak garam sebesar Rp.7,32 miliar, serta memberikan sebanyak 1.558 Kartu Nelayan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memfasilitasi penyerapan sisa stok garam rakyat, melalui fasilitasi ini maka stok garam yang tersedia di tingkat petani dapat diserap, sehingga tidak perlu ada penambahan impor garam

Diadakan penerimaan Penyuluh Perikanan Tenaga Kontrak (PPTK) pada Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2012 dgn tujuan peningkatan usaha mandiri dan program minapolitan.

Menteri Kelautan dan Perikanan juga mencanangkan pulau Madura sebagai Pulau Garam. Ia menyebutkan bahwa, salah satu alasan pencanangan Madura sebagai pulau garam adalah agar dapat mendorong dan meningkatkan hasil produksi garam rakyat di Jawa Timur, sebagai lumbung garam nasional. Dan menyalurkan paket bantuan senilai total sebesar Rp39,3 miliar kepada petani Garam di Madura, Jawa Timur.

Sumber: DuniaKuMu Blog, 22 Maret 2012

Label: , , , , , , , , ,

Industri Garam

Garam yang seharusnya membuat rasa menjadi asin, kini terasa getir bagi petani garam. Tidak hanya mengeluh, mereka harus bergeser dan mencari penghidupan lain selain tambak garam yang telah menggarami kehidupannya selama ini.

Oleh M Taufiq Prasetyo

Harga yang tak bersahabat diimbuh cuaca yang tak menentu, mengakibatkan petani garam gagal panen. Pulau Madura yang diharapkan menjadi lumbung garam, kini tak berkutik. Di Kabupaten Sampang saja terdapat areal pertanian garam 420 hektare, dengan produksi hampir 300.000 ton per tahun. Belum lagi kabupaten-kabupaten lain, seperti Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan. Ini berarti masih banyak penduduk pulau ini menggantungkan nasibnya dari garam.

Namun, anomali cuaca saat ini membuat dompet petani garam mengering. Bagaimana tidak, bulan Agustus hingga September 2010 yang seharusnya musim kering, berubah menjadi basah akibat hujan lebat yang sering datang. Alhasil, gagal panen pada komoditi ini terjadi. Produksi garam nasional anjlok untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun industri pun berkurang.

Itu masih mengenai produksi garam yang turun, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, petani garam masih menanggung peningkatan biaya produksi dan harga itu masuk dalam biaya tetap (fixed cost) petani garam yaitu penggarap lahannya. Per hektar perlu empat hingga lima penggarap dengan gaji Rp 50.000 per hari. Jika mau berhitung, total biaya untuk menggarap 1 hektare ladang garam berkisar Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per hari.

Bandingkan dengan penghasilannya. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini harga garam petani hanya Rp 400 per kg, sedang biaya produksi mencapai Rp 350 per kg. Meski berdasar catatan Kementerian Perindustrian, harga garam terus meningkat dalam enam tahun terakhir. Pada 2004, harga garam Rp 50 hingga Rp 60 per kg dan 2009 mencapai Rp 300 hingga Rp 350 per kg.

Kita masih bisa merasakan asinnya garam, namun jika cuaca kian tak tentu arah tak menutup kemungkinan ke depan kita pun akan melahap lauk pauk hambar akibat rendahnya produksi garam nasional. Kebutuhan garam nasional tahun 2009 sekitar 2,8 juta ton. Dari angka tersebut, 0,2 juta ton garam diserap kebutuhan rumah tangga (garam meja) dan sebagai bahan baku industri pengolahan makanan dan minuman. Ini berarti 1,6 juta ton garam tak terpenuhi oleh kebutuhan nasional, yaitu untuk kebutuhan garam yang bukan untuk makanan. Semisal sebagai pengolah bahan baku kertas sebagai pengganti soda ataupun industri kosmetik dan farmasi.

Sekitar 1,6 juta ton itupun harus diimpor. Namun, regulasi pemerintah dalam melindungi petani garam membuat angka tersebut kian tak terpenuhi. Memang, garam impor sangat diharapkan oleh industri karena garam bersifat sangat premium, dengan kadar natrium chlorida (NaCl) sekitar 97 persen. Melihat kebutuhan industri akan garam seharusnya bisa mendongkrak produktivitas petani garam dalam negeri.

Kadar Masih Rendah

Saat ini di Jawa Timur ada tiga perusahaan dominan yang mengolah garam dari petani untuk dijadikan konsumsi, di antaranya PT Garam, PT Garindo, dan Pagarin. Masih ada perusahaan garam lain (PT Susanti Megah, PT Elit Star, PT Sumateraco. PT Garam) sebagai salah satu dari tiga perusahaan terbesar pengolahan garam sanggup membuat garam yang diinginkan industri. Sayang, kadar NaCl-nya hanya 93 persen. Ini mengakibatkan beberapa perusahaan garam pendatang baru mulai menggarapnya, salah satunya Cheetam Salt Ltd (Australia). Besar harapan, new entry ini sanggup memberi angin segar dalam meningkatkan produktivitas komoditi ini.

Namun, jangan salah, adanya pemain baru ini tak serta merta petani menjual hasil jerih payahnya pada perusahaan baru. Sebenarnya pemerintah melalui instansi Perindustrian dan Perdagangan sekitar sudah melakukan sosialisasi dan membantu meningkatkan kualitas garam yang dihasilkan para petani garam. Namun, petani garam yang rata-rata masih berpendidikan rendah, sulit menerima jika harus memproduksi garam dengan kualitas premium dan menjualnya pada pemain baru di dunia garam.

Ini menjadi salah satu penyebab teknologi pengolahan produksi garam tertinggal yang akhirnya membuat garam yang diproduksi tak sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Apalagi dengan keadaan cuaca yang tak menentu, menjadikan produksi yang dihasilkan petani garam menurun drastis. Di China, pengelola garam mengakali masuknya curah air hujan dengan menutupi lahan garam dengan plastik. Petani garam di China cukup terbantu dengan teknologi tepat guna dengan bantuan plastik dari pemerintah.

Sebagai saran, saatnya pembuat regulasi melakukan koordinasi dan pendekatan pada pelaku industri garam. Baik petani garam maupun perusahaan pengolah garam mentah harus dijembatani, sehingga ada komunikasi yang jelas dan terjadi simbiosis mutualisme. Pemberian akses masuk industri pengolahan garam baru juga akan memberi daya dobrak baru komoditi ini. Dengan mengacu pada undang-undang persaingan usaha dan perubahan struktur pasar akan menjadikan pasar garam kian gurih. Para industri garam akan bersaing mendekati sempurna, sehingga secara tidak langsung pasar industri garam tersegmentasi dengan sendirinya. Beberapa kartel yang terjadi di industri ini pun akan musnah. (n)

M Taufiq Prasetyo, Pemerhati Perdagangan Dalam Negeri

Sumber: Surya, Rabu, 13 Oktober 2010

Label: , , , ,