Mereka yang Muda yang Sukses
Ekspor Teri, Omzet Rp 2,5 Miliar Per Bulan
Mencari sosok pengusaha muda yang sukses berumur di bawah 40 tahun tak mudah. Sebab, anak muda yang baru saja memulai dengan sesuatu yang baru itu sudah harus dituntut untuk dinamis dan inovatif dalam mengisi ekonomi. Mereka bisa menjadi motivasi dan inspirator bagi generasi muda lainnya.
SUHARTO, 39, menekuni bisnis ikan teri dengan tujuan Jepang. Bersama eksportir asal Gresik, perusahaan lokal dengan 325 pekerja ini memiliki omzet sekitar Rp 1,5 hingga Rp 2 miliar per bulan.
Saat bertandang ke lokasi pengolahan ikan teri di Desa Tanjung, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, koran ini mendapat kesempatan melihat ikan teri di cold storage. Tempat ini seluas 2,5 x 3,5 meter dengan suhu udara 10 derajat di bawah nol. Lokasi ini sebagai tempat menyimpan ikan teri sebelum diseleksi pekerja agar tidak rusak.
Pengolahan teri ekspor ini memerlukan seleksi ketat. Sejak nelayan menurunkan hasil tangkapan, produsen memeriksa kondisi ikan dan besar kecilnya ukuran. Mula-mula, ikan diperiksa mengenai segar tidaknya. Sebab, salah satu syarat teri lolos ekspor jika ikan segar alami atau menggunakan alat bantu es batu yang dibawa nelayan dari darat ke tengah laut.
Selain itu, ikan yang lolos seleksi harus dibersihkan dari spesies lain. Pada saat ikan dalam satu spesies teri ini terkumpul, pekerja menyaring lain, ikan teri dikelompokkan lagi menjadi SS (sangat kecil), S (kecil), dan M (lebih besar dari jenis teri S).
Selanjutnya, pekerja merebus ikan yang sudah tersaring sampai setengah matang dan menjemurnya. Setelah pengeringan, pekerja kembali menyeleksi kemurnian ukuran dan memastikan ikan teri tidak bercampur dengan ikan lain yang berada di luar ukuran. "Melelahkan memang," kata Suharto, manajer UD Dharma Laut, ini.
Rangkaian terakhir dari proses seleksi teri dieksekusi di atas meja. Di atas meja para pekerja berkeja di bawah lampu neon masing-masing berkapasitas 40 watt. Di tempat kerja, karyawan perusahaan ini memiliki 80 lampu yang menggantung menyinari setiap meja berisi empat pekerja. Bila rangkaian seleksi selesai, pekerja melakukan packing masing-masing seberat 5 kg. Agar packing ikan teri tidak rusak karena panas cuaca, ikan dikumpulkan lagi dalam cold storage dengan suhu 10 derajat di bawah nol.
Suharto mengaku belum bisa melakukan ekspor sendiri ke Jepang. Alasannya, pengusaha muda lokal Pamekasan ini tidak memiliki lisensi. Karena itu, dia melakukan konsorsium dengan eksportir lain di Gresik. Ikan siap ekspor itu dikirim bersama ikan sejenis ekspor lainnya di Gresik dalam satu kontainer. Itu pun ikan tidak boleh dikirim di siang hari. Sebab, panas matahari mengganggu kualitas ikan teri yang telah disortir berkali-kali.
Bagaimana dengan ikan teri yang tidak lolos sensor? Ikan-ikan tersebut dijual di pasar lokal regional. Sebab, pasar lokal-regional tidak mengalami seleksi yang superketat seperti untuk ekspor ke Jepang. Sisa ikan yang tidak layak di pasar lokal-regional ini dia juga jual dalam bentuk menu di lesehan yang dibukanya di di Jl Raya Asem Manis Kota Pamekasan.
Menurut dia, ekspor teri termasuk pekerjaan yang berpeluang dan memiliki tantangan. Peluangnya, pasar terus meminta pasokan ikan teri. Kendalanya, bahan baku tidak selalu tersedia karena bahan baku disediakan alam. Karena itu, Suharto membuat konsep multilevel marketing supplyer. Dia memiliki banyak agen di berbagai kecamatan baik di Pamekasan maupun Sumenep. Tapi, di agen-agen itu dia menerapkan konsep penyaringan dan higienis yang dipatok Jepang. "Kalau agen tidak mengikuti aturan, kami tidak membeli ikan (dari agen)," ujarnya.
Dia juga mengakui ekspor ini menguntungkan dan merugikan meski memerlukan dana yang sangat besar. Dalam sebulan, dia memerlukan dana antara Rp 1,5 miliar hingga Rp 2 miliar. Dana tersebut digunakan untuk membeli ikan, upah karyawan, biaya listrik, air, biaya transportasi dalam dan luar negeri.
Lalu, berapa hasil bersih yang dipat dari belanja modal setara Rp. 1,5 milir hingga Rp. 2 miliar? "Wah, berapa cash back dari belanja modal yang kami terima, itu rahasia perusahaan," dia menolak menyebutkan angka.
Tapi, dia berharap ekspor ini tidak dihitung hanya berdasar keuntungannya saja. Pada 2003 dia nyaris gulung tikar. Pasalnya, dalam catatan UD Dharma Laut, tahun-tahun itu awal dari krisis global dan pihak Jepang menurunkan harga pembelian. Sementara dia mengeluarkan belanja modal cukup tinggi. "Alhamdulillah, lima tahun kemudian kami perlahan-lahan bangkit lagi," terangnya.
Menurut dia, hal yang membanggakan dari bisnis ini karena bisa mempekerjakan 325 orang. Bahkan lebih pada saat musim ikan. Bila setiap karyawan dibayar Rp 20 ribu per hari kalikan 325, dalam sebulan sudah mencapai Rp 195 juta. Tepi, dia mengakui pekerja tidak menerima bayaran yang sama, tapi sesuai masa kerja dan hasil yang diperoleh setiap hari. Karena itu, para pekerja diawasi sekitar lima pengawas per hari untuk menilai kinerja mereka. Selain itu, penerimaan gaji karyawan disesuaikan dengan masa kerja.
Pria familiar itu juga mengaku keluar biaya listrik bertenaga lebih dari 21 ribu watt. Misalnya, dia punya tiga cold storage masing-masing memerlukan 7 ribu watt. Biaya tersebut belum termasuk biaya transportasi dan belanja tidak terduga. Dalam setiap bulan jika diambil nominal tengah, perusahaan yang dia manajeri memerlukan tak kurang dari Rp 1,5 miliar. Dilihat dari angkanya, mengaku cukup besar. Tapi, dari sisi cash back, menurut Suharto, terkadang ada sisa.
Dia mengungkapkan, bisnisnya bisa mengembalikan modal (BEP) sudah dianggap menguntungkan. Sebab, 325 tenaga lokal yang bekerja padanya tetap menerima gaji. Dia juga senang karena bisa membantu pemerintah mengurangi pengangguran. "Anda bisa bayangkan, lha wong lowongan PNS saja di tahun ini hanya sekitar 300 orang untuk 10 ribuan pelamar," ungkap pengusaha yang merintis usahanya sejak 1988 silam ini. (abe/mat)
Sumber: Jawa Pos, Senin, 09 November 2009
Label: bisnis, dokumentasi, ikan, teri, wajah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda