Inilah Hasil Kajian Sosial Jembatan Suramadu

Menghubungkan dua daerah yang tidak seimbang justru menimbulkan ketimpangan

Pemerintah sudah mulai gencar mewacanakan rencana pembangunan infrastruktur penghubung Jawa-Sumatera periode mendatang. Langkah itu kemungkinan diwujudkan, menilik kesuksesan pembangunan Jembatan Surabaya-Madura kemarin.

Apakah hal itu benar, kesuksesan ini benar-benar dalam arti sukses membangun? Boleh jadi benar, tapi mungkin di salah satu sisi saja, yakni Surabaya. Sedangkan di satu sisi lainnya, Madura, mungkin akan terjadi ketimpangan.

Hasil kajian ini memang terbilang belum lengkap, tapi indikasi kegiatan sosial yang ada sudah menunjukkan ketimpangan.

Demikian dikemukakan Pakar Sosiolog FISIP Universitas Airlangga Bagong Suyanto saat ditemui VIVAnews di Jakarta, Selasa, 15 September 2009.

Menurut Bagong, pemerintah harus mulai memikirkan dampak sosial berikutnya yang akan terjadi setelah infrastruktur tersebut dibangun. Seperti Jembatan Selat Sunda yang sekarang sedang dirintis, dampaknya diyakini lebih besar dibanding Suramadu.

"Saya meneliti dampak sosial budaya pembangunan Suramadu, setelah jembatan ini selesai," kata dia. Hasilnya kata dia, pertama adalah terjadinya indikasi suksesi kepemilikan aset, kedua terjadi pergeseran okupasi (pekerjaan masyarakat), dan ketiga model belanja yang lebih banyak ke Surabaya.

Bagong menuturkan, hasil penelitian terhadap selesainya pembangunan Jembatan Suramadu tersebut memang tidak kuantitatif atau dipersentasekan secara angka. Tetapi dari pengamatan yang ada, pergeseran demi pergeseran sudah mulai terjadi.

"Di Suramadu itu, kalau akhir pekan ramai orang menuju Surabaya malamnya baru pulang," katanya.

Dia menuturkan, berdasarkan pengamatan, Senin sampai Jumat penduduk di Madura melakukan penghemata, baru kemudian belanjanya di Surabaya. "Artinya apa, bahwa aktivitas ekonomi justru tumbuh di sisi Surabaya," ujar Bagong.

Bagong mengakui, bukan menolak keberadaan pembangunan jembatan. Namun, menurutnya, menghubungkan dua daerah yang tidak seimbang justru menimbulkan ketimpangan. "Ini karena tidak asimetris, makanya hasilnya juga beda," kata dia.

Seperti juga pembangunan Jembatan Suramadu, secara teoritis kehadiran infrastruktur penghubung Sumatera-Jawa, kemungkinan tidak jauh beda. Terlebih dengan melihat data bahwa dua wilayah yang dihubungkan sama-sama memiliki daerah yang besar, diyakini efeknya akan lebih dahsyat lagi.

Ia memberi contoh di Lumajang, hanya karena pemerintahnya ingin membuat sekolah unggulan terpadu dengan dana Rp 30 miliar, kini telah terjadi ketimpangan antara guru. "Masyarakat senang, senang jawabnya karena ada sekolah unggulan. Tapi coba tanya ke guru-guru disekolah lain, mereka merasa sedih," kata Bagong.

Berdasarkan pengalaman lain di Aceh, Irian Jaya dengan adanya PT Freeport, Timor Timur, Batam dan lain-lain, semua terbukti bahwa sub kultur tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pembangunan. Di Jakarta saja ketimpangan ini, secara sosial sebenarnya bisa tampak antara yang miskin dan kaya.

"Niscaya ada potensi pergesekan kalau tidak dikelola dengan baik," ujarnya.

Bagong menambahkan, tak hanya sosial, proses industrialisasi yang masuk akan mengubah redistribusi aset. Sebab, penduduk asli akan semakin termarginalkan dengan keadaan ini. (antique.putra@vivanews.com)

Sumber: vivanews.com, Selasa, 15 September 2009

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda