Urgensi Integrasi dan Optimalisasi
Pasca Pembangunan Suramadu
Kekhawatiran masyarakat Madura bahwa realisasi Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) akan menemui kegagalan ternyata tidak terbukti. Kondisi ini ditunjukkan ketika Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, menghadiri Acara Start of Ceremony Main Span Project of Suramadu sebagai peresmian awal pembangunan bentang-tengah megaproyek ini di Hotel Shangri-La Surabaya pada Sabtu, 19/11/2005. Acara tersebut dihadiri juga oleh Gubernur Jawa-Timur (Jatim) Imam-Utomo, sesepuh Jatim dan Madura H.M. Noer, serta sejumlah perwakilan tokoh masyarakat Madura (Jawa-Pos, 20/11/2005).
Oleh: M.Kholid Yadi
Pembangunan bentang tengah Suramadu akan dikerjakan kontraktor asal Tiongkok, yaitu CCC (Consorcium of China Contractor) bekerja sama dengan konsorsium kontraktor asal Indonesia. Namun demikian, dipastikan waktu penyelesaian Suramadu akan mundur dari jadwal sebelumnya yakni pada 2007 menjadi 2008. Diharapkan pasca realisasi Suramadu, wacana integrasi membangun Madura secara keseluruhan sebagaimana yang diharapkan penduduk lokal akan segera terwujud.
Sebagai kilas balik dalam Acara Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Nasional bertajuk, Optimalisasi Pemanfaatan Jembatan Suramadu bagi Masyarakat Madura pada 2-5 September 2004 di Bangkalan, Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Menkimpraswil) era Megawati Soekarnoputri, Sunarno yang menjadi keynote speaker dalam acara tersebut menyatakan bahwa kendala terbesar pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah kesenjangan perekonomian antar wilayah. Salah-satunya adalah ketimpangan ekonomi yang sangat jauh antara Surabaya dan Madura. Berkaca dari hal tersebut, jembatan Suramadu diharapkan menjadi stimulus awal untuk mengembangkan Madura sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wilayah Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan) 'plus' tiga kabupaten lain yang bermukim di pulau ini yakni Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Persoalannya kini adalah, Suramadu tidak hanya sampai berhenti dan terbatas pada aspek pembangunan konstruksi saja. Tetapi ada hal lain yang juga mendesak untuk ikut dibenahi pasca Suramadu, yakni sinergi pengembangan wilayah, rencana strategis (renstra), serta konsep tata ruang antar kabupaten di Madura.
Sebagai bagian dari pengembangan wilayah Gerbang Kertosusila, Madura diharapkan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa-Timur (Jatim) yang berperan penting dalam mendukung perkembangan sektor industri, perdagangan, pertanian, dan pariwisata. Namun realita menunjukkan, bahwa tingkat pertumbuhan antar wilayah di Gerbang Kertosusila mempunyai perbedaan yang cukup signifikan diukur dari tingkat pendapatan per-kapita penduduknya. Kenyataan memperlihatkan wilayah (kabupaten) yang terletak di Pulau Madura masih “jauh” tertinggal jika dibandingkan wilayah Gerbang Kertosusila lain.
Data menunjukkan bahwa laju pertumbuhan pembangunan Madura relatif lebih lambat dari rata-rata kabupaten lain di Jatim. Disparitas laju pertumbuhan ini menjadi lebih tajam apabila dibandingkan dengan wilayah Gerbang Kertosusila. Nilai Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Madura pada tahun 2002 adalah Rp 8,2 Triliun, sedangkan wilayah Gerbang Kertosusila telah mencapai Rp. 64,5 triliun. Artinya nilai PDRB wilayah Gerbang Kertosusila telah mencapai hampir 10 kali lipat dari Madura. Jika dilihat dari konfigurasi struktur ekonomi, wilayah Gerbang Kertosusila telah didominasi oleh sektor sekunder (perdagangan) dan tersier (industri), dengan kontribusi sebesar 33,9 persen dari sektor sekunder dan sebesar 57,8 persen dari sektor tersier. Coba bandingkan dengan struktur perekonomian Madura yang masih didominasi oleh sektor primer (pertanian) dengan nilai mencapai 54,1 persen.
Besarnya ketimpangan Pulau Garam dengan wilayah Gerbangkertosusila juga tidak terlepas dari rendahnya aksesbilitas daerah ini terhadap wilayah Gerbangkertosusila sebagai kutub pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu pembangunan Jembatan Suramadu sangat menjadi dambaan bagi masyarakat Madura dan Jatim, karena akan mampu mendorong meningkatkan laju pembangunan baik dalam aspek sosial dan ekonomi. Mengingat besarnya kesenjangan kondisi Madura dengan Gerbangkertosusila, maka pembangunan Jembatan Suramadu perlu didukung oleh kebijakan pengembangan wilayah yang terintegrasi sehingga mampu menjamin keserasian dan keseimbangan pembangunan antara kedua wilayah tersebut.
Aspek Pendukung
Sebagai upaya untuk membangun Madura, keberadaan Jembatan Suramadu cukup penting untuk mewujudkan integrasi dan optimalisasi pengembangan Madura secara keseluruhan. Namun upaya ini akan sia-sia jika aspek pendukung lainnya tidak segera dibenahi. Aspek tersebut diantaranya; Pertama, pembenahan aspek Sumber Daya Manusia (SDM). Contoh kasus di Kabupaten Sampang, statistik pendidikan kabupaten ini pada tahun 2000 menunjukkan lulusan SD yang melanjutkan pendidikannya ke SMP, hanya berkisar 50 persen. Sedangkan, lulusan SLTP yang mempunyai keinginan melanjutkan ke SMA, hanya sekitar 60 persen. Bahkan pada tahun 2001 telah terjadi penurunan angka transisi SD ke SMP menjadi 42 persen (Kompas, 24/3/2002). Angka ini sudah cukup mewakili realita rendahnya tingkat pendidikan sebagai cermin minimnya SDM Madura.
Langkah pertama dalam meningkatkan mutu SDM Madura ditempuh melalui pemerataan kesempatan pendidikan. Usaha tersebut telah dilakukan pemerintah-pusat (Depdiknas) dengan pengucuran bantuan operasional sekolah (BOS) sejak Agustus 2005 bagi siswa yang berada pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan SLTP/MTs). Sebelumnya langkah yang sama juga ditempuh oleh pemerintah propinsi Jawa-Timur, melalui Program SPP “gratis” untuk siswa pada jenjang pendidikan 9 tahun, dalam bentuk Subsidi Biaya Minimal Pendidikan (SBMP). Tidak hanya itu, langkah tersebut juga harus ditindaklanjuti dengan pengembangan sarana prasarana pendidikan tinggi maupun pendidikan kejuruan dan ketrampilan di pulau ini.
Upaya lain yang cukup sulit, tapi harus dilakukan adalah merubah paradigma sebagian masyarakat Madura yakni jika ada warganya sukses mengumpulkan harta baik di Madura maupun perantauan, maka warga tersebut akan mendapat penghormatan lebih dibandingkan warga lainnya. Orang ini biasanya disebut daddi oreng, yang konotasinya pasti kaya. Jarang warga (perantauan) yang berilmu dan berintelektual tinggi jika pulang ke Madura dibilang daddi oreng. Kondisi ini menunjukkan bahwa ilmu, pendidikan dan kepintaran (diluar ilmu agama) masih belum mendapat “kedudukan” yang layak di mata penduduk Madura.
Kedua, pengembangan infrastruktur pendukung. Realisasi Jembatan Suramadu juga harus diikuti dengan pembangunan sarana dan prasarana sebagai bagian konsep membangun Madura secara keseluruhan. Sarana yang mendesak untuk segera diwujudkan tersebut, diantaranya; (1) pelebaran jalan arteri Bangkalan-Sumenep menjadi 4 jalur; (2) peningkatan fungsi Lapangan Terbang Trunojoyo Sumenep menjadi lapangan terbang komersial; (3) pengembangan Pelabuhan Kalianget di Sumenep; (3) pengembangan Pelabuhan Tanjung Bumi di Bangkalan sebagai ekspansi Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya; (4) pembangunan Waduk Blega (Bangkalan) dengan areal irigasi 7.866 hektar, Waduk Nipah (Sampang) dengan areal irigasi 1.150 hektar, dan Waduk Klampis (Bangkalan), (5) peningkatan pasokan daya listrik PLN, dan (6) penyediaan sarana air bersih yang memadai bagi pemukiman dan industri. Langkah ini perlu diupayakan untuk mendukung kesiapan Madura dalam rangka menyongsong realisasi Jembatan Suramadu. Sebab pembangunan jembatan penghubung ini mempunyai implikasi yang sangat luas, khususnya terhadap percepatan pembangunan Madura dalam segi; (1) peningkatan kemampuan pembangunan daerah, (2) peningkatan peluang investasi, (3) optimasi pemanfaatan sumber daya alam, (4) perubahan pemanfaatan ruang, (5) kebutuhan infrastruktur, serta (6) perkembangan sosial ekonomi masyarakat lokal. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kebijakan pengembangan Wilayah Gerbangkertosusila “plus” yang mampu mengintegrasikan dan mensinergikan seluruh potensi pembangunan sehingga memberikan manfaat optimal bagi semua pihak khususnya masyarakat Madura.
Ketiga, pembenahan dalam aspek mental. Pembangunan Jembatan Suramadu jelas akan membawa perubahan yang cukup signifikan dalam segala aspek bagi masyarakat Madura. Perubahan yang dimaksud tentu perubahan yang membawa dampak positif bagi seluruh masyarakat Madura. Walaupun begitu mereka juga harus mempunyai “pertahanan-diri” untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya dampak negatif, khususnya dalam masalah sosial-budaya sebagai ekses negatif realiasasi Suramadu. Apalagi masyarakat Madura sudah sangat dikenal sebagai masyarakat agamis berbasis budaya santri. Diharapkan dengan datangnya era industrialisasi, budaya ini tidak terkikis akibat ekses budaya luar, berupa merajalelanya perjudian, minuman-keras (alkohol), dan prostitusi sebagaimana pengalaman di Pulau Batam. Seperti diketahui berkembangnya industrialisasi di Pulau Batam ternyata berdampak pada termarjinalkannya masyarakat lokal di pulau ini. Dampaknya masyarakat setempat tidak punya cukup “power”, untuk menolak masuknya budaya luar bercitra negatif dalam komunitas mereka. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut upaya pembinaan mental oleh pemimpin non-formal (ulama) di pondok-pondok pesantren kepada masyarakat Madura perlu terus ditumbuhkembangkan. Upaya ini ditujukan agar pada saat jembatan itu sudah bisa dirasakan manfaatnya, masyarakat Madura sudah memiliki pertahanan sosial-budaya yang cukup dalam rangka mem-filter masuknya budaya tersebut. Langkah ini tentu dibutuhkan dalam kaitannya dengan pemantapan iman, pemantapan ukhuwah atau persaudaraan, dan persamaan persepsi masyarakat dalam membangun Madura.
Diharapkan dengan tiga aspek tersebut, visi membangun Madura untuk memberikan percepatan pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat setempat dalam bingkai lingkungan sosial budaya yang religius dan dinamis, dapat segera terwujud. Mengutip penyataan Budayawan Madura, D. Zawawi Imron bahwa, masyarakat Pulau-Garam berharap bahwa keberadaan Jembatan Suramadu dibutuhkan dalam kerangka membangun Madura dan bukan sekedar membangun di Madura. Pertanyaannya sekarang, apakah kita sudah siap pengantisipasi perubahan pasca Suramadu?”***
Sumber: http://kholdy.wordpress.com/
Label: dokumentasi, m kholid yadi, suramadu
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda