Suramadu, Potret Wajah Kita

Warga Jawa Timur pasti bangga dengan adanya jembatan antar pulau terpanjang di Asia Tenggara, Jembatan Suramadu. Seorang reporter televisi bahkan menyebutnya “jembatan yang menghubungkan Madura dengan Jawa Timur”, seolah-olah Madura bukan bagian dari Jawa Timur. Banyak cerita menarik di balik jembatan ini, yang bisa membuat kita bercermin.

Oleh: Sirikit Syah

Cerminan pertama adalah: betapa pentingnya jembatan ini sehingga menjadi rebutan klaim keberhasilan antara presiden dan calon presiden. Megawati bahkan secara terang-terangan mengungkit-ungkit andilnya sebagai “pencanang” jembatan pada saat menjabat presiden. Tak hanya disampaikan lewat pidato, klaim-nya juga disampaikan melalui spanduk/baliho besar yang membentang di jembatan menjelang peresmian. Bunyi spanduk itu adalah ucapan terimakasih kepada Megawati atas selesainya pembangunan jembatan ini.

Perilaku klaim meng-klaim keberhasilan ini tampak lazim dalam proses kampanye para capres. Bila SBY dan Megawati berebut klaim keberhasilan Jembatan Suramadu, SBY dan JK berebut klaim keberhasilan damai di Aceh. Agak aneh juga ketika tim sukses SBY mencak-mencak atas klaim-klaim JK. Mereka bahkan mengingatkan bahwa apapun keberhasilan JK, dia hanyalah seorang wakil presiden. Tak ada sesuatu yang terjadi tanpa perkenan presiden.

Menurut saya ini agak aneh, karena SBY juga melakukan klaim-klaim yang sama. Semua iklan keberhasilannya, sesungguhnya adalah keberhasilan pemerintah, bukan semata-mata SBY dan Partai Demokrat. Bahkan iklan-iklan keberhasilan pemerintah – semakin banyak departemen memasang iklan di media massa - baru dilakukan sekarang, pada saat kampanye presiden. Bukankah ini mengklaim keberhasilan pemerintah, memasang iklan dengan dana pemerintah, dengan tujuan partisan (kemenangan SBY dan Partai democrat)? Berbicara soal etika, tampaknya semua kandidat sama saja.

Nah, kalau kandidat presidennya saja tidak beretika, bagaimana rakyatnya? Bukankah pimpinan sebuah negara demokrasi adalah cerminan rakyatnya? Mari kita tengok lagi Jembatan Suramadu. Baru beberapa hari diresmikan, banyak laporan kehilangan. Mur dan baut lepas. Lampu-lampu penerangan jalan copot. Mendengar berita ini di radio atau membacanya di koran, kita menjadi miris: “Kok ada ya sesama bangsa Indonesia mencuri dengan mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan bahaya bagi nyawa manusia sebangsanya?”

Dulu sering ada anekdot bahwa Suramadu akan menjadi WC terpanjang di dunia. Sebuah olok-olok yang menghina suku Madura, menyindir perilaku ‘semau gue’ yang mengabaikan tatanan kesehatan dan kepantasan. Itu memang cuma olok-olok. Namun soal baut dan mur jembatan yang ‘mrotholi’, ini kisah nyata. Label yang diberikan kepada suku Madura sebagai ‘pencuri/pemungut segala macam besi dan kaleng’ menemukan pembenarannya dengan fakta-fakta ini.

Namun ada juga sanggahan dari Polres Bangkalan, yaitu tidak benar bahwa banyak mur dan baut atau lampu-lampu hilang di Jembatan Suramadu. Itu hanya rumor yang disebarluaskan untuk mendiskreditkan masyarakat Madura. Lebih jauh lagi, itu rumor untuk menutupi borok yang sebenarnya: yaitu bahwa kontraktor memang belum tuntas bekerja. Banyak yang belum beres. Malah diduga, mur dan baut dan lampu-lampu itu ‘dimakan’ oleh tikus-tikus koruptor di kalangan kontraktor sendiri. Memang tidak dipasang alias dikorupsi, lalu menyebar informasi miring tentang kebiasaan masyarakat Madura.

Sulit menentukan kebenaran cerita di balik Jembatan Suramadu ini. Apalagi ada data selama proses pembangunan akan hilangnya beberapa ton besi yang konon modusnya ‘ditenggelamkan dulu ke laut, lalu setelah orang lupa, diambil beberapa saat kemudian’.

Stereotype dan labelisasi adalah penjulukan pada kelompok masyarakat tertentu untuk menggampangkan pemaknaan sebuah fenomena. Memang tidak selalu benar, tetapi generalisasi alias gebyah uyah ini sudah melekat di benak masyarakat kita. Orang dengan mudahnya akan mengatakan bahwa “Kalau bertemu pengemis di Jakarta, pasti orang Jawa”, atau “Copet pasti orang Batak”, dan “Kalau diberi sekaleng roti, orang Madura akan membuang rotinya dan mengambil kalengnya.” Pendidikan mengupayakan hilangnya cici-ciri negatif kelompok masyarakat semacam ini. Orang Jawa tak lagi bercita-cita jadi abdi dalem dan tak lagi malas bekerja. Orang Batak tak lagi jadi pencopet di bus kota, tetapi menjadi lawyer sukses di Jakarta. Orang Madura tak lagi memunguti kaleng tetapi menjadi pengusaha besi tua dan pemborong kapal mangkrag. Hanya kemauan kuat kita, melalui pendidikan, yang akan mengubah label negative pada diri kita. Insiden Jembatan Suramadu bisa mencerminkan kegagalan proses pendidikan masyarakat kita.

Beberapa judul koran belakangan ini menyiratkan perlunya pengamanan 24 jam di Jembatan Suramadu. Polisi harus berjaga-jaga 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu. Suami saya mengatakan, memang begitulah tugas polisi, menjaga keamanan. Saya mendebatnya, “Ya, tetapi polisi bisa melakukan banyak hal lainnya kalau kita tidak ngawur mencuri sekrup jembatan yang menghubungkan dua pulau, di atas laut yang berangin dan bergelombang kencang. Taruhannya nyawa ribuan orang.” Saya terus terang malu kalau kita mesti dijaga polisi seperti ini. Keterlaluan. Masak kita sudah dianggap sebagai bangsa maling? Sampai punya jembatan baru saja mesti diawasi ketat oleh polisi, bukan untuk mencegah kecelakaan tetapi untuk mencegah orang mencuri sekrup.

Jembatan Suramadu yang begitu gagah dan anggun, yang nilainya Rp 4,2 triliun itu, mestinya membuat kita bangga dan bersyukur. Bukan membuat kita malu. Berita-berita di surat kabar dan televisi belakangan ini memotret kita, rakyat Jawa Timur, sebagai bangsa pencoleng. Saya berharap para kyai dan ustadz di tak henti-henti menasehati masyarakatnya untuk jangan mencuri. Masyarakat mesti diajari bekerja keras dan memanfaatkan keberadaan jembatan ini untuk kemajuan diri sendiri, tanpa membahayakan nyawa manusia lainnya.

Sumber: Surabaya Post, Sabtu, 20 Juni 2009

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda