Menanti Perbaikan Hidup di Suramadu

Di bawah terik matahari, dua sosok wanita muda berjalan bertelanjang kaki. Warna kulitnya yang hitam legam terlihat begitu kontras dengan putihnya warna kapur yang mendominasi tekstur tanah di Kecamatan Labang, Kabupaten Bangkalan.

Minum teh atau makan mi?" katanya kepada sejumlah pengunjung di depan lapaknya. Itulah rutinitas yang dijalani oleh Rustiana (23) selama dua bulan terakhir. Tepat 10 Juni silam saat Jembatan Surabaya Madura (Suramadu) diresmikan, ratusan bahkan ribuan warga Madura menggantungkan harapan tinggi.

Oleh Sindy Fathan Mubina

Jembatan itu bak simbol terbukanya harapan bagi warga Madura untuk meningkatkan taraf hidupnya. "Apalagi bagi saya, yang sehari- hari hanya membuka warung di rumah," tutur ibu yang akrab disapa Rustin itu. Bersuamikan seorang penganggur, lanjut Rustin, membuat dirinya harus bekerja ekstra keras untuk menutup biaya kehidupan.

Dulu ia membuka warung di rumah, tetapi begitu sekarang ada akses Suramadu, ia dan suami memutuskan untuk "membuka cabang" warung sederhananya di jalur akses Suramadu sisi Bangkalan. Bermodalkan Rp 2 juta, ia membuka lapak sederhana dari bambu dan terpal plastik.

Namun, dua bulan berjalan, modal yang dikeluarkannya pun sudah kembali. Membuka warung mi lontong tepat bersebelahan dengan Posko PKL Suramadu, Rustin dapat meraup uang Rp 200.000 per hari bila musim liburan. "Kalau hari biasa, ya paling besar hanya Rp 15.000 per hari," tuturnya. Pendapatan di kala sepi pun, diakui Rustin, mengakibatkan penurunan pendapatan.

Lantas mengapa masih bertahan? "Lebih baik di sini, bisa bertemu orang-orang dari luar, mungkin ada yang memberikan pekerjaan," tutur warga Desa Pangpong ini penuh harap. Harapan serupa pun disampaikan Ida (25). Warga asal Desa Morkepek itu semula sempat bermukim di Bratang Gede, Surabaya. Mendengar akan dilakukan penertiban, ia dan suaminya langsung memutuskan pulang kampung.

Harapan

"Tinggi (penghasilan) di sini di banding jual durian di Surabaya. Belum lagi di sini ketemu banyak orang, mungkin ada yang mau menawari pekerjaan," tuturnya sumringah. Kalau pun tidak ada yang menawarinya pekerjaan, ia berharap pemerintah dapat mengakomodasi para PKL untuk ditempatkan di pusat jajanan yang layak di sekitar kaki Jembatan Suramadu.

"Jangankan ditempatkan di terminal atau pujasera, di biarkan di sini pun asal tidak diusir kami tetap berkenan. Jembatan ini benar- benar membawa masuk banyak pendatang baru, taraf hidup kami pun bisa turut terangkat," kata ibu anak satu yang sudah mahir berbahasa Indonesia itu.

Rustiana dan Ida hanya potret kecil dari ratusan PKL yang menempati kawasan sepanjang akses Suramadu. Menurut Rahmat, seorang petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bangkalan, hingga saat ini tercatat sebanyak 300 pedagang asal empat desa, yakni Morkepek, Pangpong, Ba'engas, dan Sukolilo Barat, di Kecamatan Labang, Bangkalan. "Di luar (orang) Madura, biasanya tidak diizinkan berdagang di sini, intinya kawasan ini untuk meningkatkan pendapatan warga setempat," kata Rahmat.

Secara terpisah, Kepala Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional V Departemen Pekerjaan Umum AG Ismail mengatakan, pedagang di ruas milik jalan (rumija) tol akan ditata agar tidak mengganggu arus lalu lintas. Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretaris Daerah Provinsi Jatim Chairul Djaelani juga memastikan, relokasi PKL akan dilakukan di luar rumija. Pasalnya, kawasan itu seharusnya bebas dari PKL.

Sumber: Kompas, Senin, 27 Juli 2009

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda