Saluran Peradaban Baru Warga Madura
Megaproyek Jembatan Suramadu resmi beroperasi hari ini. Lintasan antarpulau terpanjang di Asia Tenggara itu akan membuat mobilitas penduduk lebih praktis dan cepat. Adakah ongkos sosialnya?
Megaproyek Jembatan Suramadu resmi beroperasi hari ini. Lintasan antarpulau terpanjang di Asia Tenggara itu akan membuat mobilitas penduduk lebih praktis dan cepat. Adakah ongkos sosialnya?
Pasca enam tahun sejak peletakan batu pertama, Jembatan Suramadu akhirnya beroperasi hari ini (10/06). Jembatan sepanjang 5,4 kilometer itu ibarat gerbang utama interaksi warga Madura ke 'dunia luar'.
Dulu, untuk menjejakan kaki di Surabaya sebagai denyut ekonomi terdekat di Jawa Timur, warga Madura perlu membelah Selat Madura dengan menggunakan feri selama 45 menit. Tidak jarang dipaksa berdesakan di dalam feri.
Kini semuanya serba-instan dan praktis. Cukup duduk manis di dalam bus atau menancap gas sepeda motor selama 10 menit, sudah tiba di Surabaya.
Suramadu juga bak magnet ekonomi. Tengok saja yang terjadi satu tahun terakhir di daerah yang bersinggungan dengan Suramadu, warga dibuat memutar otak untuk membuka bisnis. Kawasan Kedung Cowek, Surabaya Utara, misalnya. Dulu, tidak lebih dari tempat tinggal para buruh kasar, tukang becak, dan nelayan.
Lingkungannya sempit, kumuh, dan kotor. Sekarang, kawasan itu telah tertata, rapi, dan bersih. Di sepanjang jalan berdiri beragam usaha. Mulai rumah makan, mini market, sampai toko suvenir.
Tidak jauh dari sana, tepatnya di Tambak Wedi, juga muncul sentra aktivitas publik baru sejak underpass Jembatan Suramadu selesai dikerjakan dua bulan lalu.
Tempat itu belakangan menjadi objek wisata Suramadu oleh warga Surabaya. Setiap sore, sepanjang pantai, tampak warga duduk-duduk bersantai di sana. Aktivitas itu otomatis diikuti kehadiran penjual aneka camilan seperti jagung rebus, gorengan, hingga mainan anak.
Sulis, 37 tahun, pedagang bakso kaki lima di daerah itu mengatakan sejak Suramadu hampir selesai pendapatannya naik berlipat. Dulu, ia hanya bisa meraup keuntungan 20 ribu rupiah per hari, kini bisa 2-3 kali. "Kalau dulu cuma remaja pacaran, sekarang bisa keluarga yang rekreasi untuk melihat Suramadu", ujar dia.
Alvin, 27 tahun, pemilik toko kelontong kecil di pinggir jalan menuju Suramadu juga merasakan hal sama. Alvin sampai berani menjual gas Elpiji melon (tabung tiga kilogram) dan beberapa camilan. Padahal sebelumnya ia hanya menjajakan rokok dan vaucer isi ulang ponsel.
Semburat titik cerah juga mampir dalam benak Ita, 18 tahun, lulusan SMU. Lajang muda ini berencana melamar kerja sebagai petugas loket tol Suramadu. "Lumayan untuk pekerjaan pertama saya," papar dia polos.
Sisi Madura
Antusiasme juga terasa kuat di Bangkalan, Madura, khususnya di kawasan Labang, bibir Bangkalan. Meski tidak sepadat di pesisir Suramadu di bagian Surabaya, keramaian yang berasal dari deretan warung makan, pasar, dan toko kelontong terpapar sepanjang radius dua kilometer dari pintu gerbang Suramadu.
Hasan, 65 tahun, penjual nasi campur mengaku senang dengan keberadaan Suramadu. Dagangan saya jadi laris, ujar dia. Hasan bahkan berencana menambah unit usahanya dengan membuka toko bahan bangunan. "Kan Suramadu mau dibuat pusat industri," ujar dia.
Sementara Toha, seorang pengangguran dari Desa Beringin, Kecamatan Tembalangan Sampang, Madura, berharap bisa kebagian denyut hidup perekonomian dari Suramadu. "Saya ingin bisa diterima kerja di pabrik itu," ujar laki-laki lulusan SD yang bahasa Indonesianya belum lancar.
Suramadu juga berimbas pada kenaikan harga jual tanah. Bila setahun lalu harga per meter tanah masih pada kisaran 300 ribu � 400 ribu rupiah, belakangan melonjak menjadi satu juta rupiah. Bahkan, sejak awal 2008, kata Hasan, banyak calo-calo tanah yang menjajaki soal pembelian tanah warga. "Katanya mau dibangun hotel dan sebagainya," ujar dia.
Dikun, 34 tahun, pemilik warung nasi di daerah itu juga sempat dikunjungi lima calo tanah dalam setahun terakhir. "Mereka cuma berani satu juta rupiah per meter," ujar laki-laki yang memunyai tanah seluas 60 meter persegi itu. Waktu Dikun pertama kali membeli tanah tersebut pada 1999, harga per meternya 300 ribu rupiah.
Sejauh ini, baik Hasan dan Dikun, sama-sama tidak mau terburu-buru melepas tanah. Mereka lebih memilih tetap menjalankan roda usaha sembari menunggu harga tanah cocok. "Sengaja saya tahan dulu sambil menjalankan usaha ini," ujar Dikun yang bisa meraup 500 ribu rupiah dari usaha warung nasinya. Mereka juga optimistis harga tanah masih dapat melambung tinggi. "Kalau ada yang nawar 2,5 juta rupiah per meter, baru saya lepas," tambah Hasan.
Akar Agama
Dari kacamata sosiolog Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, Suramadu ibarat saluran pembawa pergantian pranata sosial di Madura. "Akses mudah yang diberikan Suramadu membuka perubahan perilaku semakin lebar," ujar dia.
Selanjutnya, akses dan mobilitas penduduk itu menggiring ke paham dan aktivitas industrialisasi. Sedangkan orang-orang di industrialisasi memiliki prasyarat.
Oleh karena itu, akhirnya orang Madura, menurut Bagong, akan mengakomodasi syarat industrialisasi itu. "Bila selama ini orang Madura lebih dikenal sebagai nelayan atau pedagang, maka selanjutnya mereka harus dapat menjadi menjadi industrialis. Jadi shock culture bisa saja terjadi," tambah Koordinator Bidang Kemasyarakatan Dewan Pakar Provinsi Jawa Timur itu.
Sebab, Madura siap untuk industri padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja. "Sedangkan industri padat modal dan hi-tech, tidak akan banyak berpengaruh secara langsung dalam penyerapan SDM," tambah dia.
Suramadu memang dipersiapkan sebagai kawasan industri dan bisnis. Areal seluas 600 hektare yang terbelah di sisi Surabaya dan Madura saat ini dalam tahap pembebasan tanah. Ditargetkan pada 2010 kawasan bisnis dan industri itu sudah mulai tahap pembangunan.
Meski demikian, arus mobilitas dan industrialisasi itu, menurut Bagong, tidak akan melunturkan nilai religius masyarakat Madura yang dikhawatirkan banyak pihak. "Madura tidak seperti Batam yang masyarakat aslinya tidak punya akar agama yang kuat. Warga Madura sangat kuat ikatannya dengan para tokoh-tokoh agama setempat," tambah dia.
Salah satu contohnya, di Pulau Garam itu, tidak ada satu pun gedung bioskop ataupun truk-truk yang bagian baknya bergambar lukisan dan kalimat vulgar. Dengar saja kata Dikun, "Warga senang dengan keberadaan Suramadu, tapi kalau akan dibangun tempat hiburan atau hotel, kami menolak." (SB/L-4)
Sumber: Koran Jakarta, Rabu, 10 Juni 2009
Label: dokumentasi, madura, peradaban
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda