R. Katjasungkana: Dari Bahasa Hingga Politik

Dia mewakili Jong Indonesie dan menjadi pembantu II panitia Kongres Pemuda 1928.

SEBELUM meninggal pada 16 Agustus 1985, R. Katjasungkana berpesan agar dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Bintaro, Jakarta Selatan. Dia ingin dekat dengan makam sahabatnya, Wakil Presiden Mohamad Hatta. Setelah 26 tahun lebih, pihak keluarga memutuskan memindahkan makam itu ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan.

“Kalau di TPU Tanah Kusir, ada kekhawatiran soal keamanan makam nantinya digusur dan jadi mall,” kata Nursyahbani Katjasungkana, aktivis perempuan yang merupakan anak ketujuh R. Katjasungkana, kepada MHO.

Katjasungkana lahir di Pamekasan, Madura, pada 24 Oktober 1908. Dia anak dari pasangan R. Sosrodanukusumo dan Siti Rusuli Sosrodanukusumo, wedana di Sampang dan Bangkalan, merupakan lulusan terbaik Sekolah Pegawai Pangreh Praja (Mosvia) di Probolinggo, pendiri Sarikat Islam di Sampang, serta aktivis koperasi garam rakyat yang berjuang agar harga garam tak ditentukan sewenang-wenang oleh Belanda. Sosrodanukusumo juga anggota Java Instituut, lembaga kebudayaan Jawa yang didirikan pada Desember 1919. Beberapa karangannya seperti Johar Mutu Manikam dimaut dalam terbitan berkala Java Instituut, Djawa. Sementara ibunya berdarah Palembang-Jawa, putri tunggal dari Dr Mohammad Seman Kiemas, dokter lulusan pertama Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (Stovia) dan pendiri Muhammadiyah di Sampang.

Sebagai anak wedana, Katjasungkana hidup berkecukupan. Dia bisa membaca buku-buku yang disukainya, dari bahasa hingga filsafat. Menurut Nursyahbani, buku yang menjadi sumber inspirasi Katjasungkana adalah kumpulan surat-surat R.A. Kartini, Door Duistenis tot Licht dan roman Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker atau Multatuli.

Sesekali dia bermain biola. Dia juga mendapatkan pendidikan yang memadai. Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat atas (AMS) di Solo, dia menempuh pendidikan di Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia meski hanya sebagai mahasiswa pendengar (toehoorder).

Lalu Katjasungkana terjun ke dunia pergerakan. Dia pernah menjadi pemimpin redaksi Bintang Timur, koran berbahasa Belanda yang selalu menyerang dan mengkritik kebijakan pemerintah Belanda. Mingguan Bintang Timur didirikan oleh Parada Harahap pada 1924 di Batavia, kemudian berkembang menjadi harian dan merupakan koran modern pada masanya. “Dalam koran tersebut, selain menulis editorial, almarhum menulis puisi-puisi perjuangan,” ujar Nursyahbani.

Karena tulisan-tulisannya, Katjasungkana kerap dipanggil dan ditangkap pemerintah Belanda namun selalu dilepaskan kembali. “Menurut S.K. Trimurti yang merupakan teman seperjuangannya, almarhum dianggap mempunyai hak forum priviligiatum karena selalu lolos dari tuduhan-tuduhan pemerintah Belanda.”

Salah satu kiprahnya dalam perjuangan yang dikenang orang adalah saat Katjasungkana menjadi salah satu inisiator dan pembantu II dalam kepanitiaan Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Panitia tersebut terdiri dari sembilan orang yang diketuai Soegondo Djoyopuspito. Katjasungkana mewakili organisasi Jong Indonesie, organisasi yang dibentuk pada Februari 1927, yang kemudian dalam kongres pertamanya berubah nama jadi Pemuda Indonesia –sementara untuk perempuan dibentuk Putri Indonesia.

“Dia adalah salah seorang pendiri Jong Indonesie,” tegas Nursyahbani.

Soejitno Harjosoediro dalam Kronologi Pergerakan Kemerdekaan Indonesia, juga menyebut Katjasungkana seorang propagandis “Indonesia Bersatu/Indonesia Merdeka” yang mendapat tugas tertulis dari Sukarno untuk mengkampanyekan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), yang akan dibentuk pada Juli 1927. PNI adalah perubahan dari Algemeene Studieclub Bandung yang didirikan Sukarno, Anwari, Sartono, Iskaq Cokrohadisuryo, Cokrodisurjo, Sunario, Budiarto, dan Samsi. Setahun kemudian, PNI berubah nama menjadi Partai Nasional Indonesia, partai politik pertama yang dipimpin para intelektual yang berlatar belakang pendidikan tinggi. Karena dianggap membahayakan, pemerintah Belanda menangkap tokoh-tokoh PNI, termasuk Sukarno. Sartono, sebagai pemimpin PNI yang baru, lalu membubarkan partai dan membentuk Partindo.

Aktivitas politik Katjasungkana kemudian beralih ke Partai Indonesia Raya (Parindra), yang dibentuk dan diketuai Dr Sutomo pada 1935. Kemunculan Parindra dianggap sebagai tanda berakhirnya fase kedaerahan dalam pergerakan. “Dia diminta memberikan kursus politik di Parindra,” kata Nursyahbani.

Parindra mengorganisasi kaum tani, buruh perkapalan, hingga nelayan dengan mendirikan organisasi-organisasi sampingan. Katjasungkana menjadi pemimpin Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin) yang menjadi wadah serikat-serikat pekerja perkapalan. “Dia menulis banyak artikel tentang pelayaran Indonesia dan membela nasib kaum nelayan,” kata Nursyahbani.

Katjasungkana peduli arti penting pendidikan. Dia sempat mengajar di sekolah Taman Siswa, Yogyakarta. Karena itu, dia cukup kenal dengan Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa. Kepeduliannya pada pendidikan dia wujudkan dengan mendirikan Yayasan Pertiwi Poetera di Singaraja, Bali. Katjasungkana juga peduli bahasa. Dia menjadi sekretaris panitia Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1938 yang menghasilkan Kamus Kecil Istilah Bahasa Indonesia, terbit pada 1942. Selama masa pendudukan Jepang, dia bekerja sebagai penterjemah.

Setelah kemerdekaan, Katjasungkana bekerja di British American Tobacco (BAT), tapi kemudian keluar karena memprotes perlakuan diskriminatif terhadap orang pribumi. Setelah itu dia pulang ke Pamekasan untuk bertani tembakau. Pada 1956, dia dipanggil Sukarno untuk menjadi anggota Dewan Nasional dan setelah Dekrit Presiden 1959 diangkat menjadi anggota MPRS perwakilan dari Jawa Timur sampai 1966 saat dia ditolak masuk dalam Sidang Istimewa karena dianggap terlalu dekat dengan Sukarno.

Katjasungkana menghabiskan masa tua bersama istri tercinta di Parelegi, Purwodadi, Pasuruan dengan menyusun kamus An Indonesian-English Dictionary as derivation from Sanskrit, tapi tak selesai.

Dua tahun setelah meninggal, pada 1987, pemerintah menganugerahi Bintang Jasa Mahaputera Utama dan Perintis Kemerdekaan RI.

Pada 1987 pula putra-putrinya menghidupkan kembali Yayasan Pertiwi Poetera, yang kini berubah nama jadi Yayasan Putra Pertiwi dengan Ananda Kusuma sebagai ketua dan Nursyahbani sebagai sekretarias. Ananda Kusuma adalah anak ketiga dari empat anak Katjasungkana dengan istri pertamanya, R.A. Djoeanah (meninggal tahun 1941). Sementara Nursyahbani adalah anak ketujuh dari sebelas anak Katjasungkana dengan istri keduanya, Siti Maimunah binti Arsyad.

“Saya dan adik-adik serta kakak saya bermaksud menghidupkan terus yayasan ini dengan membangun perpustakaan publik di rumah peninggalan beliau di Parelegi, Purwodadi,” kata Nursyahbani. “Insyaallah tahun depan sudah bisa memulai.”[HENDRI F. ISNAENI]

Sumber: Taman Bacaan Bastari, Jumat, 27 Januari 2012

Label: , ,