Hindu dan Aswaja Madura

Sebagai agama nusantara, Hindu merupakan agama yang dianut etnis Madura sebelum datangnya Islam. Terdapat keunikan alam pikir Madura dalam melihat Hindu sebagai realitas masa lalu. Dalam alam pikir Madura dikenal konsep Bhuppa’, Babbhu’, Guru, Rato (ayah, ibu, guru, raja). Konsep diatas sebenarnya merupakan jalinan betapa elastis dan tolerannya muslim Madura terhadap tradisi leluhur.

Oleh: Syarif Hidayat Santoso *)

Konsep Bhuppa’ Bhabhu’, Guru, Rato sejatinya Islamisasi konsep Triguru dalam Hindu Majapahit. Konsep Triguru sendiri berporoskan pada tiga sokoguru yaitu Guru. Rupaka (orang tua), Guru Pangajyan (guru agama), guru Wisesa (pemerintah). Hal ini menunjukkan bahwa prinsip Al Muhafadzatu Alal qadimis Shaleh Wa Akhdzu Bi Al Jadid al Ashlah telah diterapkan oleh muslim Madura sejak lama. Muslim Madura tak perlu membuang konsep Triguru namun melanjutkannya dan mengisinya dengan alam batiniah Islam. Ini menunjukkan bahwa orang Madura telah berpaham aswaja sejak lama. Sebuah prinsip yang membumi dan menyatu pada alam pikir orang Madura.

Di Madura, prinsip harmoni terhadap Hindu sebagai yang lain juga tercermin dalam Babad Songennep. Dalam babad itu diceritakan peran Joko Tole yang membangun pintu gerbang ibukota Majapahit. Meskipun, Joko Tole seorang muslim, namun dia menunjukkan loyalitasnya kepada negara tempat dia bernaung. Loyalitas Joko Tole juga ditunjukkan kepada Prabu Brawijaya, raja Majapahit saat itu. Joko Tole aktif membantu sang Prabu menumpas pemberontakan Menak Jayengpati dari Blambangan. Menurut Imam Farisi (1993), prabu Brawijaya dimaksud adalah Dyah Suraprabhawa. Menurut Imam Farisi, Dyah Suraprabhawa adalah raja terakhir Majapahit, namun ini bertentangan dengan daftar raja-raja Majapahit yang disusun DR.Purwadi (2010) yang menyebut raja terakhir Majapahit adalah Prabu Kertabhumi.

Jelas, bahwa Joko Tole menghormati Majapahit yang Hindu dengan sangat apik. Hinduisme tak dimusuhi namun diapresiasi sebagai alam pikir yang diharmonisasi. Islam Madura jelas adalah Islam aswaja yang tak menolak warisan leluhur mentah-mentah. Dalam alam pikir Madura Majapahit diakui sebagai realitas yang tak terbantahkan. berbeda dengan sebagian kaum modernis Islam akhir-akhir ini yang mengajukan tesis minornya Majapahit.

Sebagian kaum modernis Islam Indonesia membantah eksistensi Hindu dalam sejarah nasional. Mereka mengajukan konsep tentang Islamisasi sejarah. Islamisasi sejarah mutlak dilakukan karena selama ini sejarah Indonesia dilingkupi warna kolonialisme dan bias kepentingan minoritas. Konsep Islamisasi sejarah ini menarik karena memang dibutuhkan untuk menyingkap sejarah sesungguhnya tentang peranan Islam Indonesia.

Kaum modernis menuding minor peranan Majapahit dengan menggunakan logika orientalis Belanda C.C Berg. Dalam sejumlah karyanya C.C Berg memang menyebut bahwa Majapahit tak seluas yang ditulis Prapanca. Berg juga terkesan merendahkan kapasitas ilmu geografi dan ilmu sejarah Prapanca ketika menulis Negarakertagama. Dalam pandangan Berg, daerah-daerah taklukan Majapahit yang disebut dalam Negarakertagama seperti Tanjungpura, Madura, Melayu dan Bali adalah konsep Catur Prakerti dalam ajaran Budha, bukan nama wilayah (William H. Frederick & Soeri Soeroto:1984). Berg menjelaskan bahwa nama-nama wilayah taklukan Majapahit merupakan Prakerti kesempurnaan dari kesaktian seorang raja yang dianggap Dewa Budha. Menurut Berg pula, keempat wilayah itu hanyalah cita-cita saja dan bukan realitas geopolitik Majapahit.

Pendapat Berg ini merupakan amunisi bagi sebagian modernis Islam untuk meminorkan peran politik kaum Hindu-Budha di Indonesia. Anehnya, modernis Islam tak mau memasuki ranah perdebatan tentang eksistensi Majapahit dan Empu Prapanca dalam diskursus sejarah lebih jauh. Padahal, karya-karya Berg sendiri selain dibantah oleh ilmuwan Indonesia seperti Soeri Soeroto juga dibantah oleh sejarawan Belanda seperti F.DK Bosch, H.J De Graaf dan J.L Moens. Para Orientalis Belanda tersebut menyebut dengan tegas bahwa Madura dan wilayah lain yang disebut Prapanca dalam Negarakertagama betul-betul wilayah geografis bukan ajaran agama. Benar, kata Fazlurrahman bahwa kaum modernis Islam selalu bersikap dan berpikir ganda.

*) Penulis adalah Pengurus LTN MWC NU Kota Sumenep.

Dimuat di Duta Masyarakat 13 Maret 2013

Label: ,