Ernomo Sudah Lempengkan Jalan bagi Bupati Baru
CALON-CALON pemimpin tak akan muncul ke permukaan tanpa diberi kesempatan. Dari dasar pemikiran itulah, Drs Ernomo (56), Bupati Trenggalek periode 1995-2000 yang masa jabatannya berakhir, Senin (2/10/200) ini, sejak dini menyatakan tidak bersedia dicalonkan atau mencalonkan kembali, untuk kali kedua jabatannya pada periode 2000-2005.
"Meski, saya masih punya kesempatan dan hak. Tapi, saya tidak ingin masyarakat Trenggalek terkungkung pada pola sempit, emosional yang tidak mendorong kemajuan. Saya tak ingin masyarakat terjebak dalam kultus individu dan paternalistik. Tapi saya ingin, masyarakat sadar atas semakin relevannya pepatah lama: patah tumbuh hilang berganti, berlaku dalam estafet kepemimpinan bangsa," ujar pria asal Madura itu.
Sebab, bagi dia, jika harus bersedia dicalonkan atau mencalonkan diri kembali, sama halnya dengan kehilangan waktu. Padahal, waktu itu masih sangat ia butuhkan untuk merenungkan dan meluruskan kembali arah perjalanan hidupnya selama ini, sebelum telanjur dipanggil Tuhan. Sementara tugas-tugas yang lebih mulia lainnya, belum sempat ia sempurnakan.
Dari sisa waktu itu pulalah, ia ingin pindah dari medan perjuangan yang satu ke medan perjuangan lainnya yang lebih dekat dengan anak-anaknya. Memperdalam bidang manajemen untuk membantu para perajin dan petani, pemerintah, lembaga sosial, serta menulis di media massa. Dan tidak ketinggalan, menimba ilmu di bidang kewirausahaan, bahasa, dan agama.
"Saya ingin lebih dekat dengan anak-anak saya di Surabaya. Sebab, mereka sudah lebih dari lima tahun kehilangan ibunya karena lebih dulu dipanggil Allah. Dan, menyusul 'setengah' kehilangan saya, karena menjadi bupati di Trenggalek. Padahal saat ini banyak putra-putri pejabat terjerumus ke hal-hal negatif hanya karena kurangnya waktu dan perhatian mereka," katanya.
Ernomo yang meniti karier selama 35 tahun, dari PNS rendahan sampai bupati -- yang menurut pengakuannya tidak pernah diduganya itu -- menekankan kembali bahwa semua alasan tersebut disusunnya hanya untuk satu tujuan. Yakni, tidak lain mewujudkan keinginannya, memberi kesempatan kepada kader-kader baru yang memiliki kemampuan dan iktikad baik untuk memimpin Trenggalek.
Maka, mulai hari ini, kader itu pun muncul. Ir Mulyadi (45), putra semata wayang pasangan pedagang, Murad Wiryono (almarhum) dan Kasirah (80), warga Desa Nglongsor, Kec. Tugu, Trenggalek, pagi tadi dilantik Gubernur Jatim, sebagai Bupati Trenggalek, didampingi oleh tokoh muda, Mahsun Ismail SAg (34), sebagai Wakil Bupati.
Menurut Ernomo, tanggung jawab lima tahun ke depan sebagai nakhoda biduk Trenggalek, bukanlah ringan. Bupati harus mampu menerjemahkan sederet kalimat, "pemberdayaan masyarakat menuju ekonomi kerakyatan" yang masih tampak klise itu, menjadi suatu bentuk konkret, kasat mata.
"Program itulah yang mendesak. Maka, terjemahkan saja secara ringan. Yakni, kalau dulu prioritas pembangunan pada skala besar, kini perlu prioritas itu diubah ke skala kecil. Sebab, proyek skala besar hanya melibatkan beberapa orang saja. Beda dengan skala kecil, yang justru banyak melibatkan masyarakat kecil pula," ulas Ernomo.
Untuk merencanakan proyek-proyek skala kecil, lanjutnya, memang dibutuhkan kesabaran yang tinggi dan ketelatenan. Pemerintah Kabupaten harus lebih banyak mendengarkan aspirasi masyarakat, agar proyek itu tidak salah letak serta salah sasaran.
Politik Balas Budi
Prioritas lain yang tak kalah pentingnya, pesan Ernomo, adalah kekayaan tambang yang dimiliki bumi Trenggalek. Karena itulah, dua bulan sebelum masa jabatannya habis, ia sempatkan membentuk Dinas Pertambangan Kabupaten.
Tidak semua bahan tambang, memang, bisa dieksploatasi. Dalam hal inilah Dinas Pertambangan harus pandai-pandai memilih, mana yang bisa mendatangkan maslakhah bagi masyarakat dan mana yang mudharat, sehingga menimbulkan benturan dengan kepentingan lain.
Akibat masih terbatasnya SDM dan relatif rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat Trenggalek, untuk mengelola sektor pertambangan tidak ada jeleknya menyilakan investor masuk. Namun pemerintah perlu menyadarkan mereka (investor) agar bersedia membawa keluar bahan tambang Trenggalek, dalam bentuk setengah jadi.
"Investor biasanya mau ambil gampangnya saja. Bahan tambang dieksploitasi, langsung dibawa keluar, diolah di daerah lain. Mereka inilah, investor yang tidak memiliki politik balas budi," katanya.
Konflik Melelahkan
Untuk membantu lempengnya jalan Trenggalek ke otonomi daerah, Ernomo tampaknya tak ingin banyak meninggalkan PR (pekerjaan rumah) bagi penggantinya. Sebaliknya, selain masalah pertambangan, ia pada 15 Agustus 2000 lalu juga masih sempat menghadap Menteri Muda Kehutanan, Dr Ir H Nur Mahmudi Ismail MSc, di Jakarta.
Tujuannya, minta agar Trenggalek bisa memperoleh manfaat yang maksimal dari keberadaan hutan, yang arealnya seluas 56.128,5 hektare atau hampir 50% dari seluruh luas daerah Trenggalek yang 126.140 hektare. Sebab, dari hutan seluas itu, kontribusi dari iuran hasil hutan (IHH) kepada APBD 1999-2000, hanya tercatat Rp 72,5 juta. Bahkan, kemudian anjlok sampai 60% pada anggran 2000, yakni tinggal Rp 33.200.000.
Padahal, armada Perhutani yang hilir mudik mengangkut hasil hutan, baik berupa kayu maupun getah pinus, memiliki peran besar pada rusaknya jalan aspal yang dilaluinya. Sedang pabrik gondorukem yang berdiri di kawasan kota, andil pula sebagai penebar polusi akibat limbah industri yang belum diolah secara optimal.
Dengan demikian, akibat sangat kecilnya kontribusi Perum Perhutani lewat IHH kepada APBD, sangat tidak sebanding dengan biaya yang harus dianggarkan untuk melakukan rehabilitasi. Pemkab Trenggalek pun mau tidak mau, secara terus-menerus, nombok.
Di luar itu, Ernomo sangat berharap, di masa mendatang Perhutani bisa lebih 'ramah' kepada kepada warga sekitar hutan. Tidaklah akan merugi, jika tanah-tanah yang tidak terlalu bernilai bagi Perhutani, ngalah saja kepada rakyat.
"Perhutani di Trenggalek memiliki lebih 50% areal dari seluruh luas daerah. Dikurangi sedikit untuk rakyat, mestinya tidak apa-apa. Sebaliknya, jika rakyat kehilangan satu atau dua meter tanah saja, sudah sangar besar artinya bagi mereka," ujarnya.
Ernomo menambahkan, konflik rakyat kecil sekitar hutan dengan pihak Perhutani, sudah sangat melelahkan. Untuk itu, sepeninggalnya dari Trenggalek, ia ingin mendengar pihak Perhutani sudah mulai mau mengalah, merelakan sebagian kecil tanahnya dan konflik-konflik itu telah happy ending.
Begitulah sosok santun kacong Madura, Ernomo. Begitu hendak lengser dari jabatan politis yang kini sering menjadi rebutan orang, bukan menguras dana taktis yang dilakukan. Namun, justru keringat dan otaknya sendiri diperas, demi melempengkan jalan generasi penerusnya, menuju masyarakat Trenggalek agar semakin tidak lagi, peteng tur elek (gelap dan jelek). Tore, Cong...! (N. Daroini)
Sumber: Surabaya Post, 02/09/2000
Label: dokumentasi, ernomo, pemda, trenggalek
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda