Pernikahan Mokka’ Blabar Makin Ditinggal


SP/Achmad Hairuddin Salah satu pernikahan adat madura yang sudah tidak memakai tradisi mokka' blabar.


Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi pernikahan adat Madura Mokka’ Blabar atau membuka tirai, kini mulai ditinggalkan masyarakat Sampang. Padahal filosofi yang terkandung dalam tradisi yang cukup unik tersebut, memiliki makna sangat tinggi dan menjadi bagian dari khasanah kekayaan budaya bangsa yang seharusnya dilestarikan.

Oleh: Achmad Hairuddin

Proses pernikahan adat mokka’ blabar ditandai dengan alunan musik hadrah atau rebbana saat iring-iringan rombongan pengantin mempelai pria akan memasuki halaman rumah mempelai wanita. Namun rombongan itu tidak boleh langsung masuk kediaman mempelai wanita, karena harus mampu membuka tujuh blabar atau tirai yang berwarna merah menyala dengan dijaga oleh sesepuh dari pihak mempelai wanita sebagai tuan rumah.

Dalam setiap blabar yang harus dirobek tersebut, sesepuh mempelai pria diwajibkan menjawab tujuh pertanyaan dengan mengunakan tembang macopat atau pantun berisikan syair-syair Islam. Jika pertanyaan itu berhasil dijawab dengan benar, maka mempelai pria diizinkan untuk mempersunting wanita idamannya tersebut.

Namun sebaliknya apabila tidak mampu merobek blabar, maka prosesi pernikahan itu bisa digagalkan oleh pihak keluarga mempelai wanita, karena mokka blabar sudah menjadi persyaratan mutlak yang harus dipenuhi mempelai pria.

Menurut budayawan Madura Ahmad Fudoli, prosesi pernikahan mokka blabar merupakan tradisi kuno yang dilaksanakan secara turun temurun itu kini berangsur-angsur mulai luntur. Padahal prosesi pernikahan tersebut sarat dengan pesan-pesan moral tentang perjuangan dalam membangun rumah tangga tidaklah mudah, karena kedua belah pihak harus kuat dan mampu menghadapi segala cobaan dan tantangan selama mengarungi mahligai rumah tangga.

Lebih lanjut, mantan pegawai Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga (Disbudparpora) Sampang itu menjelaskan, akhir dalam tradisi tersebut setelah pengantin pria masuk dalam tirai ke tujuh, maka akan ditanya mengenai kapur dan sirih, yang berarti suci dan berani untuk membina rumah tangga.

"Memang sangat disayangkan tradisi pernikahan mokka blabar sudah jarang kita temui, akibat terkikis era modernisasi sehingga kekayaan budaya yang seharusnya dilestarikan itu menjadi punah," ungkap Achmad Fudoli, pensiunan PNS Pemkab Sampang itu.

Uniknya, dalam prosesi pernikahan tersebut menampilkan kesenian tembang macopat pada zaman dulu sangat akrab dengan kehidupan orang madura yang agamis. Karena berisikan syair yang indah tentang kisah-kisah bernuasa Islami, namun generasi penerus yang dapat melantunkan tembang macopat kini sudah tidak ada lagi. Faktor tersebut juga menjadi salah satu penyebab pudarnya tradisi mokka blabar, karena tidak ada lagi generasi muda yang mampu melantunkan tembang macopat.

"Tradisi pernikahan mokka’ Blabar memang terlalu ribet dan rumit, serta membutuhkan biaya besar. Sehingga sudah tidak sesuai dengan pola hidup masyarakt modern yang sudah terbiasa dengan kehidupan serba praktis dan instan. Namun jangan lantas akar budaya yang tidak dimiliki daerah lain di madura itu lantas dihilangkan begitu saja. Jadi siapa lagi yang harus melestarikan jika bukan kita sebagai generasi penerus," paparnya.

Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan, Disbudparpora Sampang, A Wadud, menyatakan, bahwa pihaknya selama ini sudah sering memperkenalkan tradisi mokka’ blabar di ajang tingkat Nasional. Misalnya, saat digelar pekan budaya dan perhelatan kesenian pesisir utara di Gresik dan Probolinggo.

"Sebenarnya masih ada masyarakat yang mengunakan tradisi tersebut dalam prosesi pernikahan, tetapi hanya diambil sebagian saja yang dinilai penting dan sakral. Namun tidak ada yang melaksanakan semua rangkaian dalam proses itu, karena dianggap sudah ketinggalan zaman dan memakan waktu terlalu lama dan biayanya mahal," pungkasnya.

Sumber: Surabaya Post, Senin, 18/02/2013

Label: ,

Pangkak, Tradisi Masyarakat Kangean


Kabupaten Sumenep terletak di ujung timur Pulau Madura, secara administrasi terdiri atas 25 kecamatan yang terbagi dalam 17 kecamatan daratan dan 8 kecamatan kepulauan, letak geografis yang demikian ini ternyata mampu memunculkan potensi-potensi seni dari kondisi sosial budaya yang beraneka ragam.

Ke arah timur +/- 99 mil laut dari kota Sumenep terdapat sebuah pulau yang berjarak yaitu Pulau Kangean. Pulau ini dapat ditempuh dengan menggunakan kapal 7 jam perjalanan. Pusat kegiatan administrasi laut atau perahu mesin pemerintahan di pulau ini adalah di Kecamatan Arjasa, dimana di tempat ini salah satu potensi budaya tumbuh, berkembang, memasyarakat, dan menarik sebagai suatu kekhasan seni budaya di Kabupaten Sumenep, yaitu Upacara Adat “Pangkak” yang terdapat di Desa Kalikatak.

Upacara adat ini berawal dari sebuah tradisi unik masyarakat Pulau Kangean. Yang biasanya mengadakan acara panen (menuai padi) bersama, dengan tujuan sebagai rasa syukur masyarakat dan pemupuk rasa kebersamaan.
Upacara ini dikemas dengan memadukan ritual keagamaan, kesenian, dan aktivitas masyarakat setempat dalam keseharian. Upacara Pangkak bukanlah upacara besar sebagai mana upacara-upacara ritual yang dilakukan masyarakat Sumenep pada umumnya. Namun upacara ini, lebih menonjolkan sifatnya yang sederhana, unik, kebersamaan, dan jauh berbeda dengan upacara yang kita kenal (misalnya NYADAR), upacara Pangkak sangat jauh dari hal-hal yang berbau mistis.

Karena sifatnya yang kedaerahan dan sangat sederhana, upacara Pangkak sendiri kurang mendapat perhatian dan sorotan dari masyarakat maupun dari pemerintah Sumenep. Tak ayal jika keluar sedikit dari kawasan Kangean, Pangkak menjadi sebuah nama yang asing bagi para pendengarnya. Meskipun demikian yang tak boleh dilupakan adalah bahwa Pangkak merupakan salah satu tradisi peninggalan yang dapat menunjukan suatu identitas social kehidupan dari masyarakat Pulau Kangean, sehingga tidak berlebihan kiranya jika bukan hanya masyarakat Pulau Kangean saja yang menjaga identitas tersebut, namun kita secara bersama-sama saling menyelamatkan upacara adat yang hampir punah ini.

Seperti halnya desa-desa lain, desa Angon-angon mempunyai beberapa adat istiadat yang tidak jauh beda dengan mereka, diantaranya adalah adapt pernikahan.

Seperti yang dikutip dari para sesepuh, soal peminangan seorang gadis sampai pada acara pernikahannya, maka pada mulanya orang tua para dua calon mempelai membuat suatu kesepakatan tanpa sepengetahuan dua calon mempelai tesebut karena sudah menjadi adapt ataupun tradisi sejak nenek moyang terdahulu. Konon katanya selalu dijodohkan pada famili-familinya sendiri dengan alas an agar ikatan kekeluargaan tidak terputus dan menjadi keluarga besar secara turum temurun.

Kemudian menurut kebiasaan para orang tua laki-laki, sehingga akan selalu melihat dan memperhatikan di setiap kalangan keluarga-keluarganya sendiri, barangkali disitu kebetulan ada gadisnya, barulah para orang tua bermusyawarah untuk meminangnya. Setelah ada kesepakatan maka orang tua laki-laki mendatangi rumah si gadis tersebut dengan membawa kopi gula, dengan maksud sementara menanyakan si gadis itu, walaupun sebenarnay sudah tahu bahwa si gadis itu kosong. Namun jawabannya sementara dari pihak orang tua si gadis menyampaikan terima kasih atas kunjungannya. Setelah bermufakat dengan para sesepuh barulah orang tua mengunjungi rumah pihak laki-laki dengan membawa kue-kue ala kadarnya sebagai pernyataan setuju.

Selanjutnya, datanglah pihak laki-laki untuk kedua kalinya dengan membawa Pisang dan Nangga Sari. Sementara art dari persembahan-persembahan tadi mengandung makna yang penting. Misalanya pisang ini ada dua macam yaitu pisang muda dan pisang yang sudah matang. Pisang muda dapat diartikan bahwa perkawinan masih lama waktunya. Sedangkan pisang yang sudah matang mengandung arti bahwa perkawinannya sudah tidak lama lagi waktunya. Kemudian makna dari Nangga Sari ialah mencari (Asare).


Karena peminangan tadi sudah disetujui, maka keesokan harinya datanglah si tunangan laki-laki ketempat si gadis dengan membawa sepikul kayu bakar sebagai persembahan dan sebagai suatu tanda bahwa si tunangan sudah bertandang, dengan maksud ngapel (Asanjhe).

Selanjutnya setelah pertunangan terus berlangsung maka tibalah waktunya pada musim semi, sebagai petanda bahwa sebentar lagi para petani turun kesawahnya masing-masing. Biasanya bagi bisan perempuan mengadakan selamatan mengundang bisan laki-laki dan tetangga terdekat sedangkan bisan laki-laki membawa beras sekaligus dengan rempah secukupnya. Sesuai itu keesokan harinya pergi ke leluhurnya untuk minta saat yang bagus, sesuai keyakinan diwaktu itu, barulah bisa turun ke sawahnya besama-sama dengan bisan untuk mengolah tanah sawah tersebut dan menanam bibit padi. Menjelang kemudian setelah bibit padi siapa di tananam, maka bisan perempuan mengundang lagi untuk bercorak tanam bersama-sama.

Setelah tanam padi terus bergabung hingga padi semakin tua, maka petani membangun gubuk-untuk tempat berteduh sambil menunggu saat panen padi tiba (Arangge’). Setelah padi mualai menguning maka para petani berbondong-bondong menempati gubuk tersebut di sawahnya masing-masing (Apondung) menyiapkan segala sesuatunya untuk saat panen padi nanti, dengan berbulan-bulan di sawahnya manjaga padinya yang sudah siap di panen.

Saat panen tiba maka para petani yang hasil taninya banyak dan memuaskan, mereka sambil lalu mengadakan kesenian Pangkak. Pangkak di lakukan oleh para lelaki sedangkan perempuaannya menonton sambil memanen padi.

Pangkak adalah musik yang terbentuk suara mulut yang disertai dengan tari-tarian. Di tengah–tengah permainan seni Pangkak para tetangga sekitarpun semakin senang dan makin banyak yang berdatangan sehingga para pemanen para pemanen padi semakin senang dan semakin banyak yang berdatangan sehingga para pemanen padi semakin semangat menyelesaikan perkerjaannya .
Pangkak waktu dulu telah membudaya hingga hingga cara berpakaiyanpun sangat rapi diantaranya: sarung merah, baju putih dan memakai blangkon (SENGEL).

Setelah panen selesai, maka padi tersebut diangkut dengan kuda yang beriring – iringan. Menurut kebiasaan diwaktu dulu, setelah padi sudah di tempatlama kemudciaan dari pihak perempuan berbincang – bincang merencanakan hari dan tanggal perkawinan. Setelah hari tanggal dan waktu acara sudah di tentukan maka bisan perempuan memberitahukan kepada bisan laki – laki tentang keputusan waktu pernikahan. Kurang lebih sekitar 1 bulan menjelang hari pernikahan biasanya dari pihak laki – laki mengadakan acara yang di namakan PEPENTA'AN

Pepenta'an dilakukan dengan mengondang sanak familinya sendiri dan tetannga terdekat yang dilakukan sore hari dengan berbondong – bondong sepanjang jalan yang berjulah sekitar 300 orang. Ada yang membawa kue seperti rangginang dan ada juga yang membawa peralatan seperti lamari, ranjang kasur dan lain–lain yang din iringi kesenian adat yaitu GENDENG DUMEK .

Keesokan harinya dari pihak perempuan mengadakan acara ke tempat pihak laki–laki yang di sebut BEBELESAN. Selanjutnya sampailah pada hari akat nikah yang di rayakan seperlunya. Kemudian berikuanya di adakan suatu acara yang di namakan PANGANTEN ATOLO, yaitu pengantin laki–laki mau memasuki rumah pengantin perempuan yang dilakukan malam hari yang diiringi dengan oleh para keluarga dengan cara yaitu sekitar 5 meter dari pintu masuk, maka pengantin laki-laki dan rombongannya jalan berjongkok sambil kedua tangannya menyalami kedua mertuanya. Sedangkan pengantin wanitanya menunggu di dalam kamar. Sorak para tamu dan undangan tak terhentikan ketika pengantin laki-laki memasuki kamar wanita.


Keesokan harinya dilanjutkan dengan hiburan KOKOCORAN yang diselenggarakan sore hari yaitu para keluarga daan kerabat menari mengelilingi kedua dua mempelai dengan gamelan dan kebiasaan yang lain untuk meramaikan acara .
Pada malam kedua, kegiatan pentunjukan terus berlangsung seperti diadakan acara kesenian seperti MACOPAT (melle’an) dan kedua mempelai tidak diperbolehkan untuk tidur selama acara berlangsung satu malam suntuk untuk mendengarkan sura macopat yang merdu yang dinamakan KAPOTREN.

Adat-istiadat terus berlangsung sehingga beberapa bulan kemudian sampai mempelai hamil, setelah kandungangnya berusia 7 bulan maka diadakan syukuran yang biasanya sebut dengan selamatan 7 bulan, caranya ibu hamil didudukkan di atas kelapa sambil sang dukun dan para sesepuh menyerami air dengan cara bergantian kemudian kelapa tadi dibelah dua dan dilemparkan ke atas untuk menentukan apakah yang akan dilahirkannya nanti laki-laki atau perempuan. Setelah ruwat dilakukan biasanya ada sedikit perubahan pada ibu hamil tersebut seperti ngidam.

Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi dan biasanya para kerabat dan tetangga menjenguknya. Dan pada saat bayi berusia 40 hari diadakan acara selamatan yang biasanya disebut AQIQAH sekaligus pemberian nama.

Peristiwa Pangkak

Perlu diketahui terlebih dahulu, Upacara Adat Pangkak memiliki artian upacara pemotongan padi atau pemangkasan padi saat tiba masa panen. Artian ini diperoleh dari kata Pangkak yang dapat diartikan memotong atau memangkas dalam bahasa Madura.

Dapat diuraikan aktifitas sebelum panen berjalan seperti biasa, mulai dari penanaman bibit, proses penyiraman, pemberian pupuk, setelah mencapaimasa panen barulah aktifitas perayaan dipersiapkan. Dalam hal ini pemilik sawah bersiap-siap untuk merayakan Upacara Adat Pangkak. Persiapannya meliputi:
  1. Mempersiapkan surat undangan yang akan disebarkan dan memberikan pengumuman kepada para tamu yang akan diundang. Semakin banyak tamu yang menghadiri acara tersebut semakin bangga pula sang pemilik sawah.
  2. Mempersiapkan sesajen dan perlengkapan yang diperlukan.
  3. Menunjuk seorang tetua adat untuk memimpin acara tersebut.


Setelah segala sesuatu yang diperlukan telah terasa siap, maka acara tersebut dapat dilaksanakan. Acara ini dilaksanakan pada malam bulan purnama dimana para undangan telah berada dan berkumpul di tengah sawah dengan mengenakan pakaian bagus berwarna norak. Selain itu sang pria bertugas mengangkut padi dan kaum wanita bertugas menuai padi, kemudian acara dimulai dengan pembacaan doa/parikan/mantra oleh pawang pangkak desa setempat. Adapun mantra tersebut ialah sebagai berikut: Ambololo hak-hak, ambololo harra akadi omba’ gulina padi masa arangga’ terbhi’ padi togur reng tani lebur eoladi e masa reng tani arangga’ padi Ambololo hak-hak, ambololo harra gumbhira kejung sambi atandhang ka’dissa oreng lake’ nabbu gendang tal-ontalan palotan sambi atandhang tanda nyare judu ate lodang Ambololo hak-hak, ambololo harra terjemahan bebasnya: Ambololo hak-hak,ambololo harra Andai ombak ayunan padi Masa panen dekat menanti Pondokan petani indah dilihat Dimasa petani memotong padi Ambololo hak-hak, ambololo harra Riang lagu sambil menari Disana lelaki menabuh gendang Saling melempar ketan silih berganti Tanda jodoh dicari Ambololo hak-hak, ambololo harra Setelah pawang pangkak membacakan mantranya, kemudian acara selanjutnya diisi dengan tari-tarian yang diiringi berbagai jenis musik pengiring. Adapun tari-tarian yang dibawakan adalah
  1. Tari Ngagga Manok (Tari Halau Burung): Tari yang dilakukan dipinggir sawah dimana gerakannya menyerupai menghalau burung agar tidak mendekay kearah padi yang sedang tumbuh.
  2. Tari Ronjhangan (Tari Menumbuk Padi): Tarian yang dilakukan bersamaan dengan saat para wanita menumbuk padi secara bersamaan dan berselingan.
Selain itu untuk memperindah tarian tersebut juga diselingi beberapa musik pengiring yang berupa:
  1. Saronen: Musik tradisi rakyat yaitu Kennong Tello’
  2. Ronjangan: Alat penumbuk padi yang terbuat dari batangan kayu panjang yang diberi lubang sepanjang batang kayu.

dirangkum dari:
  • http://apiew.blogspot.com/
  • http://webcache.googleusercontent.com/
Tulisan dan foto ini berdasarkan gambaran peristiwa sementara, kepada rekan di Pulau Kangean perlu disajikan tradisi Pangkak secara spesifik. Terima kasih.

Terkait:


Sumber: Pesat on 12 Maret 2011

Label: , , , ,

Islam in Madura and tradition to use violence

Islam in Indonesia is deeply rooted in local communities and it is therefore impossible to find a common interpretation of the religion in this country of diverse ethnic groups. There are many Muslim communities, each with its own character. The different characteristics of each community mostly stem from different methods being used to interpret religious texts and are also closely linked with real socio-cultural situations.

Take the Madurese, for example.

Madura is part of East Java province and people outside Madura Island often assume that culturally the Madurese are the same as the Javanese. However, if we take a closer look into Madurese communities, there are clear socio-cultural differences that distinguish the religious character of the Javanese from the Madurese.

By Abdur Rozaki, Contributor, Madura Island, East Java

In Madura, there are common beliefs that reflect the social character and way of life of the people regarding certain issues perceived to be sacred and that command full respect. Among those issues are Islam, women and self-esteem and the three are closely intertwined. A disregard of any of the three will bring forth violent reprisal, popularly known as carok, which is the Madurese problem solving mechanism.

According to a study conducted by Wiyata (2002), sexual advances or harassment of other people's wives topped the list of conflicts between carok in Madura. Although religion values human life and advocates amicable solutions to conflicts, for the Madurese there is only a solution to a dispute involving a man's wife: kill the perpetrator. Moreover, Muslim clerics or kyai seem to give social approval of such a violent action. No case involving a dispute over women has ever been settled peacefully, despite the involvement of the kyai as a mediator.

There were even reports of a kyai resorting to carok when his wife was harassed.

Carok has become the common way to settle problems in Madura, especially with regard to a threat to human dignity and self-esteem, as it satisfies the Madurese' craving for justice, as compared to a court settlement. Madurese people have no trust in law enforcers. For the Madurese, to bring a case to a legal institution means to end up with greater losses. The case may not be settled, while the individual must also dig deep into his/her own pocket to cover the legal fees. Besides, it is a common belief that justice here belongs to the rich, not to the poor.

Madura's religious institutions are powerless to end this violent practice. The Kyai, too, in whose hands lies the power to interpret religion and promote nonviolent acts, seem to be powerless to end the practice of carok. They have been trapped into providing justification and social approval for this cultural phenomenon.

In most cases, carok has led to a vicious retaliatory cycle. It also form a vicious cycle of violence which is unbreakable as the kyai and religious institutions in Madura are unable to start a new tradition of conflict-resolution. Ironically, some kyai play a significant, albeit indirect, role in preserving the carok culture by practicing magic and selling religious symbols like amulets, spells, and offering other 'religious services'.

Why does violence as reflected in the carok tradition flourish in Madura?

There are several explanations to the question. First, the land is barren with limited water resources and yields limited agricultural produce. Poverty is rampant and discontent has made the people highly temperamental and emotional. Poverty has turned the eyes of the Madurese to immaterial things, including the value of dignity and self-esteem. Poverty has not made the people lose their social dignity. Hence, life is at stake when it comes to preserving their self-esteem, considered to be the last ""treasure"" owned by an individual. Ango'an pote tolang e tembeng pote mata"", literally translates as: ""It is better to have white bones than white eyes"", a local proverb meaning ... Life simply loses its meaning when a man or a woman is humiliated and loses their self-esteem.

Second, there is the blater tradition. In Madura, there is a community known as blater, or thugs that plays a prominent role in their community. As a blater, an individual must have courage, wit, and skill in handling all means of defense, like martial arts, weapons and debus (magic). Blater are very fond of cockfighting. In addition, these local thugs also belong to a place called remoh, where they get together to feast to enjoy music and alcoholic drinks. Blater each take turns to hold such meetings and contribute money to the host.

A blater will enjoy great influence and command respect from the people if he wins in a carok duel. The influence of blater is strong in Madura as most village heads or klebun come from the blater community or are at least a former blater.

Third, weakening governmental institutions. The impotence of the already corrupt government institutions has strengthened blater's presence in Madurese society and made them more powerful than government security forces.

Among these three social factors, Madurese Muslims seem to face a complicated social dilemma. On one hand, they are willing to create the basis for peaceful and tolerant values, but are faced with social-cultural conditions that provide a hotbed for violent traditions. In this context, Muslim Madurese are still dominated by local character rather than by Islamic teachings which are basically humanistic.

Hence, the best way to break the vicious cycle of violence is through: 1. Promoting a more pluralistic, tolerant, and humanist face of Islam through discussion because Islam that merely emphasizes symbols and texts promotes a violent expression of Islam; 2. Building a religious orientation which is deeply rooted in society by strengthening civil society to counter the structural and cultural domination that has tainted the religious elite, i.e., the kyai; 3. Tracing back the socio-cultural roots of the Madurese society to find a conflict resolution model that capitalizes on the people's social behavior and non-violent facets like humility, rampa'naong, baringen korong (life in the shadow of peace).

The writer is a post-graduate student of the school of sociology of Gadjah Mada University in Yogyakarta. He is also writing a thesis on the Power relationship between kyai and blater in Madura.

Sumber: The Jakarta Post, Fri, 02/07/2003

Label: , , , , , , , ,