Madura Down Under

Toron

Orang Madura punya istilah onggha (arti harfiahnya naik) untuk menyebut perjalanan mereka ke Surabaya atau kota-kota lainnya di Jawa Timur.

Sebaliknya, mereka menyebut toron (turun) ketika mereka kembali atau mudik ke daerah asalnya di Madura.

Ini semacam keminderan budaya. Orang Madura merasa secara budaya (dan juga sosial ekonomi) berada di bawah Surabaya atau Jawa pada umumnya. Karena itu ketika mereka menuju ke Surabaya mereka menyebut dirinya sedang melakukan perjalanan naik. Sebaliknya kalau mereka pulang kampung mereka melakukan perjalanan 'turun'.

Secara tradisional orang Madura melakukan emigrasi ke daerah-daerah lain -β€” terbanyak ke Surabaya -β€” tujuannya adalah untuk mobilitas sosial ke atas.

Upaya 'naik kasta' itu dilakukan melalui pendidikan maupun perdagangan formal atau informal. Ada juga yang kemudian terlibat dalam dunia kriminal mulai dari petit criminal sampai yang kelas organized crime.

Sampai sekarang terminologi onggha dan toron tetap dipakai secara umum dan sudah menjadi kosa kata pergaulan luas. Orang Madura tidak malu menyebut toron ketika pulang kampung dan onggah ketika balik ke Surabaya.

Kalau Anda mengamati peta, terlihat bahwa letak geografis Madura tidak berada di bawah Surabaya. Malah letaknya bisa disebut sejajar dengan Surabaya. Tetapi, karena secara budaya Madura tidak sejajar dengan Surabaya maka mereka merasa berada di bawah Surabaya.

Beda, misalnya, dengan orang Australia yang dengan sangat bangga menyebut negara mereka sebagai Down Under.

Kalau kita lihat peta, Australia memang berada di wilayah paling bawah dunia. Tetapi mereka punya sejarah yang unik dan karakter yang unik pula. Mereka adalah orang Barat yang ada di Asia dan tetap hidup dengan budaya Barat sampai sekarang.

Australia punya problem integrasi budaya dengan lingkungannya yang Asia. Mereka adalah imigran dari Eropa, terutama Inggris. Secara tradisional mereka lebih dekat dengan Inggris dan Amerika dibanding dengan Asia.

Beda dengan orang Madura yang punya problem minder budaya, orang Australia terserang penyakit arogansi budaya, merasa lebih tinggi dibanding tetangga-tetangganya.

Ini menimbulkan kecemburuan sosial, budaya, dan juga politik. Australia bertetangga langsung dengan Indonesia, tetapi hubungan antar tetangga ini lebih sering diwarnai oleh berbagai macam kecurigaan karena perbedaan kultur yang mencolok.

Menyambungkan Australia-Indonesia secara fisik (misalnya dengan membangun jembatan Ausindo) tentu mustahil. Yang diperlukan adalah jembatan budaya untuk mempersatukan perbedaan-perbedaan itu.

Sebaliknya, Madura membutuhkan jembatan fisik untuk mengubungkan budayanya dengan Surabaya supaya lebih sejajar.

Ketika Madura dan Surabaya secara fisik disambungkan oleh jembatan Suramadu, budayawan Zawawi Imron menyebutnya sebagai jembatan budaya.

Suramadu akan membawa gelombang industrialisasi dan modernisasi ke Madura. Dengan penduduk sekitar empat juta orang, Madura akan menjadi pasar yang menggiurkan bagi produk apa pun. Pola hidup tradisional sebentar lagi akan digeser oleh pola modern yang bertumpu kepada konsumerisme.

Madura masih identik dengan kantong-kantong kemiskinan. Modal yang dibiarkan mengalir bebas mungkin akan membawa pertumbuhan. Tetapi pemerataan kemakmuran belum tentu terjadi, malah bisa jadi kesenjangan ekonomi makin menganga.

Sampai sekarang strategi pemberantasan kemiskinan di Indonesia masih terlihat seperti sedekah, membagi-bagi uang kecil kepada fakir miskin. BLT adalah contohnya.

Selain pintas dan hanya menyentuh sedikit dari ujung gunung es kemiskinan, BLT malah dikritik telah melanggengkan budaya kemiskinan karena membiasakan si miskin menjadi pengemis formal.

India dan Bangladesh -- dua negara yang punya kantong kemiskinan besar -- telah sukses menerapkan sistem pemberantasan kemiskinan dengan cara revolusioner.

Bangladesh punya Prof Muhammad Yunus dengan 'Bank for the Poor' yang revolusioner. India menerapkan teori C.K Prahalad 'The Fortune at the Bottom of Pyramid' yang juga tidak kalah revolusioner.

Yunus menekankan pada pemberian kredit murah tanpa agunan kepada orang miskin. Prahalad menekankan pada penggarapan pasar orang miskin. Mereka dilibatkan langsung dalam kerja sama dengan pemerintah, perusahaan besar, dan LSM untuk mendesain produk, bisnis model, dan sistem pemasaran khusus untuk orang-orang miskin itu.

Kedua model itu terbukti sukses besar.

Saya tahu Pak De Karwo sudah membaca kedua buku dahsyat itu, dan dia punya banyak strategi untuk menghapus kemiskinan.

Kita tunggu, suatu saat nanti Madura akan bangga punya slogan Toron ka Madura yang di-inggriskan menjadi Madura Down Under untuk menyaingi Australia. (*)

Sumber: Surabaya Post, Sabtu, 13 Juni 2009

Label: , ,