Tellasan Ajji dan Otentisitas Islam

Semua agama memiliki hari-hari yang dirayakan, termasuk Idul Adha bagi komunitas muslim Madura. Selebrasi religius yang biasa disebut Tellasan Ajji ini memiliki segi-segi yang menarik untuk dikaji terutama dalam relasinya dengan periskop kultural yang meliputinya. Minimal terdapat dua hal menarik yang dapat disimak dari perayaan Idul Adha di Madura. Pertama, Idul Adha bagi sebagian komunitas Madura merupakan hari raya besar atau biasa disebut Tellasan Raja. Masyarakat pesisir utara Sumenep misalnya merayakannya lebih besar dari perayaan yang dilakukan pada Idul Fitri. Kedua, eksisnya tradisi slametan khas Madura baik slametan periodik seperti ter-ater maupun slametan insidental seperti slametan Haji.

Oleh Syarif Hidayat Santoso

Penisbahan Idul Adha sebagai hari raya besar merupakan sebuah jawaban terhadap tudingan bahwa Islam Indonesia adalah Islam periferal yang non otentik. Selama ini terdapat teori, bahwa Islam Indonesia yang dicerminkan oleh popular religion (agama rakyat) dari setiap etnisnya merupakan entitas yang jauh dari nilai kesahihan akibat intervensi sinkretisme. Anehnya, pendapat ini merupakan pendapat sama dari dua kutub yang selama ini saling bermusuhan yaitu Islam puritan dan sekaligus juga lawan wacananya yaitu para orientalis. Bagi kaum puritan, Islam Indonesia adalah Islam yang heterodoks, non kanonik serta labil karena faktor sinkretis. Bid’ah dan superstitious (takhayul) sering ditudingkan komunitas ini terhadap normativitas muslim Indonesia termasuk Madura. Sementara para orientalis seperti Geertz,Van Leur,Winstead dan juga London juga memberikan tudingan yang sama. Bagi mereka, semakin jauh domisili Islam dari sentral-sentral otoritasnya di Timur Tengah, semakin memberi peluang subordinannya Islam otentik. Islam Indonesia menurut Van Leur adalah Islam yang tereduksi karena merupakan lapisan tipis kultur lokal. Islam tidak membawa progresifitas apapun bagi Indonesia baik secara sosial maupun kultural karena faktor simbiosisnya dengan tradisi Hindu Budha (Nikki Keddie:1987). Sementara bagi Geertz, Islam Indonesia adalah Islam yang tercerai dari pusat ortodoksi di Mekkah dan Kairo. Bagi Geertz, banyak tradisi Islam Indonesia yang unislamic, Hinduistik dan nominal (Azyumardi Azra:1999). Geertz menolak asumsi bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang otentik. Ia tak lebih dari kontinuum religiositas Hinduisme,Budhisme dan animisme.

Pendapat para orientalis ini sebenarnya telah dimentahkan oleh perayaan kultural Tellasan Raja di Madura. Identifikasi bahwa kultur Islam Madura adalah Islam yang tidak terputus dari pusat otoritasnya di tanah Arab dapat terlacak dari persamaan perspesi orang Arab dengan sebagian orang Madura bahwa Idul Adha lebih prestisius dari Idul Fitri. Bagi komunitas Arab Timur Tengah, Idul Adha menjadi agung karena dikaitkan dengan kedekatannya pada prosesi haji akbar, sementara Idul Fitri memiliki kedekatan dengan haji kecil (umrah) yang biasanya dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Dalam tradisi Arab, Idul Adha dikaitkan dengan musim sehingga lebih kentara keistimewaannya (Nurcholis Majid:1992). Di Madura, musim haji sendiri memberikan persepsi tersendiri terhadap makna Idul Adha. Bagi komunitas Madura, Idul Adha menjadi sentra pertemuan primordial keluarga-keluarga yang berlainan untuk nylameti keluarga yang naik haji.

Slametan haji sendiri merupakan manifestasi Islam kreatif Madura. Slametan maupun ter-ater sejatinya merupakan reformulasi apa yang disebut Richard Martin(1988) sebagai Islam esensialis atau apa yang disebut B.Malinoswki (1995) sebagai fungsionalisasi supernaturalisme. Islam esensial menurut Martin adalah Islam yang tidak dimandatkan secara tegas oleh Quran dan sunnah, namun secara luas diamalkan karena dijustifikasi secara substantif oleh Quran dan sunnah sendiri. Substansialisme slametan sendiri terdapat pada indigenisasi sedekah dalam persemaian domestik. Pada tataran ini fungsi sedekah untuk menolak bala sebagaimana universalitas teks hadits nabi diformalkan dalam domestikasi slametan. Dengan slametan diharapkan terjalin relasi horizontal antara Tuhan yang supranatural dengan manusia melalui ritual sedekah. Tuhan diharapkan ikut intervensi untuk menjaga keselamatan keluarga yang naik haji. Secara sosiologis, ritual slametan ini juga bertujuan demi survivenya kekerabatan antar berbagai keluarga. Ter-ater yang biasa dilakukan mengiringi slametan memiliki fungsi mirip dengan apa yang dikatakan Durkheim tentang “manifestasi penguatan solidaritas sosial antar partisipan melalui performa dan pengabdian”. Bagi orang Madura sendiri performa vertikal merupakan ikatan mutualistik yang tak terpisahkan. Slametan haji dan juga ter-ater bagi keluarga yang sedang naik haji merupakan wujud pengabdiannya pada soliditas kosmos. Meninggalkan ter-ater berarti memutus rantai berjalannya harmoni rukun antar sesama. Berbeda bagi orang yang naik haji, slametan merupakan sebuah ritual pentahapan akan migrasinya dari status lama kedalam status baru. Dalam tataran ini, slametan melakonkan apa yang disebut oleh Arnold Van Gennep sebagai rite de passage, sebuah koordinasi tradisi untuk menandai lahirnya sebuah status baru dalam hirarki masyarakat. Slametan haji yang terkadang berlangsung sampai 40 hari seperti di pedesaan Madura merupakan rekonfirmasi kepada masyarakat akan posisi baru seorang haji yang membutuhkan pula sebuah honiritas baru dalam struktur social nantinya. Terkadang, prosesi ini didahului oleh prosesi ganti nama bagi orang Madura yang telah sah menjadi haji.

Dengan demikian periferalitas tellasan dan slametan yang berkutat di sekitar prosesi haji merupakan wujud kreatif Islam Madura yang tidak boleh dinilai sebagai perlawanan terhadap Islam otentik. Dia merupakan manifesto kreatif yang mengajarkan bahwa Islam Madura bukanlah tradisi pinggiran yang predestinatif. Islam Madura adalah Islam marjinal yang kreatif dalam menangkap teks Islam sebagai low tradition yang ramah lingkungan. Boleh dikata, Tradisi Islam Madura telah menghilangkan kebingungan besar (highly misleading) tentang bagaimana menginterpretasikan Islam kontemporer seperti yang melanda sejumlah kalangan akhir-akhir ini.

Syarif Hidayat Santoso, alumnus Hubungan Internasional FISIP UNEJ. Berdomisili di Sumenep

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda