Pencitraan Masyarakat Madura Swasta

Sampai detik ini masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat perantau. Di berbagai daerah di negeri ini, khususnya di tempat- tempat perdagangan, tersebar orang Madura. Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, lebih-lebih di pulau Jawa sudah pasti memiliki "koleksi" orang Madura. Bahkan, di bagian timur pulau Jawa, masyarakat Madura mendominasi dan membentuk komunitas besar yang sering kali dikenal sebagai masyarakat Madura swasta, masyarakat gadungan, masyarakat duplikat, dan masyarakat murtadin karena Maduro ora dan Jawa ora.

Oleh Tirmidzi

Meski demikian, harus diakui bahwa masyarakat Madura swasta tersebut merupakan kekayaan tidak ternilai yang eksistensinya tidak lepas dari eksistensi masyarakat Madura asli dan Madura itu sendiri. Hal itu disebabkan karena mayoritas mereka adalah keturunan asli orang Madura dan karena telah membawa kultur, budaya, dialektika, dan bahasa resmi Madura. Atribut-atribut 'Maduraisme' pun sangat lekat bagi mereka dan kehidupannya.

Lebih erat lagi, antara Madura swasta dan Madura murni memiliki keterkaitan citra, dalam artian reputasi keduanya saling bergantung satu sama lain. Tanpa ada pengecualian swasta apa bukan, seluruh masyarakat Madura diklaim sebagai orang-orang keras, kasar, tidak egaliter, dan tidak menghargai pluralitas.

Untuk menghindari stigma negatif tersebut diperlukan proses pencitraan demi untuk menampilkan reputasi Madura yang lebih baik. Pencitraan tersebut merupakan pekerjaan rumah sekaligus tugas bersama yang amat mendesak bagi masyarakat Madura secara umum. Sedangkan mekanisme pelaksanaannya bisa saja berbeda antara satu daerah dan daerah yang lain, yang swasta dan bukan swasta. Bagi masyarakat Madura swasta, tugas demikian akan menjadi lebih berat karena mereka hidup di tengah lingkungan yang lebih plural dan heterogen dibanding Pulau Madura. Tantangan dan rintangan sudah barang tentu akan lebih kompleks yang sekaligus akan membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang lebih ekstra pula.

Oleh karena itu, mereka dituntut untuk bersikap kreatif dalam mencari upaya-upaya konstruktif pencitraan tersebut. Salah satu upaya yang menurut penulis dapat diaplikasikan oleh masyrakat untuk pencitraan tersebut adalah menafsirkan dan menerjemahkan kaidah usul fikih al muhafadhatu ala al qodimi al sholih wa al akhdzu ala al jadidi al ashlah dalam konteks kehidupan mereka. Penulis yakin jika pesan yang tersirat dalam kaidah tersebut dijalankan secara maksimal akan menghasilkan pencitraan Madura yang lebih gemilang di masa depan.

Sikap halus

Setidaknya terdapat beberapa pesan penting dalam kaidah tersebut. Pertama, melestarikan tradisi lama yang baik. Dalam artian bagaimana masyarakat dapat menjaga tradisi-tradisi luhur nenek moyang sehingga tetap eksis di masa sekarang dan di masa yang akan datang. Misalnya, melestarikan tradisi berbahasa engghi-bhunten dan gotong royong. Sepengetahuan penulis, bahasa Madura yang paling halus tersebut sangat minim di kalangan masyarakat Madura, termasuk Madura swasta. Padahal pelestariannya akan mencerminkan sikap halus dan sopan orang Madura.

Kedua, mengambil (akhdzu) tradisi-tradisi baru yang lebih baik. Upaya yang kedua ini meniscayakan adanya sikap akomodatif-produktif- kreatif dari masyarakat untuk menciptakan tradisi atau setidaknya mengadopsi tradisi baru yang lebih baik, yang datang dari Madura maupun dari luar Madura. Munculnya tradisi ruwatan desa dan petik laut di sebagian masyarakat Madura merupakan angin segar yang mengarah pada penciptaan tradisi baru yang lebih baik. Walaupun pada hakikatnya kedua tradisi tersebut berasal dari Jawa, akan lebih baik jika masyarakat Madura juga melaksanakannya. Karena di samping dapat dijadikan momentum ucapan terima kasih kepada Tuhan atas nikmat yang telah diberikan, juga dapat dijadikan sebagai medium silaturahim demi untuk memperkuat ukhuwah ijtimaiyah antarmasyarakat.

Ketiga, jika dipahami secara terbalik (mafhum mukholafah), kaidah di muka meniscayakan kepada masyarakat untuk meninggalkan tradisi- tradisi yang bernilai negatif baik itu dari Madura itu sendiri seperti carok maupun yang dari luar, misalnya pesta minuman keras, sabu, seks bebas, korupsi, dan semacamnya. Intinya, mereka harus melakukan penyaringan terhadap tradisi-tradisi yang ada. Upaya ini dimaksudkan sebagai upaya preventif untuk memurnikan tradisi lokal Madura dari tradisi yang negatif sekaligus tidak mencampuradukkan tradisi luhur Madura dengan tradisi luar yang tidak jelas nilainya.

Demikian beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam proses pencitraan masyarakat Madura, khususnya yang swasta. Masyarakat Madura swasta bukanlah masyarakat duplikasi atau gadungan sebagaimana diasumsikan akhir-akhir ini, tapi mereka adalah komunitas yang akan menciptakan Madura yang lebih bercitra dan bernilai adiluhung.

Tirmidzi, Aktif di PesMa IAIN Sunan Ampel, Asal Madura

Sumber: Kompas, Rabu, 23 Desember 2009

Label: , ,

2 Komentar:

Pada 1 Oktober 2010 pukul 14.33 , Blogger Unknown mengatakan...

Saya sangat prihatin tentang stigma yg negatif dri kalangan orang luar madura yg belum mengenal betul tentang sisi madura yang sebenarnya,,,untuk mari sbgai generasi madura kta tonjolkan lgi sikap adap asor yang sebenarnya satu identitas kita yg diwarisi secara turun temurun..

 
Pada 1 Oktober 2010 pukul 14.38 , Blogger Unknown mengatakan...

Mari kita tingkatkan sarana pendidikan dan memberi panduan kepada masyarakat bagaiman pentingnya pendidikan sbgai bekal untuk hidup dan bersosialisasi dgn orng di sekitarnya,,sudah saatnya masyarakat madura bangun dari tidur menjawab tantangan yang ada dan menjadi elemen penting dari negara ini..amin,ak bangga menjadi orang madura.

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda