Semua Perbuatan Pasti Berbalas
Soetojo Soekoemiharjo, Direktur Utama Suara Surabaya Media
Menjadi tua bukan berarti berhenti berkarya. Ungkapan tersebut diyakini Soetojo Soekoemiharjo dalam menjalani hidup hari-hari. Tidak heran jika di usia 72 tahun pada 28 Agustus mendatang, direktur utama Suara Surabaya Media itu masih begitu energik. Gerak-geriknya yang dinamis selalu dibarengi dengan tutur kata lugas penuh wibawa.
"Saya masih ingin bermanfaat bagi sekitar. Masih ingin produktif," ujarnya. Filosofi hidup yang dipegang teguh pria yang akrab disapa Pak Toyo tersebut adalah selalu bisa berdaya guna bagi masyarakat. Menurut dia, membantu orang lain bisa meningkatkan nilai diri di masyarakat. Tidak pernah dia merasa rugi setelah memberikan pertolongan. Sebab, dia yakin bahwa manfaat yang pernah dirasakan orang darinya akan kembali kepadanya.
"Saya tidak percaya dengan yang namanya kebetulan. Semua yang kita lakukan adalah hasil dari apa pun yang kita perbuat di masa lalu," jelas ayah empat anak tersebut.
Kegemaran memberikan manfaat untuk orang lain membuat Pak Toyo sering memperoleh imbalan yang tidak terduga. "Bantuan yang datang kepada kita adalah hadiah dari Tuhan karena telah berbuat baik pada masa lalu," ungkap pria asli Sumenep tersebut.
Kiprah di dunia radio itu juga berawal dari perbuatannya. Pak Toyo bercerita, pada 1968 dirinya pernah menjadi teknisi elektronik. Suatu ketika, ada teman yang membuat stasiun radio amatir. Dia diajak membantu. Di situ telah berkumpul para teknisi elektronik hebat. Merasa berkemampuan kurang, dia memilih membantu dengan cara mencarikan komponen yang diperlukan oleh para teknisi tersebut.
Namun, pendirian radio itu tidak kunjung usai. Menurut para teknisi tersebut, terdapat masalah pada voltase. Pak Toyo mencoba mengutak-atik. Ternyata berhasil. Masalah terselesaikan dan radio bisa mengudara. Pendiri radio lantas mengajak dia bergabung sebagai teknisi. "Itulah kali pertama saya masuk dunia media," jelasnya.
Belasan tahun bekerja di dunia radio, muncul keinginan memiliki stasiun radio sendiri. Untuk mendapatkan mimpi itu, Pak Toyo tak perlu menghadapi rintangan berarti. Lagi-lagi berkat perbuatan yang pernah dia lakukan, pendirian radio yang akhirnya diberi nama Suara Surabaya (SS) itu berjalan mulus.
"Awalnya, saya diminta RRI menemani seorang pejabat dari Jakarta. Pejabat tersebut diberi fasilitas menginap yang menurut saya kurang pas. Selain kumuh, lokasinya tidak baik," kenangnya.
Jebolan Fakultas Hukum Unair itu lalu mengajak pejabat tersebut menginap di tempat yang lebih layak, yakni Hotel Cendana. "Saya hanya mampu membayar hotel itu. Yang penting, tempatnya layak," imbuhnya.
Setahun kemudian, sekitar awal 1980-an, pejabat tersebut menelepon Pak Toyo. Tanpa hujan, tanpa angin, dia mengaku telah membuatkan dua izin pendirian stasiun radio untuk Pak Toyo. Namun, karena gedung belum siap, pemberian izin ditunda. Sekitar 1983, stasiun radio milik Pak Toyo siap. "Permasalahan izin pendirian radio swasta itu pun beres berkat pejabat tersebut," ceritanya.
Pada 11 Juni 1983, bertepatan dengan terjadinya gerhana matahari total, radio SS resmi mengudara. Sejak awal, Pak Toyo bersama seorang rekannya, Errol Jonathan, membuat gebrakan. Di tengah dominasi RRI dalam bidang penyiaran berita, SS menjadi radio swasta pertama yang turut menyajikan news sebagai materi siaran.
Awalnya memang tidak mudah melakukan hal tersebut. Untuk menjaga agar radio yang ada tidak terusik, Pak Toyo dan Errol memilih menyajikan berita remeh-temeh lebih dulu. "Tema pertama kami adalah zebra cross di Surabaya, berapa jumlahnya, terus jembatan," tuturnya.
Mulai berhasil mencuri perhatian pendengar, Pak Toyo menambah jenis dan porsi berita. Dia lalu menyajikan topik seputar dunia pendidikan. "Waktu itu saya menyiarkan jumlah sekolah produktif di Surabaya. Hal tersebut segera direspons Kakanwil yang mengatakan bahwa berita itu bagus," ujarnya.
Lantas, Pak Toyo mulai berani menyentuh isu-isu lebih sensitif hingga SS terus berkembang menjadi media interaktif seperti sekarang. Dia menyatakan masih ingin produktif. Dia sama sekali tidak menutup mata terhadap perkembangan zaman. Di sisi lain, dia sadar telah tertinggal dengan rekan-rekannya yang jauh lebih muda. Untuk itu, seiring dengan semakin pesatnya perkembangan radio SS, dia mulai merambah dunia maya dengan melahirkan sebuah portal news suarasurabaya.net dan majalah pariwisata Surabaya, Surabaya City Guide Free Magazine. "Rekan-rekan saya yang masih muda lebih tahu apa yang dibutuhkan publik saat ini. Jadi, biarlah mereka yang menangani. Kalau dibutuhkan, baru saya turun tangan," ucapnya. (ken/ayi)
Wajibkan Penyiar Beri Pengetahuan
Di tahun ke-25 mengudara, radio Suara Surabaya (SS) berhasil menjadi leading di bidangnya. Mereka membidik kalangan menengah atas. Jumlah pendengar setia SS kini pun tak terhitung jumlahnya. Mereka dengan loyal mengabarkan kejadian terbaru di jalan-jalan yang dilewati. Jumlah penelepon yang ingin ikut terlibat dalam topik yang dibicarakan juga antre di setiap jam mengudara.
Bagaimana membuat pendengar mau melakukan itu semua? "Sebenarnya, tidak ada yang istimewa. Hanya, kemampuan membaca keinginan pendengar yang dibutuhkan dan bagaimana cara kita melayani mereka," jelas Soetojo Soekoemiharjo, direktur utama SS.
Pria yang akrab disapa Pak Toyo itu tidak pernah lelah memberikan nasihat kepada para penyiar yang baru mengudara karena SS adalah radio berbasis news. "Biasanya, setelah siaran selama dua jam, mereka saya tanyai, coba renungkan tadi apa yang sudah kamu berikan kepada pendengar," jelasnya.
Untuk itu, sebelum siaran, suami Endang Setyowati tersebut kerap meminta penyiarnya mempersiapkan topik lebih dahulu. Dia tidak ingin, penyiarnya banyak bicara tanpa memberikan informasi bernilai bagi pendengar. Bernilai, bagi Pak Toyo, adalah berita yang bisa memberikan manfaat dan membawa kebaikan. Karena itu, tidak semua berita bisa disiarkan sekalipun fenomenal. "Kita lihat dulu, apakah memberikan manfaat atau malah sebaliknya. Kalau sebaliknya, ya kita simpan dulu saja," jelasnya.
Keuntungan adalah nomor dua bagi Pak Toyo. Yang pertama ialah kepuasan pendengar. Dia menyatakan tidak tertarik mengubah jenis materi siaran yang mengikuti tren anak muda. Dia percaya, segmentasi sangat penting dalam berbisnis.
"Saya tidak ingin mengubah materi siaran yang berupa berita. Saya juga tidak memaksa para pendengar selalu mendengarkan SS. Kalau ingin mendengarkan lagu-lagu, mereka bisa ganti saluran kan. Semua ada bagiannya kok," ujarnya.
Pak Toyo menambahkan, jika pendengar puas, keuntungan finansial akan datang mengikuti dengan sendirinya. Selain kepuasan pelanggan, jelas Pak Toyo, ada hal lain yang lebih penting untuk diperhatikan dalam mengelola media. Yaitu, permasalahan SDM. Ada empat kriteria pegawai yang baik. "Pertama dan paling dasar adalah integritas, berikutnya tipe kepribadian. Ketiga dan keempat ialah tingkat kemampuan dan kinerja," ungkapnya.
Biasanya, terang Pak Toyo, jika yang pertama sudah terpenuhi, yang lain-lainnya bisa menyusul. Untuk meningkatkan kualitas pegawai, Pak Toyo kerap mengadakan pelatihan baik di dalam maupun di luar kantor. "Saya tidak suka dengan sistem kerja di mana karyawannya keluar-masuk. Saya lebih suka membuat mereka menjadi lebih baik ketimbang mengganti dengan yang lain," tandasnya. (ken/ayi)
Sumber: Jawa Pos, Rabu, 20 Agustus 2008
Label: dokumentasi, soetojo soekomiharjo, sosok
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda