Catatan Dari Kongres I Bahasa Madura (1)


Penutur Bahasa Madura, baik yang berdiam di dalam maupun di luar pulau Madura saat ini diperkirakan di atas 10 juta orang.

Karena itu pembinaan terhadap Bahasa Madura harus dilakukan sebagai upaya pelestarian dan pengembangan agar bahasa tersebut bisa memberikan sumbangan yang berharga bagi pengembangan budaya bangsa.

Inilah yang menjadi salah satu landasan pemikiran tokoh dan pemerhati Bahasa Madura menggelar Kongres I Bahasa Madura pada 15 hingga 19 Desember 2008 di Kabupaten Pamekasan.

Written By Abdul Aziz

Kongres diikuti 250 peserta tetap, utusan dari empat kabupaten di Madura, serta kabupaten lain di Jawa Timur yang mayoritas penduduknya juga berbahasa Madura, seperti Situbondo, Bodowoso dan Kabupaten Jember.

Menurut Sekretaris Panitia, Halifaturrahman, Kongres I Bahasa Madura yang digelar minggu kedua Desember sebenarnya merupakan rekomendasi dari Kongres Kebudayaan yang digelar di Kabupaten Sumenep, 9 hingga 11 Maret 2007. Semula rekomendasikan Kongres Bahasa agar digelar September. Tapi oleh panitia ditunda dengan alasan berbagai kesibukan.

"Tapi pada bulan Oktober kondisi perpolitikan di Madura karena Pilgub Jawa Timur digelar dua kali putaran tidak memungkinkan, maka ditunda pada bulan November hingga akhirnya terealisasi pada bulan Desember ini," katanya.

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai pada pelaksanaan Kongres yang bertema "Revitalisasi Pembinaan dan Pelestarian Bahasan dan Sastra Madura", tersebut. Selain untuk melestarikan bahasa dan sastra Madura yang akhir-akhir ini cendrung mulai pudar, juga untuk merumuskan sejumah agenda penting Madura terkait pembangunan di Madura pasca terselesainya jembatan Suramadu, serta perumusan Ejaan Bahasa Madura yang disempurnakan, berikut penyempurnaan kamus Bahasa Madura.

Selama ini, kata Halifaturrahman, memang sudah ada kamus dan tata bahasa yang ditulis oleh perorangan. Tapi sebagian kalangan menganggap belum mewakili keseluruhan kebutuhan warga Madura. Terutama terkait dengan perbedaan dialek, struktur kata dan istilah yang ada di masing-masing daerah.

Bupati Pamekasan Drs. Kholilurrahman menyatakan, Bahasa Madura merupakan salah satu dari sembilan bahasa daerah besar di bumi Nusantara ini. Penutur Bahasa Madura diperkirakan diatas 10 juta orang, namun ada yang menyebut 13 juta.

"Jumlah yang tidak sedikit. Oleh karenanya pembinaan terhadap Bahasa Madura harus dilakukan. Dalam arti perlu ada upaya pelestarian dan pengembangan agar Bahasa Madura bisa memberikan sumbangan yang berharga bagi pengembangan budaya bangsa," katanya.

Peneliti dari LIPI, Prof.Dr. Mien A Rifai menyatakan, di antara bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, Bahasa Madura merupakan salah satu bahasa terbesar keempat setelah Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda dari segi jumlah penuturnya. Tapi perkembangannya dalam dasawarsa terakhir ini memang sangat memprihatinkan.

Penyebabnya, kata dia, salah satunya akibat adanya kebijakan dari pemerintah pusat yang mengharuskan Bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa pengantar dalam bidang pendidikan.

"Karena hampir tidak diajarkan lagi sebagaimana mestinya, lama kelamaan Bahasa Madura tidak dikuasai oleh generasi muda Madura. Begitu juga buku dan karya tulis lain dalam Bahasa Madura tidak diterbitkan atau diproduksi lagi secara terprogram sehingga merupakan bahan yang terhitung langka," kata lelaki kelahiran Sumenep 68 tahun lalu itu.

Mantan Ketua Badan Pertimbangan Bahasa Depdiknas periode 2002-2007 itu menjelaskan, selain karena kebijakan pemerintah pusat yang mengharuskan para guru mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi menggunakan pengantar Indonesia, sebab lainnya adalah, selama ini sangat jarang bahkan nyaris tidak ada karya ilmiah ataupun buku-buku yang diterjemahkan ke Bahasa Madura.


Malu Berbahasa Madura

Kongres I Bahasa Madura yang digelar di Pamekasan mulai tanggal 15 hingga 19 Desember 2008, tidak hanya menyusun kamus dan ejaan Bahasa Madura yang disempurnakan. Lebih dari itu, peserta juga membahas hal-hal lain yang menyebabkan Bahasa Madura cenderung kurang diminati, baik oleh kalangan pemuda ataupun para orang tua.

Akhmad Sofyan, dari Fakultas Sastra Universitas Jember (Unej) menyatakan, alasan lain yang menyebabkan orang Madura enggan menggunakan bahasanya sendiri, karena mereka merasa malu menggunakan Bahasa Madura. Sangat jarang Bahasa Madura digunakan di ruang publik, layaknya Bahasa Jawa.

"Sebagai bahasa daerah, seharusnya Bahasa Madura mempunyai tiga fungsi, yakni sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah dan alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah," katanya.

Selama ini, lanjut penulis buku 'Tatabahasa Bahasa Madura' ini, ketiga fungsi tersebut sudah jarang ditemukan. Bahasa Madura hanya cenderung menjadi alat komunikasi di ranah domestik, dalam keluarga dan sesama tetangga.

Kendatipun demikian, di ranah domestikpun Bahasa Madura juga jarang dipraktekkan. Para orang tua, katanya, lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, bukan dengan Bahasa Madura.

"Yang memprihatinan, saya pernah berjumpa dengan salah satu keluarga di Madura ini, bahwa berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Madura di ruang publik katanya merasa tidak percaya diri. Artinya dia itu malu berbicara bahasa daerahnya sendiri. Malah lebih bangga menggunakan Bahasa Jawa," terangnya.

Menurut Akhmad Sofyan, fenomena seperti itu bukan hanya terjadi di wilayah tertentu, tapi sudah menggejala di semua kabupaten di Madura.

Sri Ratnawati, staf pengajar di Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, menilai kecendrungan generasi Madura meninggalkan bahasa ibunya dan memilih Bahasa Indonesia karena Bahasa Madura dianggap sebagai bahasa kelas ekonomi menengah ke bawah dan tidak berpendidikan.

"Jadi ada semacam anggapan bahwa mereka yang menggunakan Bahasa Madura hanya orang-orang terbelakang. Jadi kecenderungannya adalah prestise dan gaya hidup," katanya.

Terancam punah

Adanya keharusan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, yang pada akhirnya menyebabkan adanya kecenderungan kalangan generasi muda Madura meninggalkan bahasanya sendiri, tentu saja akan berdampak terhadap punahnya Bahasa Madura.

Kekhawatiran semacam ini menyebabkan sebagian tokoh, para akademisi, seniman dan budayawan di Madura mendirikan lembaga-lembaga pembinaan khusus Bahasa Madura. Salah satunya seperti yayasan Pakem Maddhu, hingga akhirnya menggelar Kongres Bahasa Madura sebagai upaya untuk melestarikan Bahasa dan Sastra Madura.

Menurut Wakil Bupati Pamekasan Drs. Kadarisman Sastrodiwirdjo, Kongres I Bahasa Madura di Pamekasan itu sebenarnya merupakan tindak lanjut dari Kongres Kebudayaan Madura yang digelar di Kabupaten Sumenep pada tanggal 9-11 Maret 2007.

"Salah satu rekomendasinya waktu itu agar digelar Kongres Bahasa Madura. Sebab hasil kajian teman-teman peserta Kongres waktu itu Bahasa Madura sudah jarang digunakan dan orang Madura sendiri banyak yang tidak bisa berbahasa dengan baik dan benar," katanya. (bersambung)

Artikel Terkait
Sumber: www.abdazis.info, Jumat, 10 Februari 2012

Label: , , , , , , , , , , , , , , ,

Catatan Dari Kongres I Bahasa Madura (2)


Ketua Dewan Kesenian Pamekasan (DKP), Syafiudin Miftah menyatakan, ancaman akan kepunahan Bahasa Madura, sama halnya dengan ancaman terhadap kepunahan budaya dan tradisi yang ada di Madura. Sebab bahasa menunjukkan identitas, suatu daerah dalam konteks ke-Indonesia-an.

Kusnadi,M.A, salah satu nara sumber di Kongres I Bahasa Madura dari Universitas Jember (Unej) menyatakan, orang Madura, menyebar di berbagai provinsi yang ada di Indonesia.

Written By Abdul Aziz

Sebagian besar mereka berdomisili di Jawa Timur 6.281.058 jiwa (92,72%), Kalimantan Barat 203.612 jiwa (3,01%), Kalimantan Tengah 62.228 jiwa (0,92%), Jakarta 47.005 jiwa (0,69%), Kalimantan Selatan 36,334 jiwa (0,54%), Kalimantan Timur 30.181 jiwa (0,45%), Bali 18.593 jiwa (0,27%), Jawa Barat 17.914 jiwa (0,26%) dan yang terakhir adalah Jawa Tengah 14.166 (0,21%).

Menurut Kusnadi, hubungan masyarakat Madura dengan etnik Jawa di Jawa Timur, mampu memainkan peran penting bahkan bisa mewarnai keragaman budaya dan memberikan sumbangan positif terhadap dinamika sosial yang ada di sana. Pertemuan dan interaksi kebudayaan Jawa dan Madura dalam waktu lama, telah melahirkan asimilasi dan integrasi budaya yang biasa dikenal dengan sebutan pendhalungan.

"Salah satu unsur kebudayaan tersebut misalnya dapat kita lihat pada karakteristik bahasanya. Seperti Bahasa Jawa, tapi dialeknya Jember," terang staf pengajar Fakultas Sastra Unej itu.

Praktisi Media di Madura, Abrari, menyatakan, memang di satu sisi keberadaan warga Madura di berbagai Provinsi di Indonesia mampu melakukan ekspansi dalam hal interaksi sosial budaya. Tapi di sisi lain, kebanyakan warga Madura yang ada di rantau seringkali larut dengan kondisi kebahasaan yang ada di tempat rantaunya.

"Kecendrungannya sangat berbeda dengan etnik Jawa. Kalau orang Jawa merantau ke Madura, masih mau menggunakan bahasa daerahnya sebagai pengantar komunikasi sehari-hari. Etnik Madura justru sebaliknya," katanya.

Lebih lanjut wartawan senior itu menjelaskan, meski jumlah penduduk yang tinggal di Madura tergolong banyak, yakni sekitar 3 juta lebih tapi hingga kini belum memiliki perguruan tinggi ternama. Hal ini berbeda jauh dengan Brunei Darussalam yang hanya memiliki 200 ribu jiwa, tapi sudah berdiri perguruan tinggi berkualitas.

Ancaman akan kepunahan Bahasan Madura inilah yang menjadi salah satu rekomendasi Kongres I Bahasa Madura, di samping penyempurnaan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan upaya memasukkan pelajaran Bahasa Madura dalam kurikulum pendidikan formal, mulai dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi.

Rekomendasi Kongres

Kongres I Bahasa Madura yang digelar selama empat hari dengan mendatangkan 29 nara sumber dari berbagai kalangan, seperti akademisi, budayawan dan seniman bahkan pemerhati dari luar negeri itu merumuskan 19 poin rekomendasi yang terbagi dalam tiga kebijakan, yaitu pengkajian, pengembangan dan pembinaan.

Dalam bidang pengkajian, kongres merekomendasikan dua hal. Yakni meminta pemerintah kabupaten/Kota memfasilitasi pengkajian, penerjemahan dan penerbitan berbahasa Madura, terutama yang berkaitan dengan pengembangan dan pelestarian karya sastra tradisional dan keagamaan.

Penyair kenamaan asal Sumenep Madura Syaf Anton Wr, menyatakan, kesusastraan Madura akhir-akhir ini sudah jauh tertinggal dibanding perkembangan sastra modern. Meskipun demikian, belum ada soluasi alternatif bagaimana mengupayakan agar sastra Madura menjadi lebih maju, minimal seimbang dengan perkembangan sastra modern.

"Semoga dengan adanya peran aktif pemerintah, sastra Madura akan kembali menemukan masa kejayaannya," katanya.

Rekomendasi kedua dalam kebijakan pengkajian adalah mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan penelitian tentang laras-laras (register) yang diperlukan masyarakat Madura dalam kaitannya dengan pemekaran kosa kata Bahasa Madura.

Dalam poin pengembangan, kongres merekomendasikan empat hal. Pertama, perlunya dibuat pedoman dan pembentukan istilah Bahasa Madura yang memungkinkan kosakata Bahasa Madura berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, sastra dan budaya. Kedua, mengamanatkan kepada Balai Bahasa Surabaya (BBS) agar mengesahkan Ejaan Bahasa Madura Yang Disempurnakan sesuai dengan prosedur kaidah bahasa baku.

Selanjutnya mengupayakan adanya komputerisasi carakan Madura. Dan yang keempat, mengamanatkan BBS agar merevisi tata bahasa dan kamus Bahasa Madura yang ada selama ini.

Selanjutnya di pengembagan remokendasi Kongres I Bahasa Madura yang diikuti 250 peserta tetap itu mengamanatkan sebanyak 13 poin rekomendasi. Masing-masing, pemberian anugerah kepada perorangan atau lembaga yang memajukan bahasa dan sastra Madura, meningkatkan frekuensi penyelenggaraan kegiatan dan lomba kebahasaan, serta kesastraan Madura, serta yang ketiga, perlunya membentuk lembaga konsultasi kebahasaan dan kesastraan di tiap kabupaten/kota.

Kongres juga mengamanatkan membuka program studi Bahasa Madura sebagai pilot project di sebuah perguruan tinggi di Madura dan perlunya ada peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang pembinaan, pengembangan bahasa dan sastra Madura, serta memfasilitasi adanya buku ajar Bahasa Madura yang kontekstual sesuai dengan pembakuan Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Masih dalam bidang pembinaan, rekomendasi point ketujuh adalah perlunya pembentukan Dewan Bahasa Madura (DBM) yang sekaligus berfungsi sebagai tim Pokja Kongres. Mempertegas ciri ke-Madura-an di tempat-tempat umum yang perlu dimotori oleh pemerintah daerah, serta meminta pemerintah daerah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar membuka formasi tenaga kependidikan Bahasa Madura.

Berikutnya poin ke-10 dalam bidang pembinaan, peserta kongres juga mengamanatkan agar Kongres Bahasa Madura digelar setiap lima tahun sekali secara periodik. Mewajibkan Bahasa Madura diajarkan mulai jenjang pendidikan dasar (SD) sampai menengah yang mayoritas penduduknya berbahasa Madura. Rekomendasi lainnya adalah memperbanyak frekuensi penyajian Bahasa Madura melalui media massa, baik cetak maupun elektronik.

Yang terakhir rekomendasi Kongres pada point pembinaan dari 19 point rekomendasi itu adalah mengamanatkan agar pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi sarana dan prasarana paguyuban/sanggar kebahasaan dan kesastraan Madura.

Dian Palupi dari Pusat Bahasa Surabaya menyatakan, media lokal Madura yang menyajikan penyiaran dengan menggunakan bahasa Madura sangat sedikit.

"Salah satu media elektronik yang masih peduli pada Bahasa Madura dari sekian media yang ada di Madura baru Radio Republik Indonesia (RRI) Sumenep, Karimata FM Pamekasan dan JTV," katanya.

Tapi ia berharap dengan gelar Kongres I Bahasa Madura itu, Bahasa Madura nantinya akan kembali menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri.

Selain rekomendasi yang disepakati, peserta kongres juga mengimbau agar Pemkab Sampang nantinya bisa menyelenggarakan Kongres Kebaharian Madura sebagai sarana pengembangan sumber daya dan budaya untuk kesejahteraan masyarakat Madura.

Menurut sekretaris panitia Kongres Halifaturrahman, rekomendasi tambahan ini disampaikan karena peserta Kongres memandang pulau Madura memiliki potensi wisata bahari, tapi selama ini belum bisa dikembangkan secara optimal.

Artikel Terkait

Seni Budaya
•Catatan Dari Kongres I Bahasa Madura (1)
•Bekas Kraton Bangkalan Jadi Milik Pribadi Warga
•Batik Tulis Pamekasan Berkibar dari Desa Klampar
•Kesenian Tradisional Macapat Terancam Punah

Smber: Abd Azis.info, Jumat, 10 Februari 2012

Label: , , , ,

Mengembangkan Ingatan Kelestarian Sastra Madura

Dibanding kehidupan sastra Indonesia modern yang makin tampak perkembangannya akhir-akhir ini di Madura, maka sastra Madura justru banyak mengalami hambatan dan kendala. Permasalahan ini kerap terjadi perbincangan serius di kalangan masyarakat sastra sendiri, namun sebegitu jauh, belum menemukan alternatif dan solusi dalam melestarikannya. Padahal pada masanya, sastra Madura pernah menemukan jati diri sehingga banyak ka1angan peneliti dan pemerhati, baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri mencoba menganalisis dengan berbagai kepentingannya.

Oleh: Syaf Anton Wr.

Dalam memposisikan kehidupan sastra Madura, ada berupa tahapan dalam menandai kurun waktu perkembangannya, meski tahapan ini sangat relatif sebagai strandart baku untuk sebuah kriteria. Sebab pada priode paling akhir belum didapat buku-buku standart yang mengurai perkembangan sastra Madura. Namun untuk mendekati tahapan tersebut maka Drs. M. Hariyadi mengklasifikasi perkembangan sastra Madura dalam periodisasi sebagai berikut:
  1. Periode I : sampai tahun 1920-an
  2. Periode II : tahun 1920 sampai 1945-an
  3. Periode III : tahun 1945 sampai sekarang (disebutkan 1977)
Dalam preodisasi tersebut meliputi :
  1. Sastra Madura lama : dari sastra kuno sampai 1920-an
  2. Sastra Madura baru : tahun 1920 sampai 1945-an
  3. Sastra Madura modern : tahun 1945 sampai sekarang
    (dalam perkembangan terakhir 1977 sampai sekarang belum tam­pak adanya perkembangan yang nampak, kalaupun ada hanya sebatas percik-percik yang kurang tampak)
Dari periodisasi tersebut terdapat ciri-ciri yang membeda­kan, antara lain:
  • Pada periode I dan II sangat memperhatikan kaidah-kaidah (ba­hasa baku) dan menggunakan bahasa halus. Namun pada periode III kedua hal tersebut tidak diperhatikan lagi.
  • Pembeda ketiga priode tersebut, yaitu pada periode I dan II, rasa ke-Indonesiaannya sangat langka, sedang untuk periode III, rasa ke-Indonesiaannya sangat tampak dan dominan.
  • Untuk periode I (sastra Madura lama), menurut para peneliti pada umumnya banyak dilakukan (ditulis), oleh bangsa asing, sedang periode II (sastra Madura baru) mulai muncul beberapa nama pengarang Madura. Karya terjemahan mulai masuk di dalam sastra Madura (terutama Eropa) dan dari bahasa daerah terutama bahasa Jawa, Sunda dan Melayu.
  • Dalam periode III (sastra Madura modern), banyak dilakukan oleh peneliti dan pengarang yang umumnya dari putra-putra Madura sendiri atau suku lainnya yang ber­minat terhadap bahasa dan sastra Madura.
Sebagai contoh beberapa pengarang dan karyanya dalam setiap periode:
  • Periode I (Sastra Madura Lama)
    1. Een Madoereesch Minnedicht, A.A. Fokker, 1894
    2. De Indlandsche Rangen en Titels of Java en Madura, INC van den Berg, 1887
    3. Nederlancsh Madoereesch Woordenboek, H-N. Kiliaan, 1898
    4. Tjara Madoera; Madoereesch Lessen en oefeningen ten behoeve van a.s. Planters in Oost Java, S. van der Molen, tahun 1938
  • Periode II (Sastra Madura Baru)
    1. Maesak Apa Marosak, M. Wirjo Wijoto – Weltevreden (terjemahan), 1927
    2. Tjaretana Babad Basoke, M.S. Djojo Hamisastro Surabaya, tahun 1941
    3. Ambya Madoera Nabbi Idris, R. Sosrodanoekoesomo, Surabaya tahun 1941
    4. Tjolok (Boekoe Batja’an Kaanggoej ka oreng Madoera Lowaran, M. Wirjoasmoro – Weltevreden, 1922
    5. Boekoe Sae Bhak-tebbhagan, Abdoelmoekti, 1931
    6. Saer Boer-leboeran, Moh. Ali Prawiroatmodjo, Batavia, tahun 1931
  • Karya terjemahan dari bahasa lain:
    1. Lanceng Glempeng, Terjemahan karya C.J. Kieviet, Dik Trom, 1923
    2. Boekoe Tjareta Ane, Terjernahan dari bahasa Jawa, karya C.F. Winter’s – Tjarijos Aneh Lan Blok, 1921
    3. Panglepor Ate, Terjemahan dari bahasa Sunda, karya Ardiwinata, 1923
    4. Dhoengngengnga Oreng Leboer Amaen, terjemahan dari bahasa Jawa, karya Djojosoedirdjo, 1921
  • Karya sastra lainnya adalah
    1. Dungngeng Kalakowanna Nyae Gunabicara, R. Sastro­soebroto, tahun 1913
    2. Pajalanan dhari Songennep ka Batawi, R. Sastrosoebroto, tahun 1920
    3. Babad Songennep, R. Werdisastro, tahun 1914
    4. Caretana Bangsacara, Sumowijoyo sareng A.C. Vreede, 1917
    5. Carakenan I, II, III ; M. Wignyoamidarmo, tahun 1911
    6. Samporna Otama, R. Abubakar Prawiroamidarmo, 1920
    7. Panji Semirang I, II ; R. Ahmad Wongsosewoyo, 1921
    8. Sampek Eng Tay, R. Ahmad Wongsosewoyo.
    9. Panji Wulung, R. Sastrodanukusumo, 1928
    10. Anglingdarma, R. Sosrodanukusumo, 1941
    11. Emmas Esanggu Konengan, Prawirowijoyo, 1930
    12. Dhari Nespa Kantos Molja, Sp. Sastramiharja, 1931 (Anggidannepon Ms. Asmawinangun, emadura’agi)
Periode III (Sastra Madura Modern) Peneliti Drs. Ahmad Hatib, Azis Safiudin, SH; Drs. Sugianto, Drs. Abdul Rachman, Drs. Marsudi. Pengarang A. Hatib, M. Wiryoasmoro, Abdul Hadi WM Ratnawi Patmodiwiryo, Oemar Sastrodiwiryo, R Moh Halil, Sukardi Asmara

Bahasa. Sastra Madura sebagaimana kehidupan seni tradisi lainnya, sastra Madura lahir dan terekspresi secara turun-temurun dalam masyarakat suku Madura.

Dalam konsteks ini bahasa Madura memiliki peran penting termasuk memberikan warna dalam sastra Madura dengan tingkatan-tingkatan bahasanya. Bahasa sebagai alat komunikasi, berfikir dan menyampaikan gagasan (pendapat) serta sebagai alat menunjukkan indentitas suku Madura, maka perkembangannya searah dengan tata kehidupan penuturnya.

Bahasa Madura selain berfungsi sebagai lambang kebanggaan, lambang identitas Madura juga sebagai alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat Madura. Bahasa Madura tergolong bahasa yang besar dan memiliki tradisi sastra. Bahasa Madura sebagai wacana lisan memiliki wilayah yang cukup luas di pulau Madura dan pulau kecil sekitarnya serta pesisir utara Jawa Timur memanjang mulai dari Kabupaten Gresik (termasuk pulau Bawean) sampai ke arah Kabupaten Banyuwangi.

Namun dalam penggunaan bahasa sastra tulis hanyalah sebagian saja. Tradisi sastra lisan dalam bentuk sastra bertutur yaitu dalam bentuk dongeng. Umumnya isi dongeng bersifat hayalan semata, seper­ti antah-barantah. Namun di dalamnya terkandung nilai-nilai pendidikan, nasihat atau ajaran moral, etika dan agama.

Sedang sastra tulis yang berbentuk tembang. syair dan pantun termasuk klasifikasi jenis prosa. Pada masa Balai Pustaka tahun 1920-an, buku-buku karya sastra Madura pernah mengalami. boming, baik dalam terbitan buku terjemahan maupun buku-buku karangan para pujangga Madura sendiri.

Para peneliti mengakui, bahwa karya sastra Madura memiliki ciri dan mutu baik, baik dipandang dari kacamata sastra maupun kandungan moral di dalamnya. Selain dalam bentuk penerbitan buku, media cetak kala itu sempat berkembang yang memuat bahasa Madura, semisal, majalah Medan Bahasa Madura. diterbitkan Kementerian P dan K di Yogyakarta, Mingguan Harapan dan koran Pelita, pernah memuat prosa/puisi berbahasa Madura. Majalah Moncar (Surabaya), Colok (Sampang), Nanggala (Sampang), Panggudi (Pamekasan), Suemenep Expres, Pajjar dan sebagainya yang hadir ditengah-tengah masyarakat penutur bahasa Madura. Dan pada dekade tahun terakhir, stasiun ra­dio RRI dan non RRI kerap menyiarkan siarannya berbahasa Madura, sampai saat ini, baik dalam bentuk drama, pembinaan bahasa Madura, siaran keagamaan maupun berita. Untuk mengimbangi kondisi tersebut, pada tahun 1987 Kandepdikbud Kabupaten Sumenep membentuk Tim Pembina Bahasa Madura (Tim Nabara), dengan menerbitkan majalah berbahasa Madura Konkonan, namun hanya mampu bertahan sampai edisi Juli 1999. Beberapa Contoh Karya Sastra Madura Meski sastra Madura telah banyak yang ditulis, namun tingkatan kekentalannya di masyarakat lebih dominan dalam bentuk sastra lisan. Alasan ini kemungkinan masyarakat tradisi Madura (jaman dulu), sangat jarang ditemukan yang bisa membaca dan menulis, sehingga perkembangan sastra yang terjadi di masyarakat lebih kuat melalui mulut ke mulut. Selain itu, larik-larik yang dilontarkan kerap terjadi perubahan secara alami, sehingga tak heran bila dalam bentuk sastra yang sama akan mengalami perubahan dari desa ke desa lainnya. Namun demikian sebagai acuan dibawah ini beberapa contoh karya sastra yang ditulis tahun 9O-an.

  1. Prosa (gancaran)
    Prosa (gencaran), yaitu karangan bebas berupa surat, cerita/dongeng, pidato, tulisan koran dan sebagainya. Gancaran kadang mengandung okara kakanthen, atau dalam sastra Indonesia disebut prosa liris.

    Contoh prosa yang menggunakan okara kakanthen Jeng Raka, Ngatore pameyarsa, kabadha’an raji salarundhut kaganjar baras salamet.. Malar moga Jeng Raka salarundhut saka’dhintowa jugan. Sadaja dhabu babulangan dhari Jang Raka, raji sangat gumbira gunong tenggi jung tenggiyan. Pramela dhari ka’dhinto, saengga bada sala sesep tendak tanduk, raji nyo’on kabbru, nyo~on lella, Raji apangrasa korang ambato kene’e: pekker pandha’, ker­ras ta’akerres sampe’ andaddiyagi korang rennaepon pang galiyan dha’ Jeng Raka. Ta’ langkong raji nyo’on sapora sadaja kacangkolangan pamator sareng kacangkolangan tengka se ta’ sorop dha’ panggaliyapon Jeng Raka.

    Contoh prosa tanpa okara kakanthen
    Sabariya jugan lamon kasossa’anna ba’na jareya kera andaddia­giya panyaket, lebbi becce’ ba’na mole bai ka Jambaringan sarta diliya nyare pottre sopaja daddiya pangleporra (panyulemoranna) atena ba’na se bingong (rentek).

    Pangeran Sidinglanggar mator: “Adhu, rama, dhabu dolem badhi e estowagiya. Jugan abdi dalem ta’ anggadhuwi engendden se pale mana, ponapa pole abineya pottre banneyan, sabab abdi abdi dhalem ampon kare senneng badha e ka’into. Odhi’ napa’ ka pate abdi dalem ta’ pesa’a sareng pottra dalem, karana maske nyareya saebu’ nagara ta’ kera manggi kadiya pottra dalem."

  2. Syair contoh:

    1. Oreng odi’ bi’ enga’a
      Bila senneng gi’ sossa’a
      Ding nyangsara gi’ molja’a
      Pola tengka ba’ kasta’a.

    2. Ya Allah Se Maha Agung
      Aba’ dusa alung-gulung
      Ta’ sapennay ta’ sabagung
      Bannya’ onggu cara gunong
    3. Reng Songennep
      Laggi’ enga’ taon dhubellas ennem sanga’
      Aryo Wiraraja lenggi,
      Se jumenneng Adipati.

  3. Pantun, bagi masyarakat Madura, pantun biasanya dilagukan. Pantun dalam sastra Madura biasanya ada 4 macam, yaitu: Pantun agama, pantun nasehat (baburugan), pantun berkasih-kasihan (bur-leburan), dan pantun lelucon (loco).

  4. Pantun agama, contoh:
    Ngala’ lalang ka Panglegur
    Nompa’ rata samperanna
    Tata langlang dika lebur
    Kor ta’ loppa Pangeranna


  5. Pantun Nasehat, contoh:
    Sarkajana e bungkana
    Nyalaga’a ka sabana
    Se raja’a pangabbruna
    da’ ka bala tatanggana

    Pantun berkasih-kasihan, contoh
    Sattanangnga esassa’a.
    Esebbida noro’ lorong
    Ce’ emanna se tapesa‘a
    Kare abit kalong-polong.

  6. Pantun lelucon, contoh:
    Pereng bathok gu’teggu’an
    Kesse kerrep roma bangsal
    Oreng ngantok gu’onggu’an
    Se eyarep coma bantal.
    Pantun-pantun tersebut biasanya diiringi dengan musik/instrumen gending yang kerap dipentaskan pada acara hajatan atau pentas teater tradisional.

  7. Paparegan Contoh:
    Pa’ lempong padhi gaga
    Napa’ nengkong ta’ ngenneng jaga,
    Blarak klare trebung manyang,
    Baras mare tedhung nyaman,

    Bila ngakan kakennyangan
    Daddina baleng ketengngen
    Mon eanguy akaraksak
    Tandhana ja’ samper esak.

  8. Tembang, karangan sastra dalam bentuk tembang sudah diikat oleh guru lagu dan guru bilangan. Masyarakat Madura masih banyak yang menggemari tembang bahkan sebagian masyakarat mengkaitkan dengan kepercayaan.

    Lagunyapun memiliki ketetapan tersendiri, walaupun dengan berbagai versi. Di Madura dikenal juga dengan macapat. Contoh:
    Kananthe
    Petthedanna nyolbu’ mopos
    Kembangga lebba’ nglenglengan
    Ong-naong jang-bajanganna
    Cellep perna anyennengngen
    Addas parabas narabas
    Katombar ombar epenggir.

  9. Puisi bebas Sastra Madura dalam bentuk puisi bebas merupakan genre pembaharuan pada dekade terakhir ini. Namun demikian hanya beberapa orang saja yang berminat, selebihnya lebih produktif menulis puisi-puisi Indonesia modern. Contoh:
    Serna
    Paesan pote atabur babur
    Serep.
    Terep.
    Nangeng
    Enger neng e sokma
    Aba’ tagiyur engerra sokma
    Kadharuy atemmowa salerana
    Sapangedep adulit ka edep
    Pas aonyar ngombar e mata
    Nangeng sakabbinna la serna
    Kare paesan pote atabur babur
    Serep
    Terep
    Ekembari nyredhemma campaka molja

    (Arach Jamali).

  10. Hal lain berkaitan dengan bangsalan, bak-tebbagan, sendelan dan lainnya merupakan karya sastra yang masih bertahan di Madura, khususnya di kalangan masyarakat tradisional.
Selain tersebut dalam bentuk sastra tulis, sastra lisan cukup akrab dalam kehidupan masyarakat Madura, usianyapun cukup tua dan tidak dikenal pengarangnya (anonim), semisal syair Dhi’-nondhi’ ne’nang:, dongeng. lok-alok atau, dalam bentuk puisi mainan anak-anak seperti Pa’kopak Eling, Jan-anjin, Cong-Koncong Konce, Teng-nyalateng, Ma-dalima ngoda, Ri-riri kolek, dan lainnya.

Selain tersebut dalam sastra lisan, bahasa Madura mengeenal puisi ritual yang biasanya digunakan untuk memohon hujan, selamatan laut, menolak bala dan kepentingan lainnya dalam upacara pantil, cahhe’, ratep dan pojiyan.

Menggali Puing-Puing Yang Tersisa Tergesernya sastra Madura dalam kehidupan masyarakat Madura memang disebabkan oleh beberapa faktor, yang berkaitan dengan proses pembangunan. Namun demikian sebenarnya pembangunan itu tidak mesti menjadikan sastra daerah (Madura) harus tergeser. Justru sebaliknya menjadikan kehidupan ini khas apabila sastra di tengah-tengah pembangunan. Sejalan dengan lajunya pembangunan di berbagai sektor, maka sarana dan fasilitas yang dibutuhkan manusia makin meningkat, termasuk akan kebutuhan hiburan. Berbagai ragam jenis hiburan yang menawarkan ragam jenis seperti, televisi, radio, vcd, plays station atau jenis hiburan elektronik lainnya sehingga mampu menggagalkan minat terhadap karya sastra sendiri. Hal semacam cukup kuat merambah ke seantero pelosok Madura. Berdasarkan berbagai kekhawatiran akan punahnya sastra Madura diantara gemerlapnya seni-seni yang lain yang berbau dan dikemas secara modern, sebenarnya di suatu sudut masih terdengar suara-suara sastra Madura meski tidak terdengar gaungnya. Paling tidak, beberapa pihak mencoba mempertahankan dan melestarikannya, namun sejauh ini belum memberikan suatu kekuatan sehingga sastra Madura benar-benar dimiliki oleh masyarakat Madura. Di daerah Sumenep misalnya, gerakan sosialisasi bahasa dan sastra Madura telah sedemikian gencar dilakukan, paling tidak oleh Tim Nabara. Namun sayang, dari mereka rata-rata telah lansia, maka gerakan yang dimiliki hanya sebatas menunggu “petuah” dari lembaga induknya. Dan pada gilirannya kehidupan sastra Madura masih berkisar dalam batas lingkaran kecil. Sedang sastrawan diluarnya lebih asyik memperbincangkan perkembangan sastra Indonesia modern yang “konon” lebih menjanjikan daripada mempertahankan “tradisi” sastra daerah nya sendiri.

Ada beberapa sebab yang menghambat perjalanan kehidupan sastra Madura, antara lain:

  1. Penggunaan bahasa Madura kurang instens dalam bahasa tutur di masyarakat
  2. Kurang adanya guru berkelayakan dalam bidang studi bahasa daerah, baik tingkat dasar maupun menengah pertama
  3. Media dan penerbitan buku berbahasa Madura nyaris tidak ada
  4. Kurang maraknya ivent sastra Madura baik dalam bentuk sayembara/lomba, pertemuan, seminar dan sejenisnya sehingga sastra Madura benar-benar tertinggal
  5. Dari beberapa sebab lain yang mendukung lemahnya minat masyarakat terhadap sastra Madura. Alternatif kemungkinan yang dapat ditawarkan menuju perkembangan sastra Madura ke depan, barangkali

    1. Keseriusan pemerintah dalam hal ini melalui instansi terkait segera mengambil alternatif jalan keluar membudayakan bahasa dan sastra Madura bekerjasama dengan pihak saatrawan/organisasi seni/LSM
    2. Meningkatkan guru bidang studi bahasa daerah untuk seluruh tingkatan untuk menghindari pencampur adukan masing-masing guru da1am seluruh bidang studi.
    3. Membuka lebar-lebar media massa (cetak maupun elektronik) dalam lembaran budaya/sastra Madura.
    4. Membuka jurusan bahasa dan sastra Madura di lembaga perguruan tinggi yang mencetak kader guru atau pendidikan lainnya yang memadai.
    5. Penggalakan belum lomba/sayembara menulis bahasa/sastra Madura, pertemuan-pertemuan sastra dan bentuk kegiatan lainnya yang memungkinkan digemarinya karya sastra Madura.
    6. Penerbitan-penerbitan buku-buku sastra Madura.
    Akhirul Kata Dalam pemikiran modern orang boleh berpendapat bahwa sastra tidak harus menjadi cermin masyarakat, namun sebenarnya sastra Madura merupakan cermin dari masyarakatnya.

Maka tidaklah berlebihan bila dalam makalah ini tak lebih dari sekedar menyumbangkan sedikit harapan khususnya bagi masyarakat Madura serta siapapun yang peduli terhadap nilai-nilai karya sastra Madura.

Kepustakaan
  • Dewi, Satya, Trisna Kemala; 1994 Sastra Lisan: Puing-puingnya Masih Tersisa Buletin, DKS, Nomor 2-3/Pebruari – Maret 1994.
  • Hariyadi, M.; dkk, 1981, Sastra Madura Modern – Cerkam dan Puisi, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, Jakarta.
  • Hutomo, Sadi, Suripan, Drs., 1981, Sastra Madura Modern, Majalah Sronen (no. 7 tahun 1981)
  • Tayib. Moh.; Basa Sastra Madura SPG Pamekasan
  • Imran, Zawawi, D.; Sastra Madura yang Hilang Belum Berganti,
  • Wardisastra, 1914; Babad Songenep
  • Bangsatarona, R.H.; Caretana Rama, Tim Nabara, Majalah Konkonon No. 2/90; 25/922; 28/92. Sumenep, 13 Desember 2008
Disampaikan pada Kongres I Bahasa Madura, tanggal 15 – 19 Desember 2008, di Pamekasan

Terkait:

Sumber: Lontar Madura, 20-05-2011

Label: , ,

Meredupnya Spirit Literer Bahasa Madura

Catatan Menyambut Kongres I Bahasa Madura

Oleh: Mohamad Ali Hisyam



klik naskah untuk memperbesar




Sumber: Kompas, 15/12/2008

Label: , ,

Gelisah atas Masa Depan Bahasa Madura

Kaum Muda Tak Respek, Kaum Tua Sibuk Berdebat

Kalangan seniman-sastrawan Sumenep gelisah terhadap kelangsungan Bahasa Madura (BM). Pasalnya, kaum muda dari dulu hingga kini tidak begitu peduli BM hidup atau mati. Mengapa?

Sebuah meja bundar di rumah makan Jl Diponegoro dilingkari seniman-sastrawan dan wartawan. Mereka asik ngobrol kesenian dan bahasa Madura yang tidak bergairah. Tema seni dan bahasa Madura muncul begitu saja menyambut kongres Bahasa Madura yang dimulai hari ini.

Seniman Edy Setiawan tiba-tiba mengingat masa lalu di era 1980-an. Pria yang suka memotret ini berada di Kamal untuk hunting foto malam tahun baru. Edy mengaku menemukan kelompok anak muda Madura berkumpul di pelabuhan.

Terdengar obrolan kelompok anak muda Madura itu yang meminta teman-temannya tidak berbahasa Madura. "Awas, jangan berbicara bahasa Madura," kata Edy mengutip anak muda Madura yang disampaikan kepada rekannya saat malam pergantian tahun (1979-1980).

Ketua PWI Abd Rasyid menemukan hal yang sama saat bertandang ke Malang di era 1990-an. Sebagian kaum muda Madura di Malang hanya menampakkan dirinya sebagai warga Madura saat kepepet. Misalnya, dia mencontohkan anak Madura mengakui sebagai warga Madura ketika terancam.

Rasyid membayangkan jika semua warga Madura di tempat lain di luar Madura bersikap sama, pria berambut keriting itu ragu BM akan populer. Begitu pula, katanya, kesenian Madura tidak jauh beda nasibnya. Dia menilai generasi muda mulai enggan mengakui identitasnya sebagai bagian dari Madura. Buktinya, Madura diperlukan pada saat terjepit. "Saatnya pemerintah turun tangan (untuk menyelematkan Madura)," ungkapnya.

Sementara sastrawan Ibnu Hajar menganggap enggannya kaum kaum muda bermadura karena BM dikesankan ribet. Dia ingin BM disederhanakan tanpa mengurangi substansi berbahasa. Ibnu menjelaskan, perdebatan BM dari dulu hingga kini lebih berkutat pada gramatika. Akibtnya, dalam SMS pun generasi muda tidak memakai bahasa ibunya.

Begitu pula, Ibnu ragu kesenian Madura bisa melesat. Dia beralasan kesenian Madura lebih populer di luar dibanding di Madura sendiri. Pria yang pernah dijuluki Chairil Anwar-nya Madura ini yakin semakin lama kesenian etnik Madura semakin rapuh. Alasannya, penyanggah kesenian etnik Madura yang tak lain kaum muda sendiri tidak ngopeni bahasa dan kesenian Maduranya. "Butuh proses dan perjuangan bersama agar bahasadan seni kita (Madura) tidak mati," ungkapnya.(ABRARI)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 16 Desember 2008

Label: ,

Runtuhnya Kekuatan Bahasa Ibu: Madura

Bahasa ibu - atau yang secara populer, tetapi kurang tepat, disebut juga bahasa daerah - di Indonesia saat ini sedang terancam kepunahan. Globalisasi yang menyerbu melalui berbagai media telah meminggirkan khazanah budaya daerah, termasuk bahasa. Penutur bahasa daerah cenderung semakin sedikit.

Oleh M Mushthafa

Kekhawatiran semacam ini sebenarnya cukup berkembang di Tanah Air, seperti tercermin pada Kongres Kebudayaan Madura Maret 2007 di Sumenep, atau dalam Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang beberapa bulan sebelumnya.

Kerisauan berbagai pihak, terutama kalangan budayawan, atas nasib budaya dan bahasa ibu ini didasarkan atas kesadaran, kedua hal tersebut memuat nilai-nilai signifikan dalam pembentukan karakter dan kepribadian seseorang.

Ajip Rosidi (Suara Merdeka, 26/2/2007), sastrawan dan penggagas Hadiah Rancage, menegaskan, anak-anak belajar memahami dunia dan lingkungannya melalui bahasa ibu. Bahasa ibu menancapkan nilai-nilai dan norma yang kemudian berakar kuat pada diri seseorang.

Seperti disinyalir Ajip Rosidi, generasi mutakhir Indonesia saat ini bahasa ibunya adalah bahasa Indonesia. Ini terutama banyak ditemukan di kota-kota besar. Afrizal Malna, penyair kontemporer Indonesia, memberikan pengakuan yang cukup menarik disimak. Bagi penyair kelahiran Jakarta itu, bahasa Indonesia yang menjadi bahasa ibunya ”telah kehilangan akal budayanya dan diterima hanya sebagai alat komunikasi dan politik penyatuan” (Afrizal, 2002: 68-70).

Ada nuansa keterasingan yang terekam karena nilai-nilai kebudayaan yang tersimpan dalam bahasa Indonesia tak pernah bisa akrab dengannya. Ada catatan kerinduan atas bahasa ibu dan khazanah kebudayaan yang dikandungnya, yang ternyata tak dimiliki oleh bahasa Indonesia.

Kasus di Madura

Dalam konteks kebudayaan Madura, ada satu contoh mutakhir tentang meredupnya bahasa Madura. Awal 2008 ini, Lomba Cipta dan Baca Puisi Madura yang digelar Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Wiraraja Sumenep ternyata hanya diikuti 17 peserta.

Terkait dengan itu, Achmad Zaini Makmun, Staf Ahli Balai Bahasa Surabaya, semakin yakin dengan hasil riset yang memprediksi bahwa bahasa Madura akan musnah pada tahun 2024. Hal itu akan ditandai dengan hilangnya apresiasi dan kepemilikan warga Madura terhadap bahasa ibunya.

Tiga Masalah Utama

Menurut penulis, setidaknya ada tiga masalah utama dalam proses pemudaran bahasa ibu ini. Pertama, masalah dokumentasi yang ditandai oleh tidak cukup banyaknya dokumentasi tentang bahasa Madura yang ditulis dengan rapi, baik, dan dapat diakes secara luas, baik dalam bentuk kamus maupun karya kesusastraan pada umumnya. Menurut Prof Mien, sampai saat ini berbagai karya literer Madura, seperti Trunojoyo, Joko Tole, Ke’ Lesap, dan Bindara Saud, belum tertuang dalam buku sastra yang standar.

Andai kata sudah ada upaya dan produk yang terdokumentasi, lalu ke mana sebenarnya arah pemanfaatan khazanah bahasa Madura tersebut untuk konteks kekinian?

Di zaman dengan kemajuan ilmu dan teknologi luar biasa seperti saat ini, terlihat jelas betapa bahasa ibu seperti bahasa Madura tak cukup kredibel berperan sebagai penyampai kemajuan-kemajuan itu.

Sebenarnya cukup menarik untuk melihat peran pesantren tradisional (atau pesantren 'salaf') di Madura yang hingga saat ini menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa pengantar utama dalam pengajaran kitab kuning. Bagi sebagian mereka, bahasa Madura bahkan dipandang lebih lengkap dan komprehensif menggambarkan status gramatikal struktur bahasa Arab dalam kitab kuning yang diajarkan dibandingkan dengan bahasa lain.

Akan tetapi, saat ini banyak pesantren di Madura mengalami transformasi kelembagaan (pendidikan) yang cukup menarik untuk diamati sehingga lambat laun penggunaan bahasa Madura dalam pengajaran kitab kuning atau sebagai bahasa pengantar mulai merosot. Banyak pesantren mengadopsi begitu saja sistem pendidikan nasional yang notabene tidak berbasis bahasa ibu. Kecenderungan kuat ini sungguh telah melemahkan peran pesantren dalam melestarikan bahasa Madura.

Hal penting lain: parahnya kedudukan karya terjemahan kitab-kitab kuning ke dalam bahasa Madura yang ditulis dengan huruf Arab pegon dalam dunia percetakan. Banyak karya jenis ini yang dicetak dengan kemasan amat sederhana dan dijual dengan harga cukup murah.

Seperti cetakan karya-karya bernilai dari Kiai Abdul Madjid Tamim (Pamekasan), Kiai Umar Faruq (Bangkalan), Kiai Muhammad Nur Muniri Isma’ili (Pamekasan), dan sebagainya. Bahkan, beberapa karya kiai ternama, Kiai Habibullah Rais (Sumenep), harus dicetak dan didistribusikan sendiri. Hal ini seperti sebuah proses pemusnahan yang berlangsung sistemik dan sistematis.

Dalam Kesenian

Peran penting lain pesantren dalam pelestarian bahasa Madura ada pada pengembangan sastra Madura, khususnya pada bentuk syi’ir, salah satu bentuk puisi Arab yang lazim digubah di kalangan santri atau kiai.

D Zawawi Imron (1989: 194-198) mencatat, sebenarnya ada beberapa syi’ir Madura yang pernah diterbitkan. Namun, sayang, dokumentasi syi’ir Madura itu saat ini nyaris tak dapat ditemukan lagi, antara lain karena dokumentasi tidak dilakukan dengan cukup baik, bahkan oleh penggubahnya.

Akhirnya, masalah ketiga bahasa Madura ada di soal kelembagaan. Siapakah secara kelembagaan yang dapat berperan aktif untuk mengupayakan pelestarian bahasa dan sastra Madura? Berbagai lembaga sosial di masyarakat, seperti digambarkan di atas, semisal pesantren atau seni tradisi, ternyata tak cukup memiliki daya tahan kuat untuk memaksimalkan pemanfaatan bahasa dan sastra Madura.

Sementara itu, pemerintah cenderung memperlakukan kekayaan khazanah budaya lokal dalam paradigma pariwisata, yang sesungguhnya hanya selimut dari proses peminggiran.

Kini tinggal mengharap Kongres Bahasa Madura dapat segera terlaksana. Di ajang itu berbagai persoalan dapat dibicarakan secara mendalam sehingga bahasa Madura yang digunakan oleh lebih dari 13 juta penutur itu tak tinggal hanya jadi sejarah, pengisi kertas yang kian menguning.

M Mushthafa, Guru SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 7 Juni 2008

Label: , , , ,

Quo Vadis Penyelamatan Bahasa Madura

Oleh: Mohammad Suhaidi R B



klik naskah untuk memperbesar




Sumber: Kompas, 10/03/2008

Label: , ,