Gelisah atas Masa Depan Bahasa Madura

Kaum Muda Tak Respek, Kaum Tua Sibuk Berdebat

Kalangan seniman-sastrawan Sumenep gelisah terhadap kelangsungan Bahasa Madura (BM). Pasalnya, kaum muda dari dulu hingga kini tidak begitu peduli BM hidup atau mati. Mengapa?

Sebuah meja bundar di rumah makan Jl Diponegoro dilingkari seniman-sastrawan dan wartawan. Mereka asik ngobrol kesenian dan bahasa Madura yang tidak bergairah. Tema seni dan bahasa Madura muncul begitu saja menyambut kongres Bahasa Madura yang dimulai hari ini.

Seniman Edy Setiawan tiba-tiba mengingat masa lalu di era 1980-an. Pria yang suka memotret ini berada di Kamal untuk hunting foto malam tahun baru. Edy mengaku menemukan kelompok anak muda Madura berkumpul di pelabuhan.

Terdengar obrolan kelompok anak muda Madura itu yang meminta teman-temannya tidak berbahasa Madura. "Awas, jangan berbicara bahasa Madura," kata Edy mengutip anak muda Madura yang disampaikan kepada rekannya saat malam pergantian tahun (1979-1980).

Ketua PWI Abd Rasyid menemukan hal yang sama saat bertandang ke Malang di era 1990-an. Sebagian kaum muda Madura di Malang hanya menampakkan dirinya sebagai warga Madura saat kepepet. Misalnya, dia mencontohkan anak Madura mengakui sebagai warga Madura ketika terancam.

Rasyid membayangkan jika semua warga Madura di tempat lain di luar Madura bersikap sama, pria berambut keriting itu ragu BM akan populer. Begitu pula, katanya, kesenian Madura tidak jauh beda nasibnya. Dia menilai generasi muda mulai enggan mengakui identitasnya sebagai bagian dari Madura. Buktinya, Madura diperlukan pada saat terjepit. "Saatnya pemerintah turun tangan (untuk menyelematkan Madura)," ungkapnya.

Sementara sastrawan Ibnu Hajar menganggap enggannya kaum kaum muda bermadura karena BM dikesankan ribet. Dia ingin BM disederhanakan tanpa mengurangi substansi berbahasa. Ibnu menjelaskan, perdebatan BM dari dulu hingga kini lebih berkutat pada gramatika. Akibtnya, dalam SMS pun generasi muda tidak memakai bahasa ibunya.

Begitu pula, Ibnu ragu kesenian Madura bisa melesat. Dia beralasan kesenian Madura lebih populer di luar dibanding di Madura sendiri. Pria yang pernah dijuluki Chairil Anwar-nya Madura ini yakin semakin lama kesenian etnik Madura semakin rapuh. Alasannya, penyanggah kesenian etnik Madura yang tak lain kaum muda sendiri tidak ngopeni bahasa dan kesenian Maduranya. "Butuh proses dan perjuangan bersama agar bahasadan seni kita (Madura) tidak mati," ungkapnya.(ABRARI)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 16 Desember 2008

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda