Stereotip Miring Wartawan Belanda

THE Java Post, halaman 22/9, edisi Jumat 19 Juni 1911, telah memuat berita dan artikel mengenai tradisi carok di Madura. Dalam pemberitaan Koran terbitan penjajah Belanda itu dijelaskan bahwa carok bukan hanya terjadi di Madura, tetapi juga di Jawa. Apa itu carok, hanya masyarakat Madura yang tahu.

Stereotip miring tentang masyarakat yang dituliskan oleh wartawan Belanda saat itu benar-benar membuat siapapun yang membacanya menjadi takut pada warga Madura. Tidak hanya penjajah Belanda yang ketakutan menghadapi warga Madura, tetapi masyarakat Indonesia lainnya juga terpengaruh oleh pemberitaan media Belanda tersebut.

"Sempat saya kutip beberapa kata yang membuat warga Madura memiliki kesan yang sangat kasar. Ini dia, "carok adalah tradisi warga Madura untuk menyelesaikan permasalahan. Senjata tajam yang ada di tangan mereka siap melukai siapapun dan tangan yang lain siap untuk merampas. Lelaki Madura selalu membawa-bawa arit, tanpa itu mereka akan dikatakan setengah pria," baca Medi dari sebuah buku catatan miliknya.

Terang saja, ungkapan dan penulisan yang terkesan sarkasme itu membuat masyarakat Madura dijauhi. Bukan disegani karena kemampuannya, tetapi ditakuti karena memiliki potensi meledak yang luar biasa. Namun, di kemudian hari masyarakat menemukan hal beda terhadap orang Madura. Mereka merasa terkejut ketika berkenalan atau bertemu dengan warga Madura yang memiliki sopan santun yang tinggi dan sangat menghormati orang lain.

"Orang kemudian bertanya-tanya. Ternyata apa yang selama ini diungkapkan tentang masyarakat Madura tidak sama dengan keyataannya," tutur Ketua Departemen Dasar Ilmu Hukum FH Unair ini. Satu-satunya penjelasan untuk pertanyaan masyarakat luar Madura tersebut adalah lingkungan dan pemahaman tentang hukum tertentu.

Menurut Medi, alasan mengapa kian hari tradisi carok di Madura semakin hilang, disebabkan oleh makin kecilnya menganut hukum lokal tersebut. Sebab, tradisi tersebut awalnya juga memiliki aturan yang jelas. "Kenapa carok saya sebut tradisi? Karena carok jaman dulu tidak selalu berakhir dengan kematian. Ketika ada yang mengaku kalah maka carok dihentikan. Nah, letak kehormatannya adalah ketika seseorang menyerah dalam duel tersebut. Paling tidak, kalah menang tetap terhormat. Sebab, tidak mudah mengakui kekalahan. Inilah alasan saya menyebut carok adalah sebuah tradisi," papar pria berkumis ini.

Diceritakan, saat dia melakukan penelitian tentang kontinyuitas carok. Di sebuah desa ada seorang pendekar yang tidak pernah melayani tantangan untuk berduel mencoba kemampuannya. Karena beberapa kali menolak berduel, maka orang yang menantangnya menggunakan cara diluar jalur aturan carok di desa tersebut, yaitu membawa lari istrinya. Akhirnya, merasa kehormatannya dilecehkan, pendekar tersebut mencari orang yang melarikan istrinya tersebut.

"Dalam lingkungan masyarakat tersebut dibenarkan melakukan carok untuk membela kehormatan diri," tandasnya. Kemudian, sambungnya, setelah bertemu dengan orang yang membawa istrinya tadi, sang pendekar langsung berduel menggunakan senjata arit. Tidak sampai terbunuh, lawan pendekar tersebut akhirnya menyerah karena tangannya terluka. Puas dengan pengakuan tersebut, sang pendekar tersebut langsung menghentikan perkelahiannya. Padahal, jika sang pendekar membunuh lawannya pun masyarakat setempat tidak akan menyalahkannya.

Sayang, hal tersebut tak pernah ter-ekspos ke permukaan. Padahal, hakikat carok yang sebenarnya bukanlah perkelahian yang selalu berujung kematian. Dia mengungkapkan, justru merasa sangat "Madura" ketika sedang memelajari antropologi hukum di Belanda. Sebab, hampir semua hal tentang Madura ada di negara yang pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun itu. Kamus tentang bahasa dan segala sesuatu tentang Madura tersimpan rapi dalam 2 jilid yang tebalnya masing-masing hampir seukuran jengkal orang dewasa. Dalam kamus tersebut kata carok diartikan berkelahi dengan menggunakan senjata tajam. (nra/ed)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 03 September 2008

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda