"Padha Reng Madhuranah Tak Parcajah Da' Taretanah Dhibi'"
Oleh M Puteri Rosalina
"Padha reng madhuranah tak parcajah da' taretannah dhibi' (sama-sama orang Madura kok tak percaya dengan saudaranya sendiri)," tutur Abdus Sodik (38), warga Desa Buker, Kecamatan Jrengik, Sampang. Nada kalimatnya langsung meninggi ketika ditanya mengenai pemungutan ulang di Madura.
Pria yang hanya mengenyam pendidikan sampai SMA itu tersinggung karena Mahkamah Konstitusi yang kini dipimpin Mahfud MD, putra Sampang, tidak percaya proses pemungutan suara di Bangkalan dan Sampang.
Awal Desember lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan mengadakan penghitungan suara ulang di Pamekasan dan pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang tanggal 21 Januari mendatang.
Dalam putusannya MK menyebutkan telah terjadi pelanggaran sistematis, terstruktur, dan masif di Bangkalan dan Sampang. Otomatis pemilihan ulang di dua kabupaten tersebut menjadi penentu kemenangan pasangan calon Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) dan Soekarwo- Saifullah Yusuf (Karsa).
Abdus mengetahui pemungutan ulang Pilkada Jatim merupakan hasil putusan dari MK. Dalam survei Litbang Kompas, masyarakat yang berpendapat sama dengan Abdus sekitar 41 persen. Sisanya menyatakan tidak mengetahui bahwa pilkada ulang merupakan hasil putusan MK. Mereka hanya mengetahui bahwa akan dilaksanakan pemungutan ulang tanggal 21 Januari mendatang.
Informasi mengenai agenda pilkada ulang merupakan hasil putusan MK, mayoritas (67 persen) diketahui oleh masyarakat yang tinggal di wilayah kota. Lembaga seperti MK hanya diketahui oleh masyarakat yang mudah mengakses informasi dari televisi, radio, atau media cetak.
Sedangkan masyarakat desa hanya sekadar mengetahui akan ada pilkada ulang tanpa mengetahui siapa yang memutuskan. Masyarakat desa, menurut Ekna Satriyati, dosen Sosiologi Universitas Trunojoyo, Bangkalan, lebih percaya pada kiai atau blater daripada aparat pemerintahan seperti kepala desa. "Ketika kiai mengatakan ada pilkada ulang dan masyarakat diminta berpartisipasi, mereka akan melaksanakannya," ucap Ekna. Sejarah kekerasan
Sikap masyarakat yang tersinggung tersebut, menurut Ekna, berkaitan dengan sejarah politik yang pernah terjadi di Bangkalan dan Sampang. Kabupaten Sampang khususnya memang punya sejarah kekerasan politik yang buruk. Tahun 1993 tragedi Nipah mencuat dengan terbunuhnya beberapa penduduk desa yang mempertahankan tanahnya yang akan dijadikan waduk oleh pemerintah. Tradisi kekerasan tersebut kembali terulang dengan pemilihan pada Pemilu 1997. Ketika pilkada Bupati Sampang dilaksanakan tahun 2000, konflik kembali terjadi. Bahkan sempat terjadi kekosongan pemerintahan sampai 2001. Tradisi ini terulang lagi pada pilgub Jatim tahun 2008.
Masyarakat tidak hanya tersinggung. Beberapa unsur masyarakat dan pemimpin daerah bahkan menolak pemilihan ulang tersebut. Bupati Sampang Noer Tjahja menyatakan menolak pemilihan ulang dan meyakini tidak ada pelanggaran seperti yang tercantum dalam putusan MK (Kompas Jawa Timur, 12 Desember 2008). Panitia pemungutan Suara Kabupaten Bangkalan dan Sampang juga merasa kecewa dan menolak terhadap putusan MK. Bahkan mereka enggan diaktifkan kembali dalam pilkada ulang (Kompas, 10 Desember 2008).
Mayoritas masyarakat (39,7 persen) menyatakan tidak setuju telah terjadi kecurangan pada pilkada putaran kedua. Masyarakat merasa telah melaksanakan kewajibannya pada pemilihan pada 4 November lalu. "Kecurangan sebenarnya terjadi pada panitia PP," kata Buhari (50) ketika ditanya pendapatnya mengenai kecurangan yang terjadi pada pilkada putaran kedua.
Sebaliknya sekitar 33,7 persen masyarakat menyatakan setuju telah terjadi kecurangan pada pilkada putaran kedua. Sebagian masyarakat yang menyatakan setuju menyebutkan bentuk-bentuk kecurangan yang terjadi berupa penggelembungan suara, ketidaknetralan panitia pemungutan suara, pemberian uang kepada pemilih, dan adanya pengaruh tokoh masyarakat. Kecurangan tersebut menurut mereka sudah menjadi rahasia umum.
Agenda pemungutan ulang di Bangkalan dan Sampang tinggal beberapa hari lagi. Sikap masyarakat Madura terhadap keputusan MK tersebut akan terbukti oleh tingkat partisipasi pada pemilihan ulang tanggal 21 Januari mendatang.
M Puteri Rosalina, Litbang Kompas
Sumber: Kompas, Senin, 19 Januari 2009
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda