Daerah Minus Butuh 'Jalan'

LAMA tak pulang ke kampung halaman karena lebih banyak kesibukan di Surabaya, Abd Salam mengaku hanya memiliki sedikit informasi mengenai perkembangan daerah di Sampang. Dia datang ke Surabaya sejak tahun 1976, ketika melanjutkan kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya dan menjadi dosen setelah lulus.

Namun, dia memiliki perbandingan mengenai kondisi tempatnya belajar hingga kini dengan kondisi kampung halamannya di Madura. Menurut dia, Surabaya memang lebih banyak menyediakan segala hal yang dibutuhkan untuk belajar dan meningkatkan kualitas diri. Karena itu, Madura khususnya Sampang, harus melakukan banyak perubahan untuk menyediakan infrastruktur bagi peningkatan sumber daya manusianya.

"Saya lihat sejak lama Surabaya memang lebih banyak menyediakan jalan bagi mereka yang ingin berkembang. Jalan dalam arti harfiah dan fasilitas lainnya," terangnya.

Di Surabaya, putra almarhum H Nawawi ini juga banyak melihat perkembangan pendidikan hidup di lingkungan formal maupun informal. Menurut dia, kondisi Madura memang jauh jika dibadingkan dengan Surabaya. Namun, tidak berarti tidak bisa mengejar ketertinggalan tersebut. "Sampang kan masih banyak daerah minusnya. Nah, daerah-daerah minus seperti itu butuh jalan. Jalan yang sebenarnya," tandasnya.

Selama ini, sambungnya, daerah minus di Sampang harus diakui masih kekurangan infrastruktur yang memadai untuk peningkatan kualitas SDM-nya. Beberapa daerah masih banyak terisolir karena infrastruktur -terutama jalan, belum dibenahi sebagai akses pendidikan.

Salam memerkirakan, kondisi itu yang menyebabkan banyaknya pendidik yang enggan mengajar di daerah pelosok. Selain kesulitan akses, mereka juga mengalami kesulitan dalam hal fasilitas. "Bagaimana mau maju kalau daerah pelosok masih sulit dijangkau. Guru-guru pasti enggan mengajar di sana. Ditambah lagi fasilitas yang kurang," sesalnya.

Mengejar ketertinggalan tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Dijelaskan, harus ada rekayasa yang mengarah pada optimalisasi pengembangan daerah. Semua bergantung pada pemerintah daerah setempat dan kesadaran masyarakat. "Mengejar itu, tergantung motornya. Kalau motornya cepat, bisa cepat dan maksimal juga pencapaiannya," ungkapnya.

Mengenai pengembangan kualitas SDM, warga Madura yang dulu tinggal di Jalan Delima (Sampang) ini juga menyayangkan berkembangnya studi-studi strata Sabtu-Minggu di Madura. Padahal, perguruan tinggi yang menawarkan fasilitas belajar tersebut dipastikan tidak bisa meluluskan sarjana-sarjana berkualitas. "Tapi masih banyak saja yang terpengaruh dan tertarik untuk belajar Sabtu-Minggu. Padahal, dilihat jumlah pertemuan untuk belajarnya saja sudah bisa dipastikan segalanya pasti di bawah standar," sesalnya lagi.

Dia mengungkapkan, meski dirinya tidak termasuk orang yang memiliki cita-cita tertentu, dia berhasil menghadapi segala pendidikan dengan baik. Maksudnya, tanpa melalui pendidikan-pendidikan singkat hanya untuk mendapatkan formalitas ijazah.

Suami Muzayyanah ini berangkat dari Sampang ke Surabaya setelah menyelesaikan pendidikannya di PGAN Sampang. Sebelumnya dia bersekolah di SDN Gunung Sekar 2 hingga kelas VI. "Sebenarnya tidak sampai lulus karena saya merangkap sekolah di madrasah ibtidaiyah. Jadi, setelah lulus MI saya tinggalkan SD," terangnya.

Tanpa orientasi kerja tertentu dia kemudian melanjutkan ke PGAN Sampang dan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Belajar sungguh-sungguh menjadi tekadnya sejak berangkat dari Madura. Nilai kelulusannya membawanya menjadi dosen atas tawaran pihak kampus. Setelah berlangsung lama menjadi dosen, dia mendapatkan kepercayaan tambahan untuk mengelola kampus di Fakultas Syariah sebagai dekan. (nra/ed)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 02 Januari 2009

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda