Abd. Salam, Dekan Fakultas Syariah IAIN
Sunan Ampel Surabaya

Berharap Warga Madura Banyak Merenungi Pergantian Tahun

Berakhirnya tahun Hijriah dan Masehi hampir bersamaan. Umumnya, peringatan pergantian tahun diisi dengan berbagai kegiatan di masyarakat. Bagi mereka yang memeringati pergantian tahun hijriah biasa mengisinya dengan kegiatan-kegiatan kegamaan. Sedikit berbeda dengan perayaan tahun masehi yang masih banyak diisi oleh kegiatan hura-hura, terutama generasi muda.

SUDUT-SUDUT Kota Surabaya sudah mulai ramai dengan persiapan perayaan pergantian tahun masehi beberapa hari lagi. Spanduk, baliho, dan pamflet-pamflet semakin gencar mengajak mereka yang terbiasa merayakan pergantian tahun di berbagai tempat hiburan. Kamar-kamar hotel mulai habis dipesan, event organizers mau tak mau ikut sibuk mempersiapkan berbagai acara meriah menyambut Tahun Baru.

Demikian gambaran Kota Metropolis itu menyiapkan pergantian tahun. Perbedaannya jelas terlihat, jika dibanding sambutan Tahun Baru Hijriah. Jumlah ucapan Selamat Tahun Baru 1430 Hijriah jauh lebih sedikit dengan ajakan untuk merayakan pergantian tahun Masehi. Bahkan, tidak semua masjid membentangkan spanduk memberi ucapan selamat Tahun Baru tersebut. Maklum, kota besar lebih mengenal tahun Masehi daripada Hijriah.

Mengenai perayaan pergantian tahun masehi, generasi muda Madura pun ada yang terbiasa menyeberang selat untuk menghabiskan malam terakhir tahun sebelumnya. Mereka berduyun-duyun datang dan rela terjebak di kemacetan Kota Surabaya di malam itu. Bukan hanya dari Madura, tapi juga daerah lain tumpah ruah datang ke Surabaya untuk pergantian tahun.

"Sayang sekali, masyarakat kita (Madura, Red.) masih terlihat banyak yang belum memaknai pergantian tahun sebagai ajang kreasi diri dan persiapan di tahun selanjutnya," ujar pemilik nama dan gelar lengkap, Dr H Abd. Salam M.Ag, mengenai fenomena peringatan dan perayaan Tahun Baru Hijriah maupun Masehi.

Bagi dia, yang terpenting bukan pemisahan tahun Hijriah atau Masehi, melainkan bagaimana masyarakat memeringati keduanya tidak hanya sebatas ceremonial (upacara) atau hura-hura belaka. Menurut Salam-sapaannya- Tahun Baru apa pun semestinya melahirkan kesadaran akan waktu. Jika kesadaran itu sudah ada, maka masyarakat akan mulai merenung untuk kehidupannya di masa yang akan datang. "Saya berharap warga Madura bisa seperti itu. Mereka harus sadar bahwa waktu tidak pernah berhenti. Mereka harus mengejar banyak ketertinggalan," imbaunya.

Sebab, lanjutnya, jika waktu dibiarkan lewat begitu saja, maka tidak akan ada manfaat yang bisa diambil. Padahal, mau tidak mau waktu memberikan batasan pada seseorang untuk berbuat sesuatu. Paling tidak, pergantian tahun bisa dimaknai dengan makin sempitnya kesempatan untuk berbuat sesuatu. Sehingga, harus ada target yang harus dikejar sebelum terlambat. "Kan setiap datang tahun baru berarti umur kita semakin berkurang," tandasnya.

Pada dasarnya, makna untuk mengingatkan kesadaran waktu tidak hanya ada di pergantian tahun Hijriah ataupun Masehi. Pada manusia yang sadar, kesadaran akan pentingnya waktu selalu ada setiap saat. Karena itulah, mereka yang punya kesadaran tersebut selalu ada selangkah di depan mereka yang kurang memiliki disiplin waktu. Menyia-nyiakan waktu berarti menyia-nyiakan kehidupan di muka bumi.

"Yang perlu direnungi, setiap pergantian tahun sebenarnya bagaimana tahun depan bisa melahirkan hal yang lebih baik daripada tahun sebelumnya. Kalau pedagang ya bagaimana memajukan usahanya, semua harus sama-sama seperti itu sesuai porsinya masing-masing," jelas pria yang dikaruniai 4 anak ini.

Pria kelahiran Sampang, 17 Agustus 1957 ini meyakini Madura masih memiliki tradisi memeringati pergantian tahun dengan cara yang positif. Terutama di pergantian tahun Hijriah umumya masyarakat Madura mengisinya dengan kegiatan pengajian, doa bersama, istighotsah dan bentuk-bentuk ibadah yang lain. Hanya, peringatan semacam itu semeriah perayaan pergantian tahun Masehi yang dijadikan penanggalan sehari-hari.

"Kalau penanggalan Hijriah itu kan hanya dipakai untuk penentuan hal-hal yang berhubungan dengan ibadah. Misalnya, puasa, haji, zakat dan lainnya. Maka penanggalan Hijriah masih ada di nomor 2. Jangan heran kalau hanya sedikit yang tahu ada tahun baru Hijriah," ujarnya.

Sementara, sambungnya, penanggalan Masehi dijadikan penanggalan umum yang segala kegiatan didasarkan pada penanggalan berdasarkan siklus revolusi matahari tersebut. "Tetap saja itu bukan problem, yang penting bagaimana kita memaknai dan merenungi setiap pergantian tahun itu," tegasnya.

Mengisi pergantian tahun dengan ibadah tanpa merenungi perubahan yang harus dicapai di masa akan datang tidak akan melahirkan kesadaran waktu. Terlebih jika merayakan pergantian tahun dengan kegiatan bersenang-senang dan hura-hura hingga lupa pada tanggung jawab yang harus diemban tahun depannya.

"Sekali lagi saya sangat berharap warga Madura lebih banyak merenung. Tahun depan kan Suramadu sudah jadi, ketertinggalan apa dan apa saja yang harus dipersiapkan harus dipikirkan. Saya yakin, meski terlihat lebih banyak yang bersenang-senang, yang merenungi hal semacam itu juga banyak di Madura," ungkapnya. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 02 Januari 2009

Baca juga:
Daerah Minus Butuh 'Jalan'

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda