Madura Hindu Merayakan Nyepi (1)
Di Bongso Wetan, Damai Bukan Sekadar Harapan
Oleh: Achmad Supardi
Madura namun Hindu. Inilah yang membuat penduduk Dusun Bongso Wetan menjadi unik. Selama ini, mayoritas di antara kita mengasosiasikan suku Madura dengan agama Islam. Kita bahkan seolah yakin bahwa suku Madura takkan ada yang beragama selain Islam. Namun di dusun yang berhimpitan dengan Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, Surabaya ini, terdapat 223 kepala keluarga (KK) atau sekitar 800-an jiwa etnis Madura beragama Hindu. Mereka juga mempunyai pura besar di kampungnya.
Rabu (25/3) malam, Dusun Bongso Wetan berpesta. Ratusan orang memadati Pura Kertha Bumi. Yang laki-laki gagah dengan udengnya. Udeng yang dipakai bukan motif Madura tapi Bali. Sebagian berbusana lengkap termasuk kemeja dan sarung khas persembahyangan. Sebagian lagi memang berudeng, namun bawahannya hanya kaos atau sarung biasa yang lazimnya dipakai umat Muslim untuk salat.
Sementara, para perempuan tampil dengan aneka baju terbaru mereka, mayoritas memilih kain dan kebaya. Yang pasti, baik laki-laki maupun perempuan mengikatkan selendang di pinggangnya. Bau parfum jamaah berbaur dengan wangi dupa dan bunga.
Magrib baru saja datang. Enam ogoh-ogoh yang paginya diikutsertakan dalam tawur agung di Tugu Pahlawan, Surabaya, petang itu sudah berdiri di halaman pura. Ogoh-ogoh adalah patung aneka rupa, namun kesemuanya mewakili figur-figur makhluk halus jahat.
“Ogoh-ogoh ngelambangagin kejahatan i dunnyah se koduh imusnaagin. Karna ruah ogoh-ogoh iobber neng akhir upacara tawur agung (Ogoh-ogoh melambangkan kejahatan di dunia yang harus kita musnahkan, karena itu di akhir tawur agung mereka dibakar),“ kata Saptono (52) dalam bahasa Madura yang lancar. Ayah empat anak ini adalah salah satu pemangku (modin Hindu) di Dusun Bongso Wetan.
Di bagian dalam pura, umat melakukan persembahyangan. Setelah memercikkan tirta suci di gerbang dalam pura, mereka mengikuti jemaah lain yang lebih dulu melantunkan puji-pujian dan doa.
Tak lama setelah isya, pawai ogoh-ogoh dimulai. Saptono berdiri paling depan dengan lima pemangku (modin Hindu) lainnya. Setelah memercikkan tirta suci ke enam ogoh-ogoh, mereka membunyikan genta tanda dimulainya pawai ogoh-ogoh.
Di belakang para pemangku, ibu-ibu dalam balutan baju persembahyangan menyunggi sesaji. Lebih ke belakang, barisan pemuda membawa panji-panji diikuti barisan anak-anak pembawa obor, lalu para pemuda yang memanggul keenam ogoh-ogoh. Terakhir, kru pembawa gamelan dan mobil pengangkut sound system-nya. Ratusan orang ikut dalam pawai ini. Sebagian berasal dari luar Bongso Wetan.
Lepas dari gang tempat Pura Kertha Bumi berada, rombongan melakukan pusaran. Mereka berkeliling sebelum akhirnya memasukkan sebagian sesaji ke dalam sanggar cucuk --anyaman janur berbentuk rumah—yang ditancapkan di pertigaan itu.
Setelahnya, rombongan kembali berpawai. Mereka melintasi jalan-jalan di Dusun Bongso Wetan dan Bongso Kulon. Rombongan berhenti di tiap pertigaan dan perempatan. Di tempat-tempat itu mereka menggelar ritual pecaruan atau membujuk makhluk halus agar tidak mengganggu manusia.
“Dalam kepercayaan Hindu, pertigaan, perempatan, dan belokan adalah tempat-tempat yang disukai makhluk jahat. Kita perlu melakukan upacara pecaruan untuk menghindari celaka,“ kata salah satu tetua masyarakat Hindu Bongso Wetan.
Dalam pawai ogoh-ogoh inilah kerukunan masyarakat Bongso Wetan terbukti bukan sekadar klaim.
Rombongan pawai justru menjadi hiburan bagi sekitar 50 persen warga Bongso Wetan lainnya yang Muslim. Mereka menonton para pemuda Hindu menggoyang-goyang dan memutar-mutar ogoh-ogoh di pertigaan sebagai perlambang perlawanan terhadap makhluk halus jahat di dekat masjid warga Muslim Bongso Wetan.
“Soal kerukunan ini memang menjadi kebanggaan dan kebahagiaan kami. Meski kami ini berbeda agama, kami Hindu dan mereka Muslim, namun kami tak pernah bertengkar. Apa guna pertengkaran?“ kata peserta pawai lainnya.
Kata-kata lelaki yang biasa menjadi sopir bemo di Surabaya ini seperti gayung bersambut dengan spanduk perayaan Nyepi yang bertuliskan, “Mari kita ciptakan kedamaian di dalam hati, kedamaian di dunia, dan kedamaian selamanya“.
Penjor dan Gapura
Dusun Bongso Wetan tampak tak berbeda dibanding desa-desa lain di Gresik Selatan. Mayoritas warganya adalah petani. Selain padi, tanaman pare menjadi produk andalan dusun ini. Dilihat dari rumah penduduknya, dusun ini tergolong cukup sejahtera. Mayoritas rumah warga berdinding tembok, bahkan banyak pula yang dilapis keramik aneka motif. Model bangunannya pun banyak yang mengadopsi gaya Eropa dengan banyak pilar dan balkon. Di beberapa rumah bukan hanya tersimpan sepeda motor, namun juga mobil, dari truk pikup hingga kelas jeep. Sedikit saja rumah yang masih berdinding kayu, apalagi gedhek (anyaman bambu).
Sekilas, rumah-rumah warga tampak sama. Namun bila diperhatikan lebih seksama, ada ciri khas yang tak mudah dikenali. Sebagian rumah memiliki pagar, gerbang, atau dinding yang dihiasi gapura. Ada yang sekadar motif, ada pula yang mewujud dalam bentuk gapura atau candi mini.
Nah, di rumah-rumah dengan ciri itulah 223 kepala keluarga (KK) atau sekitar 800 jiwa pemeluk Hindu tinggal. Tepatnya, pemeluk Hindu beretnis Madura. Di pojok-pojok rumah mereka terdapat sudut persembahyangan.
“Kami yang menganut Hindu ini mencapai 50 persen dari total penduduk Dusun Bongso Wetan, sedangkan 50 persen lainnya Muslim,“ kata Saptono.
Selain di Bongso Wetan, etnis Madura juga tinggal di Dusun Pengalangan dan Sumur Geger. Hanya saja, warga Madura di kedua dusun itu hampir semuanya Muslim. Sementara tiga dusun lain di Desa Pengalangan, yakni Dusun Bongso Kulon, Dukuh, dan Songgat semuanya didiami etnis Jawa.
Di hari-hari besar Hindu, rumah warga di Dusun Bongso Wetan dipercantik dengan penjor, canangsari, dan sanggar cucuk.
Penjor, tiang bambu berhias ukiran dari janur, melambangkan ketinggian Gunung Mahameru. “Itu simbol keagungan Tuhan,“ kata Saptono.
Sementara canangsari, wadah dari janur berisi persembahan seperti buah, bunga, air dan dupa, adalah perlambang rasa syukur. “Sanggar cucuk adalah anyaman janur berbentuk rumah. Di sanalah kami letakkan canangsari atau persembahan kami,“ katanya.
Bukan hanya rumah yang kian meriah, pura pun makin ramai di hari-hari besar Hindu. “Di hari biasa, kami sembahyang ke pura 3 kali sehari, yakni pagi, siang, dan petang. Itu dilakukan sendiri-sendiri atau sekeluarga. Namun sembahyang saat hari raya, misalnya Nyepi, umat melakukannya bersama-sama hingga meriah,“ kata Saptono. (bersambung)
Sumber: Surabaya Post, Jumat, 27 Maret 2009
Label: artikel, dokumentasi, nyepi
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda