Merindukan Sultan Abdurrahman di Sumenep

Sultan Abdurrahman (Pakunataningrat) adalah salah satu raja Sumenep pada abad 19. Dia dikenal sebagai penguasa yang adil dan merakyat. Dalam dunia spiritualitas, Sultan Abdurrahman disetarakan dengan wali, orang suci dalam tradisi sufisme. Makamnya di Asta Tinggi dikunjungi secara berkala oleh masyarakat Sumenep sampai kini karena dianggap penuh berkah serta sebagai wujud apresiasi atas pengabdiannya terhadap Sumenep.

Oleh Syarif Hidayat Santoso

Kepemimpinan gaya Sultan Abdurrahman memang perlu untuk diterapkan oleh para pemimpin Sumenep masa depan. Hal ini terletak pada keunikan Sultan Abdurrahman yang berpadu didalamnya ororitas spiritual sekaligus birokrasi. Keunikan lainnya adalah ketika sultan melakukan terobosan politik pemerintahan di tengah kungkungan kolonialisme Belanda dan hegemoni Mataram Islam sekaligus. Politik cerdik telah dilakukan Sultan Abdurrahman guna menyelamatkan posisi rakyat dan pemerintahan Sumenep dari intervensi lebih jauh politik Jawa dan Belanda dalam kehidupan politik Sumenep. Demi mengimbangi hegemoni Mataram yang waktu itu diwakili oleh kesultanan Yogyakarta dan keraton Surakarta, Sultan Abdurrahman mengangkat dirinya sebagai sultan meski dengan restu Belanda semata. Dalam kacamata Islam, boleh jadi apa yang dilakukan Sultan Abdurahman merupakan politik hipokrasi dan pelanggaran terhadap konvensi politik Islam Internasional yang mensyaratkan gelar Sultan harus diberikan otoritas spiritual Syarif Husein di Mekkah.

Namun, Sultan Abdurrahman tak melakukan itu. Sejarah tak pernah bercerita bahwa gelar sultan yang melekat pada diri Abdurrahman merupakan gelar resmi yang diberikan Syarif Husein serta dilegalisasi Turki Usmani. Sejarah bahkan menegaskan bahwa gelar sultan itu diberikan oleh gubernur Jenderal Van Der Capellen atas jasa Sultan Abdurrahman dalam Perang Diponegoro sebagai partner militer Belanda. Hal yang lagi-lagi ironis, karena pangeran Diponegoro sebagaimana disebutkan Peter Carey dalam The Power Of Prophecy (2008) adalah pangeran Jawa keturunan tokoh Madura, Cakraningrat kedua.

Dalam kacamata Jawa boleh jadi Sultan Abdurrahman dianggap tidak nasionalis. Tapi, seumpama Menakjinggo-Damar Wulan, Sultan Abdurrahman boleh jadi tokoh hipokrit dalam kacamata Jawa namun tidak menurut perspektif Sumenep. Apa yang dilakukan sultan Abdurrahman pada dasarnya sebuah strategi politik jangka panjang untuk memberikan ruang segar bagi masyarakat Sumenep agar bisa berdiri tegak otonom di hadapan eks kekuatan Mataram maupun Belanda sendiri. Baik Belanda maupun dinasti Mataram pada dasarnya adalah dua entitas yang secara politis ekonomis merugikan Sumenep. Sumenep harus menyerahkan upeti berkala terhadap Mataram sebagai otoritas kekuasaan tertinggi sebagaimana hal itu dilakukan juga terhadap Belanda. Dengan mengangkat dirinya sebagai sultan, otoritas politik Sumenep ingin menegaskan bahwa Sumenep bukan vasal Jawa. ‘Politik main mata’ dengan Belanda inipun ternyata juga membuahkan hasil yaitu terkuranginya porsi kolonialisasi Belanda di Sumenep. Kesultanan Sumenep ingin membebaskan dirinya secara eksplisit dari dominasi pribumi dan secara implisit dari kolonialisasi asing.

Politik ekonomi yang mandiri terhadap dominasi asing yang didukung pribumi inilah yang seharusnya menjadi spirit pemerintahan baru Sumenep terutama ketika Madura menjejak industrialisasi. Bukan tidak mungkin tantangan serupa yang dihadapi sultan Abdurrahman akan melanda Sumenep dalam wajah lain. Sumenep dan Madura pada dasarnya segera akan dihadapkan oleh exposure (keterbukaan) terhadap intervensi ekonomi pribumi luar Madura dan juga modal kapitalisme asing yang berkoalisi satu sama lain.

Selama ini, ekonomi nasional mengidap penyakit kronis yang disebut Dutch Disease (penyakit Belanda), yaitu paradoksnya penghasilan sumber daya alam dengan realitas social welfare yang didapat atau menurut Lin Che Wei (2001) sebagai “kemiskinan di tengah kekayaan”. Intervensi dan dominasi ekonomi yang tak ramah terhadap rakyat merupakan “selingkuh legal” antara penguasa pribumi dan asing. Pembangunan ekonomi di Sumenep dan juga daerah-daerah lain di Indonesia pada dasarnya dihadapkan pada kebijakan Jakarta sebagai sentral kebijakan ekonomi nasional dan koalisinya dengan korporasi atau perusahaan asing. Dua kekuatan ini, yaitu otoritas politik ekonomi nasional dan perusahaan asing mirip dengan hegemoni Mataram dan Belanda pada masa lalu. Meski Sumenep kaya dengan lumbung migas, tapi tetesan migas tersebut tak pernah benar-benar membasahi kerongkongan rakyat akibat koalisi kebijakan ekonomi nasional dengan korporasi asing.

Pilkada 2010 ini dimenangkan oleh pasangan Abussidik. Dalam diri Abussidik berpadu dua kekuatan penting, Islam (PKB) dan nasionalis (PDI-P). Pada keduanya juga bertemu keulamaan dan kepemerintahan. Ini merupakan kapital penting untuk membendung laju kapitalisme dan kolonialisme ekonomi yang pasti akan menghinggapi Sumenep masa mendatang. Sinergitas Abussidik mutlak diperlukan agar industrialisasi dan kapitalisme yang bisa jadi merupakan kombinasi antara kapitalis asing dan pengusaha nasional bermental kapitalis tak lagi memakan porsi ekonomi rakyat kecil. Maka, menjadikan jiwa dan strategi sultan Abdurrahman sebagai spirit pemerintahan merupakan sesuatu yang terasa amat dibutuhkan.

Syarif Hidayat Santoso adalah Alumnus Hubungan Internasional FISIP UNEJ. Warga NU Sumenep

Dimuat di Duta Masyarakat 1 November 2010

Label: , , ,

Kyai Prajan, Barisan dan Mentalitas Inlander

Sejarah tentang Kyai Semantri Prajan yang melawan Belanda serta Tentara Madura binaan Belanda yang disebut Barisan hampir tidak pernah kita dengar kecuali melalui tradisi lisan (oral tradition) orang-orang sepuh dahulu. Nama Kyai Semantri Prajan memang kalah tenar dibandingkan tokoh Trunojoyo maupun pejuang Madura lainnya lalu. Padahal, menurut Almarhum Kuntowijoyo (1989), pemberontakan Kyai Semantri dari Prajan merupakan pemberontakan penting rakyat Madura abad 19.

Oleh: Syarif Hidayat Santoso

Kyai Semantri Prajan merupakan salah satu tokoh yang disegani oleh komunitas Madura saat itu. Catatan pemerintah Hindia Belanda seperti yang termaktub dalam Javaasch Courant dan De Lokomotief menyebut bahwa Kyai Semantri merupakan magnet hidup populer bagi masyarakat Sampang. Langgarnya sering dikunjungi masyarakat perdikan Prajan dan kampung sekitarnya serta menjadi basis mobilisasi melawan Belanda. Kyai yang satu ini dituding oleh pemerintah Belanda sebagai tokoh pelanggar peraturan kolonial Belanda dan karenanya harus dihabisi. Langgar dan kampungnya diserang milisi Barisan pada 10 Desember 1895 (Kuntowijoyo:1989)

Perlawanan Kyai Prajan yang dipadamkan Barisan merupakan sebuah pelajaran penting dalam sejarah kolonialisme Belanda di Madura. Kyai Prajan dan Barisan menunjukkan dua sisi dikotomis kemerdekaan yang diperjuangkan di Madura masa itu. Yaitu terdapat tokoh pribumi anti Belanda serta terdapat pribumi Madura yang mau menghamba kepada Belanda. Barisan sendiri merupakan militer Madura dibawah komando pemerintah kolonial serta dibina instruktur Eropa sejak tahun 1813 sampai menjelang perang dunia Kedua. Sejak pertengahan abad 18, sebagian rakyat Madura memang sudah membantu Belanda dalam perang Cina Jawa tahun 1741-1743, Perang Padri, Perang Dipenogoro, Perang Aceh bahkan berdinas di Benteng-benteng Belanda di Srilangka, Malaysia dan Makassar.(Huub De Jonge:1989). Milisi Madura ini biasa diledek sebagai Belanda hitam. Data lain menunjukkan bahwa Marechaussee (Marsose) yang terkenal dalam Perang Aceh sebagian diantaranya berasal dari Madura dan terkenal akan kebengisannya. Fakta inipun didukung oleh folklor rakyat Sumenep tentang legenda Pangeran Diponegoro yang ditawan Barisan di Benteng Kalimo’ok usai perang Diponegoro. Seperti yang diuntai dalam cerita rakyat Sumenep, pangeran Diponegoro yang tertawan Belanda kemudian ditukar dengan tokoh Jidin yang wajahnya mirip Diponegoro asli. Jidin (Diponegoro palsu) inilah yang kemudian dibawa Belanda menuju Manado dan Makassar untuk menjalani masa pembuangan.

Terlepas benar tidaknya legenda Diponegoro dalam folklor Sumenep, hal ini sudah membuktikan tentang adanya mentalitas keberpihakan orang Madura terhadap Belanda seperti yang ditunjukkan militer Madura dalam Barisan dan juga sebagian raja-rajanya. Mentalitas inilah yang dalam studi budaya sering disebut mentalitas inlander, dimana seorang rakyat atau penguasa harus bermental pangrehpraja dan mau mengabdi utuh kepada kekuasaan tuannya. Mentalitas inlander dalam sejarah Madura telah melanggengkan kolonialisme pikiran yang ditanamkan hidup-hidup dalam otak sebagian rakyat Madura. Mentalitas ini telah meminta korban yaitu dihabisinya perlawanan jihad fi sabilillah yang digemakan Kyai Semantri Prajan untuk melawan kafir Belanda.

De Jonge bahkan menyebut bahwa gelar Panembahan dan Sultan yang diberikan Belanda kepada para Regen (bupati) di Madura sebenarnya gelar kehormatan yang diberikan atas “jasa baik” membantu Belanda memadamkan perlawanan rakyat di berbagai daerah di Nusantara. Gelar Sultan di Madura ini berbeda dengan gelar Sultan yang diterima raja-raja lain di Nusantara. Dimana gelar Sultan di Nusantara umumnya diberikan oleh Syarif Mekkah (Azyumardi Azra:1994). Sementara gelar Sultan di Madura diberikan oleh Belanda. Hal ini terjadi karena secara otoritatif, wilayah Madura sebenarnya termasuk wilayah Mataram. Artinya, Syarif Mekkah sebagai otoritas spiritual di tanah suci tidak akan memberikan gelar Sultan bagi raja Madura mengingat Madura sebenarnya termasuk kekuasaan Mataram Islam. Penganugerahan gelar Sultan bagi penguasa Madura oleh Belanda merupakan taktik Devide Et Empera yang dilakukan agar Madura mau melawan hegemoni Mataram.

Fakta-fakta diatas seharusnya menyadarkan kita bahwa aura kemerdekaan di Madura tidaklah seheroik aroma kemerdekaan di tempat lain. Pada masa perang kemerdekaanpun Madura pernah mentahbiskan diri menjadi negara Madura dibawah asuhan seorang Yahudi Belanda, Charles Olke Van Der Plass. Ironisnya, negara boneka Belanda yang didirikan 20 Februari 1948 ini justru dipimpin bangsawan Madura, R.A.A Tjakraningrat sebagai wali negara. Van Der Plass sendiri merupakan orientalis yang ahli masalah Madura dan juga pakar keislaman. Kapabilitas orientalismenya sejajar dengan Snouck Hurgronje di Aceh. Van Der Plass pun lihai dalam mengelabui masyarakat Madura. Pada tahun 1930-an, Dia pernah berkhotbah di masjid Jami’ Sumenep dan disangka sebagai seorang muslim. Van Der Plass merupakan sosok Islamolog Belanda pertama yang ahli masalah Islam dan Madura sekaligus.

Walhasil, sebenarnya kemerdekaan yang kita rebut adalah kombinasi dari perjuangan dan juga pengkhianatan oleh sesama orang Madura. Ini harus menjadi pelajaran bagi kita agar kita tidak melakoni hal yang sama di masa depan. Apalagi, Madura di era industrialisasi erat dengan kolonialisme pasar dan pertandingan ekonomi yang bisa-bisa membelah lagi Madura menjadi Kyai Semantri atau Barisan. Kue ekonomi yang menggiurkan saat Madura menapaki industrialisasi memang memungkinkan untuk itu. Hiruk pikuk industrialisasi di masa global sudah pasti akan melahirkan manusia oportunis yang tidak memihak kepentingan masyarakat dan tradisi Madura. Semoga di masa depan, lebih banyak lagi lahir Kyai Semantri baru agar kemerdekaan hakiki terwujud abadi di pulau Madura.

Penulis adalah Alumnus Hubungan Internasional FISIP UNEJ. Berasal dari Sumenep.

Label: , , ,

HM Edy Juwono Slamet,
Dosen dan Pengamat Ekonomi

Pernah Kena Bom saat Perjalanan Pulang ke Madura

Tak salah jika Indonesia dinyatakan sebagai negeri yang kaya raya. Negara berbendera merah putih ini selalu menjadi rebutan bangsa asing. Banyak jiwa dan raga melayang untuk bebas dari penjajahan. Bahkan, setelah proklamasi, masih banyak korban berjatuhan untuk memertahankan kemerdekaan. Drs Ec HM. Edy Juwono Slamet MA, merupakan salah seorang korban kebiadaban masa penjajahan.

"SAYA tidak dilahirkan di Madura. Tapi di Kediri, saat Belanda melakukan agresi militernya yang kedua," kata Edy Juwono Slamet yang ditemui Radar Madura di salah satu ruang dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Saat itu, ayahnya (Alm.) Slamet Ali Yunus yang tentara sedang bertugas di Kediri, tahun 1948.

Keberangkatan ibunya - almarhum Erna Ningsih - ke Kediri adalah untuk menyampaikan pesan rahasia. Meski sedang hamil tua, wanita itu rela melakukan perjalanan ke Kediri yang saat itu merupakan satu-satunya wilayah Republik Indonesia ketika Belanda kembali melancarkan serangan militernya pascakemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Mau tak mau, Edy-sapaannya-akhirnya dilahirkan di tanah Jawa tersebut. Masih dalam suasana perang yang berkecamuk, sang ibu membawa Edy hendak kembali ke kampung halamannya di Madura, tepatnya Pamekasan.

Malang tak dapat ditolak. Ketika dalam perjalanan, Edy dan ibunya terkena letusan bom Belanda. "Saat itu umur saya baru 15 bulan. Ibu dan saya kena bom di daerah Mojokerto, saat hendak pulang ke Madura. Ibu meninggal dunia, saya kehilangan 2 jari tangan dan kaki saya hancur," kenangnya.

"Untung ada foto. Jika tidak, saya nggak mungkin bisa tahu wajah ibu saya ketika masih hidup," ujarnya.

Sepeninggal ibunda tercintanya, dia kemudian dibesarkan oleh kakek dan neneknya di Pamekasan. Hingga lulus SMA dia tak pernah keluar dari Madura.

Rumah tempat dia dibesarkan berada di daerah Gurem, wilayah pinggir jantung Kota Pemekasan. Sebelum dipindah, di daerah tersebut terdapat pasar tempat warga Pamekasan bertransaksi jual-beli memenuhi kebutuhan sehari-harinya. "Jadi, rumah saya itu dekat pasar dan di antara jembatan yang sekarang di beri nama Jalan Trunojoyo," terangnya.

Tak hanya dibesarkan oleh kakek neneknya, beberapa tahun kemudian ayahnya kembali menikah. Edy pun akhirnya memiliki beberapa adik dari pernikahan tersebut. "Kalau dari ibu kandung hanya saya. Nah, dari ibu tiri saya punya adik lumayan banyak," ujar pria berkacamata ini.

Menurut dia, Gurem di masa kecilnya dulu adalah tempat berkumpulnya para maling dari seluruh Pamekasan. Namun, seiring berjalannya waktu, sampah masyarakat itu akhirnya hilang dengan sendirinya dari daerah tersebut. "Sekarang, yang tidak ada di tempat saya tumbuh dulu adalah pasar, karena sudah dipindah. Dulu, kalau malam saya dan teman-teman berkejaran di dalam pasar itu main benteng. Kadang buat tempat main domino, kelereng dan bajang," kenangnya.

Sungai, lanjutnya, juga menjadi tempatnya bermain. Sebab airnya waktu itu masih sangat jernih untuk dijadikan tempat berenang dan bersenda gurau dengan teman sebayanya. Mencari makanan favoritnya saat masih muda juga sulit bagi Edy. "Tempo, pecong, cecek, gorengan jeroan, paru, esoh sekarang kan sudah jarang sekali orang jual. Jadi, kalau saya pulang ke Madura biasanya wisata kuliner juga. Siapa tahu makanan favorit saya dulu masih ada yang jual," ungkapnya.

Perjalanan kulinernya di Madura dia mulai dari Bangkalan, Rumah Makan Nya Lete'. Kemudian, melanjutkan perjalanan ke tanah tempat ayahnya dimakamkan, dia selalu menyempatkan diri untuk mampir di warung Es Munasir. "Waktu masih kecil warung Pak Munasir itu sering jadi langganan saya dan anak-anak kampung. Saya tidak menyangka ternyata sampai sekarang masih ada dan jadi restoran. Mungkin karena dia orangnya ikhlas," tuturnya.

Selain itu, Edy juga kerap kali menikmati kaldu kokot yang dulu hanya terdapat di Sumenep.

Membandingkan kondisi sosial masyarakat Madura, terutama di Pamekasan, dia berpendapat, tidak terlalu banyak perubahan. Artinya, ketika di daerah lain tokoh ulama atau kiai mulai berkurang pengaruhnya, di Madura kiai masih memiliki pengaruh yang kuat. Pembangunan fisik menurutnya juga sudah banyak sekali berkembang.

"Yang tidak berubah di Madura itu pendidikannya. Bayangkan, rata-rata tingkat pendidikan di Madura itu masih sangat rendah. Di Madura itu tingkat DO (drop out, putus sekolah, Red.) paling tinggi di Jawa Timur," jelasnya.

Mungkin, sambungnya, warga Madura masih belum merasa bahwa pendidikan bisa memberikan nilai lebih. Sebab, mereka masih melihat banyak orang berpendidikan yang kondisi ekonomi lebih rendah daripada mereka yang tidak bersekolah, tapi kaya. "Memang seperti itu. Karena yang sekolah tinggi biasanya menjadi pegawai negeri. Yang tidak sekolah justru lebih giat sampai hasil usahanya melebihi hasil mereka yang berpendidikan dan menjadi pegawai negeri," katanya lantas tertawa.

Melanjutkan, yang tak kalah keliru dari kondisi masyarakat Madura yang latar belakang pendidikannya masih rendah adalah kebijakan pemerintah pusat. Penghapusan sekolah-sekolah yang bisa membekali pemuda dengan keterampilan khusus seharusnya tidak dilakukan. "Untungnya sekarang ada lagi meski bentuknya lain (SMK, Red.)," tandasnya. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Baca juga:
Pemikiran Akademisi Harus Dipertimbangkan

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 15 November 2008

Label: , ,

Mohamad Rasul,
Direktur Utama PT. PJB Services

Pindah ke Surabaya karena Transportasi Makan Waktu

Banyak alasan mengapa orang Madura akhirnya harus 'hijrah' ke Surabaya. Bagi mereka yang punya kesibukan dan bekerja, satu alasan di antaranya adalah untuk menghemat waktu. Pasalnya, transportasi laut untuk menyeberangi Selat Madura terlalu banyak menyita waktu.

PERUSAHAAN Listrik Negara (PLN) memiliki beberapa anak perusahaan. Salah satunya PT. Pembangkit Jawa Bali (PJB) yag terletak di Jalan Ketintang Surabaya. Lalu, anak perusahaan yang satu ini memiliki anak perusahaan lagi bernama PT. PJB Services. Jadi, perusahaan yang disebut belakangan adalah "cucu" PLN.

PT. PJB Services terletak di kompleks Juanda Business Centre No. 1, Blok A 4-6, Surabaya. Tiga gedung dengan warna dominan putih dan merah pada setiap pilarnya ini baru ditempati. Interior di dalamnya juga masih terlihat baru dan beberapa di antaranya masih terbungkus plastik. Ruang-ruang kerja juga tampak masih kinclong. Dengan pintu, meja dan lemari yang warnanya seragam, kantor itu tampak begitu nyaman untuk dijadikan lingkungan kerja.

Kesibukan memindahkan barang dan dokumen belum sepi pagi itu. Para karyawan pun tak ketinggalan. Mereka sibuk keluar masuk ruang-ruang kerja di lantai 2 itu. Sementara dari balik tirai, terlihat 3 orang sedang berbincang di ruang direktur utama. Hanya gerakan yang bisa terlihat jelas dari balik tirai itu. Wajah dan suara mereka tak bisa dikenali, tapi bisa dipastikan salah satu di antara mereka adalah Mohamad Rasul.

Pria ini adalah putra Madura yang dilahirkan di Pamekasan pada 16 November 1955. Meski lahir di Pamekasan, dia lebih banyak menghabiskan waktu muda hingga beristri dan memiliki anak di Bangkalan. Di Pamekasan, dia hanya menghabiskan waktu 8 tahun saja bersama orang tua dari ayah dan ibunya.

"Saya lahir di Pamekasan, lalu tahun 1963 saya pindah ke Kamal dan tinggal bersama orang tua. Di Pamekasan kan saya tinggal bersama kakek-nenek," terangnya pada koran ini saat ditemui usai berbincang dengan 2 anak buahnya.

Saat pindah ke Kamal (Bangkalan) dia tengah bersekolah di kelas 2 SD. Menyelesaikan sekolah dasar di SDN Kamal III dan SMPN 1 Kamal, Rasul-sapaannya- kembali ke Pamekasan untuk melanjutkan sekolah menengah atas (SMA), kembali ke pangkuan kakek neneknya.

Tahun 1975, Rasul melanjutkan studinya di ITS Surabaya Jurusan Teknik Elektro hingga tahun 1980. "Mestinya saya ini jadi dosen. Sebab, begitu masuk dan kuliah di ITS saya mendapatkan beasiswa. Jadi, biaya pendidikan saya selama kuliah ditanggung negara. Tapi, mungkin bukan jalan saya menjadi dosen," tuturnya.

Sementara teman-temannya menjadi dosen dan meneruskan kuliah di jenjang yang lebih tinggi, Rasul justru menyibukkan diri bersama teman-temannya membuka perusahaan sendiri. "Sempat juga saya jadi dosen di universitas swasta sebentar, tapi lebih banyak bantu-bantu teman bikin perusahaan sendiri. Yah, karena nggak punya modal saling bantu," kenangnya.

Di tengah dua kesibukan tersebut, dia sempat mengikuti tes masuk PLN. Dipanggil untuk bergabung dengan PLN sejak tahun 1981, Rasul mengajukan permohonan agar pemanggilan tersebut diundur hingga April 1982. Alasannya, masih memiliki kegiatan lain di Surabaya.

"Nah, di bulan April 1982 itu saya memulai karir di PLN. Waktu itu saya bertugas di Jakarta, meninggalkan istri dan 2 anak saya di Madura," ujarnya. Tapi, lanjutnya, meski bertugas di ibukota negara dia masih sering pulang ke Madura untuk mengobati kangen pada keluarga kecilnya itu. Sebab, Rasul sering bepergian ke seluruh Indonesia untuk menangani pemeliharaan generator atau diesel pembangkit listrik di luar Jawa. Jika dekat dengan Madura, dia tak berpikir dua kali untuk membayar tiket pesawat untuk segera terbang ke Surabaya dan menyeberang ke Madura.

Tak tahan berjauhan dengan keluarga, Rasul akhirnya meminta agar dipindahtugaskan ke Surabaya. Tentunya setelah mendapatkan orang untuk menggantikan posisinya di Jakarta. "Sejak tahun 1984 saya bertugas di Surabaya, tapi saya tetap pulang pergi Madura-Surabaya. Begitu juga waktu saya bertugas di Gresik," jelas bapak yang dikaruniai 4 anak ini.

Bertolak dari Surabaya ke Madura mulai dirasakan berat oleh Rasul. Pasalnya, waktu yang dihabiskan untuk menyeberang menggunakan kapal feri terlalu lama. Kadang, waktu juga banyak habis untuk mengantre masuk kapal. "Saya mulai merasa waktu habis di jalan, kalau masalah ongkos menyeberang sih standar saja. Lalu, saya memutuskan untuk menempati rumah dinas di Gresik, tapi masih sering ke Madura juga. Baru tahun 2003 lalu saya benar-benar memboyong keluarga ke Surabaya," tutur pria berkulit putih ini.

Anak-anak, imbuhnya, masih sering datang ke rumah mereka di Madura. Maklum, mereka lama di Madura dan masih memiliki banyak teman sekolah dan sepermainan di Jalan Rambutan Perumnas itu. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 13 November 2008

Baca juga:
Pernah Terlibat Tim Pemindahan PLTG

Label: , ,