Arman Saputra SH, Pemerhati Hukum Madura

Prihatin terhadap Budaya Carok Masyarakat Madura

LAHIR dan besar di Madura ternyata membuat Arman Saputra terpanggil untuk mengabdikan diri pada tanah kelahirannya. Apalagi setelah mengetahui dan banyak mengenal beberapa budaya Madura yang berkaitan dengan profesinya saat ini.

"Hal yang sampai saat ini selalu menjadi sorotan keprihatinan saya adalah tradisi carok yang hingga saat ini seakan masih lestari di kalangan masyarakat Madura," kata anggota PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia).

Sebagai putra daerah, Arman mengaku sangat menaruh perhatian terhadap kerasnya watak masyarakat Madura. Utamanya warga desa yang sangat kental dengan tradisi carok. Keprihatinan tersebut seakan makin mendarah daging ketika bapak tiga anak tersebut secara langsung bersentuhan dengan hukum yang banyak menjerat para pelakunya.

"Mereka seakan menjadikan nyawa sangat tidak berharga demi persoalan harga diri. Padahal tidak semua persoalan bisa tuntas hanya dengan sebilah pedang atau clurit," tandasnya.

Bagi pria kelahiran 1 November 1973 tersebut, harga diri seseorang mungkin tidak bisa ditukar dengan apa pun. Namun bukan berarti dengan menebus nyawa seseorang harga diri kita bisa kembali seperti semula. "Kita masih berada di bawah aqidah Islam. Bukankah masyarakat Madura juga kental akan ajaran agama Islam yang diterapkan," ujar Arman Saputra.

Konfigurasi carok yang marak terjadi hingga kini di Madura adalah seputar balas dendam berkepanjangan, tersinggung dan urusan harga diri. Hal ini dinilai Arman merupakan sesuatu yang seharusnya menjadi bahan instrospeksi diri masyarakat Madura lainnya.

"Kenyataannya balas membalas ini tidak akan tuntas pada saudara sedarah saja. Yang sangat disayangkan kalau notabene si korban justru tak paham tentang sengketa yang terjadi," ujar Arman yang pernah menangani kasus carok Musa di Galis, Bangkalan.

Tidak hanya itu, budaya carok yang kerap kali dilakukan oleh masyarakat menurut Arman juga merupakan salah satu bukti bahwa paradilan Negara ini belum bisa memberikan efek penjeraan bagi pelakunya. "Sebagian diantaranya kecewa, kerena pengadilan hanya bisa menjatuhkan hukuman yang kurang setimpal. Maka balas dendam ini kemudian menjadi pilihan terakhir sebagai upaya mendapat keadilan," terang Arman.

Atas dasar itulah, kini peran serta dirinya sebagai advokat (pengacara) menjadi salah satu ujung tombak menggiring stigma berpikir masyarakat yang keliru dalam memahami arti pentingnya menjaga harga diri. "Madura memang sangat identik dengan keras, saya tidak menafikan itu. Tapi keras itu harus berbingkai positif," terangnya.

Salah satu definisi keras yang dimaksud adalah keras dalam hal bekerja demi mencari nafkah untuk keluarga.

Selain konsisten dalam menangani kasus pidana, suami dari Ida Nursanti ini rupanya juga sangat akrab menangani kasus perdata. Salah satunya adalah beberapa kasus terkait kepemilikan tanah yang seringkali mencuat dan menjadi konsumsi publik. Dalam hal ini, Arman beranggapan bahwa kepastian hukum bagi warga sudah saatnya menjadi keharusan, bukan lagi pilihan.

"Kasus tanah yang sering terjadi lantaran masyarakat kurang paham terhadap administrasi yang berlaku. Ini yang kerap kali membahayakan bagi mereka," ujar alumnus Universitas Bangkalan tersebut.

Tidak hanya itu, transaksi jual beli tanah yang sering terjadi di kalangan masyarakat seringkali tidak disertai dengan kekuatan hukum. Sebagian diantaranya bahkan membiarkan transaksi tersebut berlangsung tanpa hitam di atas putih yang bisa menguatkan hukum kepemilikan.

"Banyak yang kurang peduli tentang hal ini. Padahal justru hal yang sekecil ini sering mendatangkan malapetaka bagi yang bersangkutan dikemudian hari," terang Arman.

Sebagai pemerhati sekaligus praktisi hukum, pihaknya berharap agar nantinya di Madura terbentuk LBH (lembaga bantuan hukum). Yang dalam hal ini berfungsi untuk memberikan pencerahan pada masyarakat menyongsong industrialisasi pasca Suramadu. "Peran serta lembaga Yudikatif, ulama dan tokoh masyarakat juga sangat berguna untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya kekuatan hukum. Ini juga agar masyrakat paham akan hak dan kewajiban," pungkas Arman. (sari purwati/ed)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 27 Januari 2009

Label: , ,

1 Komentar:

Pada 18 Maret 2009 pukul 23.00 , Blogger David Pangemanan mengatakan...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi

hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru

menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi

gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku

Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia?

David
(0274)9345675

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda