Trilogi Alawi, Madura dan Industrialisasi
Ketika ide industrialisasi sedang bergaung di Madura era 1990-an, seorang kyai kharismatik Sampang, Kyai Alawi Muhammad menginspirasikan sebuah ide bagi industrialisasi. Ide itu merupakan 3 prasyarat yang harus dilakoni jika Madura akan menapaki industrialisasi. Menurut Kyai Alawi, industrialisasi harus bepondasikan kepada nilai-nilai kemanusiaan (manusiawi), memberi kesempatan dan posibilitas besar bagi orang madura pribumi (Madurawi) serta tidak bertentangan dengan pakem kultur religius Madura (Islami). Ketiga doktrin inilah yang kemudian populer dengan nama Trilogi Alawi. Kini, ketika pembangunan jembatan Suramadu hampir selesai dan debut industrialisasi akan segera dimulai, trilogi Alawi seakan perlu direnungkan kembali.
Oleh: Syarif Hidayat Santoso
Pertanyaannya, urgenkah tiga doktrin ini ketika harus menjejak industrialisasi sendiri yang secara konotatif dominan dengan unsur pembasmian kemanusiaan. Dehumanisasi telah melangkahkan kaki lebih banyak daripada aspek pembelaan terhadap humanisme dalam bingkai industrialisasi. Komunitas yang terbelit ekosistem industri adalah mereka yang terkadang mengkomersialkan fungsi-fungsi kemanusiaannya, menjadikannya sebagai elemen jasa yang berdenotasi finansial.
Bagi orang Madura, Industrialisasi hanya memiliki presensi serba futuristik semata. Komunitas Madura tentu saja tidak bisa melakukan formulasi tawar-menawar industrialisasi, karena power subtantif dari sebuah ekologi Industri murni otoritas para usahawan dan industriawan sendiri. Disini, wewenang Trilogi Alawi untuk berkuasa, pada hakekatnya serba mungkin berakhir pada melodi melankolis orang Madura yang nantinya terbatasi kekuatan manufaktur industri raksasa yang kaya dengan lobi kekuasaan dan penetrasi keuangan
Jika Islam, Kemaduraan dan kemanusiaan harus menjadi leading sector industrialisasi, maka aspek religiositas (Islam) harus ditinggikan lebih dulu serta selayaknya memerankan diri sebagai kanal kehidupan yang mengairi lahan kemaduraan dan kemanusiaan seutuhnya. Bukan saja karena Islam merupakan entitas dominan, tapi juga karena dia mewarnai sisi kemaduraan dan kemanusiaan orang Madura sekaligus. Persoalannya, apakah religiositas orang Madura dipandang cukup untuk membendung arus industrialisasi yang terkadang mengorbankan dimensi naluriah.
Dalam industrialisasi berlaku hukum commerce of human nature, dimana dimensi kodrati manusia tiba-tiba diekspansikan menjadi ruang batiniah yang berhaluan finansial semata. Potensi manusiawi digadaikan sejajar instrumen komoditas perdagangan. Efeknya, kebudayaan tolong-menolong sebagai rantai utama yang merelasikan Madura dengan humanisme mungkin akan dikelola bak sebuah manufaktur. Tradisi dalam masyarakatpun mungkin akan dijadikan komoditas turisme. Wajar saja, karena dalam struktur agraris Madura sendiri, keberagamaan dan tradisi masih merupakan kekayaan identitas etnik yang menyuguhkan kekhasan dunia kerja yang alami.
Keberagamaan orang Madura menurut saya berada pada stadium meso dalam tradisi dialog interreligius. Pada assembling posisi ini, keislaman orang Madura tidak bisa digambarkan terlalu berpihak pada eksklusivisme ataupun condong dinamis kearah inklusivisme. Ini disebabkan gerak horizontal orang Madura, terutama mereka yang berkultur pesisir, secara kausalitas akrab dengan tradisi beragama orang lain yang mereka jumpai dalam mobilitas keluar madura. Sementara singularitas kultur agraris pedalaman bisa digambarkan agak rigid, eksklusif serta minim referensi khazanah lain dalam religiositas kontemporer. Kultur pesisir madura merupakan pencerminan Islam yang dekat dengan mobilitas, karenanya berpotensi dapat diakrabkan dengan pluralitas-inklusif. Sementara peluang ekslusivisme akan lebih erat bagi komunitas pedalaman Madura.
Jika sistem industrialisasi yang terpijakkan merupakan struktur yang melecehkan sumberdaya Manusia, sehingga posisi orang Madura digaransikan tak beranjak dari status periferal permanen yang marjinal, maka potensi meso ini akan berpeluang meningkat graduasinya menjadi makro dalam tradisi eksklusivisme yang fanatik, intoleran, eksesifitas berlebih dalam melihat tradisi etnik juga menguatnya oposisionalisme agama vis-à-vis industrialisasi. Ujung-ujungnya, religiositas orang Madura berkonsekuensi untuk menapak arus perlawanan, bukannya menjadi pengisi nilai-nilai batiniah industrialisasi.
Sketsa pra industri saja menunjukkan kalau ekonomi petani Madura sebagai inti kultur agraris mayoritas makin melemah dari tahun ke tahun. Term of trade produk agraris seperti tembakau masih merosot, serta statisnya mobilitas vertikal mayoritas kelas petani tembakau. Dalam kondisi serba kekurangan, mungkin agama akan menjadi penghibur untuk menemukan orientasi ketenangan batin, sebuah mentalitas yang mungkin masih moderat. Tapi, jika hadir fase persinggungan dengan industrialisasi yang dipenuhi polutan keberpihakan terhadap kaum pendatang dan nilai nonreligius, potensi moderatisme sejujurnya akan berkonversi menuju radikalisme.
Islam adalah haluan utama orang Madura. Bahkan demi agama, orang Madura bersedia melakukan carok selain problem lainnya seperti wanita dan tanah. Tendensi Islam ini secara legitimatif akan memperkuat aksi-aksi strategis lapangan untuk membenarkan tindakan melawan ketidaksinergisan nilai industri dengan keislaman Madura. Eskalasi konflik antara Islam dan industrialisasi harus diminimalisir dengan pendekatan religiositas pasca industri yang dimuarakan bagi terciptanya konsolidasi the whole mentality, purifikasi identitas batiniah dari kekotoran nilai-nilai komersial. Secara eksternal dibarengi pula kohesifikasinya dengan tradisi Islam Madura. Industri yang mampu mengambil hati orang madura sehingga menggugah orang madura untuk mengisi partisipasi industrialisasi dengan kebanggaan religiositasnya. Mentalitas industrialisasi jangan memberikan posibilitas diferensiasif dengan menganaktirikan satu segmen dari berbagai segmen komunitas Madura. Sebagaimana yang sering terjadi kekuatan industri sering hanya merangkul komunitas urban yang memiliki kapasitas mobilitas tinggi dan menisbikan komunitas eksklusif tradisional. Pemilahan segmen agraris dan pesisir dalam kultur Madura jangan dianggap sebuah beban bagi konsep pembangunan masa depan. jika industrialisasi lebih memilih salah satu diantaranya, bukan tidak mungkin konflik antar area kultur berbeda akan terjadi sebagaimana sering dicontohkan daerah-daerah industri lain di dunia. Madura tidak ingin terbelah hanya karena pembangunan. Humanisme, kemaduraan dan Islam diharapkan berjalan seiring.
Penulis adalah Alumnus Hubungan Internasional FISIP UNEJ.
Label: dokumentasi, syarif hidayat santoso
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda