Dr Drs Abd. Shomad SH MH

Doktor Perbankan Syariah dari Bangkalan

Tokoh Informal NU Berpengaruh Kuat

PRIA yang dilahirkan di Bangkalan, 20 Mei 1967 ini merupakan salah seorang putra Madura yang gemar melakukan penelitian dan kajian atas perkembangan di daerahnya sendiri. Segala hal yang dia temui di masyarakat Madura selalu dikaitkan dengan keilmuan yang dia miliki. Sebab, banyak hal menarik di Madura yang jarang atau bahkan tak ditemui di daerah lain di Indonesia. Karakteristik yang demikian banyak menarik perhatian peneliti dari luar daerah.

Salah satu penelitiannya tentang masyarakat Madura terkait masalah pewarisan. Pada dasarnya, hukum negara telah mengatur tata cara pembagian warisan untuk warga negara Indonesia. Namun, berbeda kondisinya di Madura. Tokoh informal-lah yang diberikan kepercayaan oleh masyarakat Madura untuk mengatur sistem pewarisan tersebut. Dengan demikian, dia menyimpulkan bahwa tokoh informal seperti kiai, hingga saat ini masih memiliki pengaruh yang sangat kuat di Madura.

Dijelaskan, mayoritas penduduk Madura yang beragama Islam menganut aliran Sunni atau Ahlu Sunnah wal Jamaah, di bidang hukum mereka mengikuti mahzab Syafi'i. Kitab-kitab fiqh yang dijadikan acuan dalam penyelesaian perkara adalah kitab fiqh mahzab Syafi'I yang ditulis para ahli hukum beberapa abad silam.

"Jadi kitab fiqh Syafiiyah diterapkan di segala hal, terutama dalam ibadah dan penyelesaian perkara," tegas Shomad-sapaannya.

Mereka yang menganut aliran Sunni ini mengklaim diri mereka dengan sebutan orang Islam NO (Nahdatul Oelama). Meski sebagian mereka tidak paham dengan istilah tersebut, mereka tetap meyakini bahwa aliran tersebut adalah jalan terbaik menjalankan perintah agama. Bahkan, hingga saat ini, ketika ejaan lama sudah diperbaiki masih banyak masyarakat yang kurang mengerti perbedaan antara NO dengan NU.

Kondisi tersebut sama sekali bukan penghalang bagi tokoh agama untuk tetap berperan dalam menjalankan hukum di masyarakat. Ulama tetap memiliki otoritas dan dipercaya masyarakat untuk menyelesaikan sengketa, termasuk pembagian waris keluarga. Namun, untuk bisa menjadi ulama, seseorang harus memiliki kedalaman ilmu dan akrab dengan lingkungan pesantren, serta banyak melakukan kajian karya tulis agama berbahasa Arab terbitan berabad-abad yang lalu. Sebab, mereka memandang segala kejadian sekarang adalah pengulangan kondisi di masa lampau. Di mana selalu ada jalan keluar yang bisa dipelajari dari berbagai kitab jaman dulu.

Literatur klasik di bidang hukum yang paling sering dipakai untuk memelajari penyelesaian sengketa adalah kitab gundul atau kitab kuning. Umumnya, yang dijadikan pedoman untuk memutus perkara adalah para ulama dari kalangan mahzab Syafi'i. "Taqlid istilahnya. Itu pernah dituliskan oleh Choirul Anam, yaitu tentang memilih pilihan terkuat berdasarkan kajian, pemeriksaan dan menganut pada salah satu dari empat mahzab, seperti yang dilakukan Mujtahid Fatwa. Oleh NU disebut Muqallid," terang bapak yang dikatuniai 2 anak ini.

Pada umumnya, lanjut dia, ulama setempat merupakan jebolan pesantren NU. Sehingga, yang dilakukan mereka tidak jauh dari garis kebijakan NU. Mereka tidak begitu saja menerapkan mentah-mentah apa yang tercantum dalam kitab, tetapi terlebih dahulu melakukan diskusi dalam berbagai forum dengan ulama sesama NU.

"Jadi, jangan heran kalau aliran lain sulit masuk ke dalam masyarakat Islam di Madura. Sebab, segala urusan sering dilimpahkan pada ulama NU untuk penyelesaiannya. Bahkan, untuk urusan internal keluarga seperti pembagian waris pun juga diserahkan pada ulama NU," tegasnya.

Kondisi tersebut, imbuhnya, juga berlaku bagi masyarakat Madura yang ada di luar pulau. Kepercayaan mereka terhadap kiai dari kalangan NU masih sangat besar hingga saat ini. (nra/ed)
Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 12 September 2008

Baca juga:
Hukum Islam akan Mewarnai Perekonomian Madura

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda