Madura Masih Terjangkit Diploma Disease
Perkembangan pendidikan di Madura lagi-lagi mendapat penilaian yang kurang baik. Penilaian tersebut datang dari akademisi yang pernah memeroleh gelar Diploma Education Development di London dengan spesialisasi Education Development In Developing Countries. Berikut wawancara Radar Madura dengan Prof Dr M. Ali SH, Dip Ed MSc
Dengan spesifikasi gelar yang pernah diperoleh tentang pengembangan pendidikan di negara berkembang, bagaimana Anda melihat perkembangan pendidikan di Madura?
Perkembangan pendidikan di Madura tidak terlepas dari kondisi umum perkembangan pendidikan di Indonesia. Nah, bagaimana perkembangan pendidikan di Indonesia? Hingga saat ini kita masih terjangkit dan menderita diploma disease. Beberapa literatur luar negeri sampai menyebutkan itu di halaman pertama.
Seluruh dunia sudah tahu bahwa Indonesia merupakan negara yang hanya mengejar dan memandang gelar sebagai suatu pencapaian yang maksimal. Sementara, isi dari gelar tersebut sama sekali kosong. Bagi banyak Negara, kondisi itu adalah bencana. Tetapi negara kita masih memandangnya sebagai hal biasa. Mau menyumbang apa pada pembangunan kalau gelarnya hanya hiasan. Madura juga banyak yang seperti itu.
Apa penyebab kondisi tersebut?
Dulu atau bahkan sampai sekarang, Anda pasti pernah mendengar bahwa gelar di depan atau di belakang nama bisa dipakai untuk menaikkan pangkat bagi mereka yang sudah punya kedudukan. Sehingga, dengan mudah mengeluarkan agak banyak biaya untuk mendapatkan gelar-gelar dengan cara yang instant (cepat, Red).
Kuliah Senin-Kamis, Sabtu-Minggu kemudian menjadi pilihan. Itu pun jarang ada yang masuk kuliah. Tapi, satu tahun mereka sudah diwisuda dengan hasil sangat memuaskan dan predikat-predikat lainnya. Ini sebenarnya membohongi diri sendiri. Tapi mereka tidak peduli itu. Saya sering menanyakan apa arti manajemen pada seseorang yang punya gelar Magister Management dan mereka tidak bisa menjawab. Kan sangat memrihatinkan kondisi seperti itu. Kondisi itu juga menular ke generasi muda.
Maksudnya menular ke generasi muda seperti apa?
Kalau mereka yang sudah punya pekerjaan 'membeli' gelar untuk meningkatkan pendapatan mereka dengan naik pangkat. Gelar kosong tidak menjadi masalah yang serius. Tapi, kalau generasi muda yang belum punya pekerjaan juga berprilaku seperti itu kan parah sekali.
Akhirnya, yang terjadi adalah suap dan sogok. Karena sebenarnya tidak memiliki keahlian dan gelarnya hanya hiasan di belakang nama saja. Dan ini sudah menjadi rahasia umum. Memang umum, tetapi tidak ada yang bertindak karena ada yang merasa diuntungkan dari keadaan itu. Ini yang saya sebut diploma disease, gelar tanpa isi. Lalu, bagaimana mau maju Madura.
Lalu, bagaimana keluar dari kondisi itu?
Saya pernah ngoceh saat ada pertemuan di Madura yang membicarakan kemajuan di Madura. Saya tanya pada orang-orang yang mengaku pakar-pakar itu, Madura akan dikonsep bagaimana? Siapa yang akan menjalankan konsep tersebut? Sudah ahli atau belum? Sudah siap atau belum? Sudah sesuai dengan bidangnya atau tidak? Saya tegaskan, jangan karena punya gelar banyak atau karena menjadi guru besar lalu mengaku bisa merubah masyarakat Madura.
Harus ada pakar yang benar-benar pakar di bidangnya. Sehingga, apa yang dikerjakan tidak bias dan setengah-setengah. Merubah masyarakat Madura berarti menghentikan diploma disease, dan itu bukan perkara mudah.
Apa yang sudah Anda usahakan untuk menghentikan diploma disease itu?
Anda tahu, saya tidak diikutkan dalam mendidik guru-guru yang berasal dari Madura. Mungkin karena saya dianggap terlalu ketat dan bisa memersulit kelulusan mereka (guru dari Madura, Red.). Padahal, saya kan ingin mereka benar-benar siap kalau harus kembali ke Madura.
Kondisi paling akhir pendidikan di Madura bagaimana?
Sebelumnya harus diperjelas. Pendidikan adalah proses, aktivitas yang diarahkan untuk mengasilkan perubahan dalam perilaku manusia. Nah, perilaku manusia itu dibagi menjadi tiga bagian, kognitif, afektif dan psikomotorik. Kalau tidak ada perubahan dari tiga bagian tersebut berarti pendidikan di Madura gagal. Anda bisa melakukan penilaian sendiri dengan menanyakan pada mereka yang punya gelar di depan atau di belakanng nama mereka. Tanyakan hal paling mudah saja. Misalnya sarjana ekonomi, tanyakan pada mereka apa arti ekonomi.
Berbedakah pendidikan sekarang dengan pendidikan jaman Anda dulu?
Sekarang lebih maju itu benar. Tapi sekarang lebih cepat mendapat gelar itu tidak bisa dibenarkan. Bayangkan saja, menempuh S1 di Unair, lima tahun waktu yang saya habiskan. Tahun pertama lulus ujian menjadi propadis (persiapan ke tahun kedua, Red.). Tahun kedua menjadi kandidat 1, tahun ketiga kandidat 2, tahun keempat doktoral 1, tahun kelima doktoral 2. Semua harus dilewati secara ketat, kuliah hari Senin sampai Sabtu. Kalau bisa memertahankan skripsi di doctoral 2 baru bisa diuji kelulusan.
Kalau sekarang kan setahun lulus. Jadi, mahasiswa seperti saya yang menghabiskan waktu lima tahun di S1 masuk hitungan mahasiswa ketinggalan. Sayangnya, pendidikan jaman dulu memang lebih berisi daripada sekarang. Apalagi, di kampus-kampus yang menawarkan gelar instant. (nra/ed)
Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 13 September 2008
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda