Mohammad Ali Gerilyawan Pendidikan dari Madura
Berawal Dari Keinginan Bersekolah dengan Ikatan Dinas
Sosok sederhana ini dilahirkan dari keluarga kurang mampu. Namun, kegigihannya dalam menuntut ilmu telah mengantarnya selalu menjadi lulusan terbaik di semua tingkat pendidikan yang pernah dijalani. Simak saja sederetan gelar yang mengelilingi namanya, Prof. Dr Mohammad Ali SH Dip. Ed. MSc.
BANYAK hal menarik dari perjalanan pendidikan pria pemilik nama lengkap Mohammad Ali ini. Anak tunggal pasangan (Alm) Noer Wiryo Laksono dan (Alm) Siti Aisah Binti Mohari ini begitu bersemangat ingin membantu kehidupan orangtuanya. Sepeninggal sang ayah, Ali memiliki kewajiban besar untuk bisa membantu kehidupan sang ibu. Dia pun membulatkan tekad untuk menemukan pendidikan yang bisa membawanya bekerja dengan ikatan dinas.
Maka, lulus sekolah rakyat (SR) di Kedundung, Kecamatan Modung, Bangkalan, Ali segera melanjutkan sekolahnya di SGB Negeri Sampang. Sekolah khusus untuk membekali para guru agar bisa mengajar anak-anak usia sekolah dasar. Seharusnya, SGB dilalui selama 4 tahun. Namun di tahun ketiga Ali mengikuti ujian negara dan menjadi salah satu lulusan terbaik di antara lima persen peringkat teratas.
"Saya akhirnya menyelesaikan sekolah di SGB selama 3 tahun saja. Sebab, ujian negara tersebut memerbolehkan siapapun yang lulus dengan nilai rata-rata tidak kurang dari 7,5 meneruskan sekolah ke SGA (sekolah khusus guru pengajar SMP dan SMA, Red). Nah, saya lulus dengan nilai rata-rata 8 lebih," kenang dosen sekaligus guru besar FIP Unesa Surabaya ini.
Sebulan melanjutkan sekolah di SGB, dia kemudian pindah dan meneruskan sekolah di SGA Negeri Pamekasan selama 3 tahun. Di tahun kedua sekolah SGA, ujian negara kembali dilaksanakan untuk menentukan siapa saja yang akan melanjutkan ke tahun ketiga di SGA tersebut.
Ali kembali memeroleh nilai terbaik. Maka, dia pun diperbolehkan melanjutkan sekolahnya di SGA hingga lulus pada tahun 1958. "Mestinya lulusan guru SGA kan mengajar di SMP atau SMA. Tetapi pemerintah merubah peraturan itu. Lulusan SGA ditugaskan mengajar di sekolah dasar. Awalnya itu problem bagi saya, sebab saya tidak tidak dipersiapkan untuk mengajar di SD. Tapi, akhirnya saya bisa beradaptasi," ungkapnya.
Tak lama menjadi guru SD, Ali diangkat menjadi Kepala Inspeksi PDSR (sekarang Dinas P dan K) di Kecamatan Sepuluh, Bangkalan. Karena PDSR hanya berada di wilayah kawedanan, maka Ali bertangung jawab mengawasi dan mengatur pendidikan meliputi 3 kecamatan. Yaitu Sepuluh, Tanjung Bumi dan Kokop.
Menjadi kepala inspeksi tidak membuatnya berhenti menuntut ilmu. Tahun 1965, dia mendapatkan tugas belajar dari pemerintah di IKIP Surabaya. Dia memilih jurusan pendidikan sosial. Sebelum memilih jurusan tersebut, Ali sempat menjatuhkan pilihan pada pendidikan umum. Namun, setelah bertemu dengan gurunya semasa sekolah SGA, dia mengurungkan niatnya tersebut.
"Pertama saya memilih jurusan pendidikan umum. Tapi, kata guru saya jurusan itu adalah mbah-nya guru. Sebab, setelah lulus saya akan bekerja sebagi gurunya para calon guru SD. Jadi, saya kemudian berpikir untuk memilih jurusan yang tidak selalu menjadi guru," papar suami (Alm.) Dra Sri Muryani ini.
Ali kembali menjadi satu-satunya mahasiswa yang lulus cepat. Pendidikan sarjana muda (BA) di IKIP tersebut dia lalui selama 3 tahun saja. Nilai ujiannya pun mendapatkan predikat sangat memuaskan. Sehingga, dia kemudian diangkat sebagai assiten dosen luar biasa di kampus yang kini berganti nama Universitas Negeri Surabaya itu.
Seminggu lulus dari pendidikan sarjana muda, dia langsung mendaftarkan diri di program doctoral dan diterima tanpa melalui proses uji rekrutmen. Pendidikan yang seharusnya ditempuh selama 2 tahun ini, berhasil diselesaikannya selama 1,5 tahun saja. "Tingkat 4 dan 5 saya selesaikan selama 1,5 tahun. Tapi saya tidak diperbolehkan mengikuti ujian lulus. Saya disuruh menunggu sampai genap 2 tahun," jelasnya.
Masa menunggunya selama setengah tahun dia gunakan untjuk menjadi tenaga guru tidak tetap di sekolah pendidikan guru di Jalan Teratai Surabaya. Akhirnya, setelah beberapa kali ditunda, Ali pun mengikuti ujian dan dinyatakan lulus tanpa revisi. Tak heran, prestasinya tersebut kemudian menjadi perhatian pemerintah, sehingga dia diangkat menjadi Kepala Urusan Perencanaan Pendidikan Dinas P dan K tahun 1971.
Selain itu, dia juga merangkap menjadi bagian dari Tim Penelitian dan Penindakan (Litdak). Tugasnya dalam Litdak adalah melakukan screening dan menindak orang-orang di lingkungan dinas yang terlibat Gerakan 30 September 1965.
Tahun 1974, bapak yang dikaruniai 7 anak ini memutuskan untuk berhenti bekerja di lingkungan pemerintahan. Dia berkeinginan untuk mengabdi sebagai dosen di tempat kuliahnya memeroleh gelar sarjana muda dan doctoral, yaitu IKIP Surabaya. Keinginan tersebut merupakan wujud dari cita-citanya memersiapkan tenaga-tenaga pendidik dan ahli di bidang-bidang lainnya.
"Saya benar-benar sangat bersyukur. Usaha belajar saya mendapatkan hasil yang sangat memuaskan. Dengan hasil itu, saya juga akhirnya bisa menghidupi orangtua dan anak istri saya. Usaha, doa dan restu ibu adalah yang utama. Tanpa itu saya tidak akan mencapai pendidikan yang baik," tuturnya. (nra/ed)
Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 13 September 2008
Baca juga:
Madura Masih Terjangkit Diploma Disease
Label: dokumentasi, mohammad ali, sosok
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda