Mengurai Kearifan Politik Lokal Orang Madura #3 (habis)

Carok Bukan Kekerasan Atas Nama Politik

Stigma kekerasan sangat melekat pada orang Madura. Beda pendapat sedikit, berakhir dengan darah. Pilkada Jatim III di Bangkalan dan Sampang pun dibayangkan berdarah-darah. Ditambah tradisi carok yang masih dipahami secara salah.

Budayawan Ayu Sutarto membagi Jawa Timur dalam sepuluh telatah atau kawasan kebudayaan. Telatah besar ada empat, yakni Jawa Mataraman, Arek, Madura Pulau, dan Pandalungan. Sedangkan telatah yang kecil terdiri atas Jawa Panoragan, Osing, Tengger, Madura Bawean, Madura Kangean, dan Samin (Sedulur Sikep). Bangkalan dan Sampang masuk dalam telatah Madura Pulau.

Madura Pulau pada umumnya masih dalam tradisi lisan dan bukan tradisi tulis. Cerita dari mulut ke mulut itu lebih serem daripada tulis. ”Bahayanya di situ, mereka tidak bisa membedakan antara fakta dan opini. Cerita dari mulut ke mulut itu lebih dipercaya,” ujar Sutarto.

Hal itu mendukung persoalan psikologis yang membuat orang Madura mengalami erosi kepercayaan pada kekuatan yang mengatasnamakan rakyat. Akibatnya mereka tak datang ke TPS saat pemilu. Karena selain capek, mereka semakin mempercayai pembicaraan bahwa politisi hanya memberi janji.

Namun beberapa kejadian terkait peristiwa kekerasan pada pemilu 1997 dan sebelumnya, seolah kontra indikasi dengan fakta di atas. Namun Ayu Sutarto dan Latief Wiyata, keduanya membantah bahwa kekerasan itu didasarkan pada karakter orang Madura. Mereka menandaskan bahwa tradisi kekerasan itu terjadi dimana-mana. Dan tidak adil menyematkan Madura identik dengan budaya kekerasan.

Orang sudah mencap Madura itu secara tidak adil. Citranya, Madura itu keras, temperamental, padahal tidak begitu. ‘’Madura itu bisa sangat halus, sangat loyal. Mereka terbagi beberapa kearifan lokal, dan itu tetap memegang peranan,” kata Latief penusli berjudul Carok itu.

Di banyak daerah juga banyak kekerasan sperti di Pasuruan, Bondowoso, Banyuwangi, dsb. Dan kekerasan yang terjadi di Madura bukan karena berlatar tradisi carok. ”Saya tidak melihat ada benang merah antara kekerasan dengan carok. Pilkada ini kan masalah kepentingan, nah kalau carok kan masalah martabat,”tambah Latief Wijaya.

Ada istilah di Madura poteh mata poteh poteh tolang angok potena tolang, lebih baik mati berputih tulang daripada menanggung malu. ”inikan kearifan mereka,” ungkap Sutarto. ”Pilkada itu sudah lain. Para politisi itu menggunakan yang kuat dan yang sakral dalam rangka untuk mengumpulkan suara. Dan itu terjadi di mana-mana. tukang jagal, satgas. lalu tokoh-tokoh kharismatis itu fenomena yang sangat umum sekali,” lanjutnya.

Latief mempertegas, carok itu sebenarnya lebih pada rasa malu secara individual tidak pada kelompok. Jadi kalaupun terjadi kerusuhan masal, menurut Sutarto dan Latief meyakni itu bukan carok. Itu hanya amok saja karena kepentingan politik yang katakanlah ada semacam provokasi.

Nah ketika orang madura secara individual itu terlecehkan harga dirinya, maka timbullah carok untuk membela harga diri individual dan keluarga bukan kelompok yang lebih besar apalagi ini kelompok politik yang katakanlah figur-figur cagub. ‘’Saya tidak yakin akan terjadi carok. Kalaupun terjadi kekerasan itu hanya amok saja,’’ pungkas Sutarto.

Carok biasanya dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap istri sehingga menyebabkan malu. Dalam konteks itu, carok mengindikasikan monopoli kekuasaan suami terhadap istri. Monopoli ini ditafsirkan Latief antara lain dengan ditandai adanya perlindungan secara over. Sehingga dalam hal ini, kekalahan calon pemimpin dalam pemilu bukanlah faktor bagi orang Madura untuk melangsungkan carok. Tetapi kekerasan itu hanya amok.n

Sumber: Surabaya Post, Selasa, 9 Desember 2008

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda