Mengurai Kearifan Lokal Orang Madura #2

Kemandirian dan Kepatuhan yang Tak Tersekat Ruang

Meski memiliki kepatuhan tinggi pada kiai, namun dalam politik, angka golput di Madura masih tinggi. Berikut ini fenomenanya.

Oleh: Kumara Adji

Pada pemaparan sebelumnya, terurai bahwa di Madura ada banyak sekali figur semacam Sri Sultan Hamengkubuwono. Karenanya berbicara tentang pengaruh di Madura pada dasarnya tidaklah monolitis.

Yang patut diperhatikan, tentu saja soal pemimpin keagamaan di Madura; kiai dan guru tarekat merupakan inti dari hubungan sosial Madura. Dan figur-figur tersebut tidak membentuk satu hirarki. ‘’Biasanya satu figur menurut komunitas tertentu itu baik untuk diikuti, mereka akan ikut,” ujar Latief.

Fenomena yang jamak terjadi di Madura adalah masing-masing orang bebas untuk memilih figur dan tidak tersekat oleh ruang. Sehingga dalam satu kampung tidak harus mengikuti satu figur tertentu. Mereka mempunyai prinsip, yang dalam bahasa Madura itu aguru atau berguru.

Orang madura bebas memilih mau berguru pada kiai siapa tergantung dirinya sendiri. Mereka akan berguru pada orang yang tingkat keagamaannya sudah tinggi dan tidak harus dari tempat dia tinggal. ‘’Jadi panutan itu sangat lokal, namun terfragmentasi, terkonsentrasi,” tandas Latief. Dengan demikian, mendekati seorang kiai saja tidak cukup. Jadi harus di lihat dulu peta ketaatan orang Madura pada kiai yang mana. Itu jika kiai ditarik pada kepentingan politik.

Peran kiai di Madura dalam mengendalikan peran partisipasi politik publik masih tinggi. Ini menjadi salah satu kearifan lokal yang masih berlaku. Namun, budayawan asal Jember Prof. Ayu Sutarto menambahkan tidak hanya kiai, namun juga unsur lain.

‘’Sekarang tokoh panutan itu sudah berkembang. Artinya bukan lagi kiai, bukan hanya keluarga besarnya, tapi juga ada kelompok-kelompok kalangan tertentu orang-orang yang dianggap kuat. Seperti orang-orang yang punya kekuatan kanoragan. Bukan saja orang yang dikeramatkan,” ungkapnya.

Karena itu, KaJi dan KarSa akan memanfaatkan betul potensi yang ada untuk menangguk suara sebesar-besaranya dalam Pilkada putaran tiag yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, Selasa (2/12), di dua kabupaten itu.

Meski memiliki kepatuhan tinggi pada kyai, namun faktanya golput menjadi satu fenomena tersendiri karena jumlahnya yang besar. Jumlah golput di Bangkalan mencapai 224.272 orang atau 33,59%. Sedangkan di Sampang sebanyak 162.751 atau 27,52%.

Bagaimanapun, kini di Madura telah terjadi semacam erosi kepercayaan. mereka tidak percaya lagi pada kekuatan-kekuatan yang mengatasnamakan rakyat. Para politisi itu tidak kredibel lagi membawa aspirasi rakyat. Akhirnya mereka tidak datang ke TPS.

‘’Ini kan tidak bagus dalam demokrasi,” ujar Sutarto menjelaskan. ‘’Mereka menjadi golput karena capek dalam kacamata politik. Mereka jenuh, mereka tidak percaya lagi pada politik, bahwa kekuatan politik itu tidak bisa menjawab persoalan-persoalan sosial yang mendera mereka,” ujar Sutarto yang baru-baru ini melakukan survei ke Madura.

Akibat kelelahan politik itu, ada kecenderungan orang-orang untuk tidak lagi mematuhi para tokoh di daerahnya. Mereka yang tetap setia itu yang punya ikatan emosional, misalnya santri-santri para kiai, dan ada kekerabatan antara kiai satu dengan lainnya. Ada para santri yang mendirikan pesantren, kemudian kiai yang satu berbesanan dengan kiai yang lain. "Nah orang-orang yang punya ikatan emosional itu. dan jalur jalur itu sangat kuat,” paparnya.

Menurut Sutarto, sudah ada persoalan psikilogis sehingga orang Madura menjadi golput. Apalagi mereka masih berada dalam tradisi lisan dan bukan tradisi tulis, cerita dari mulut ke mulut itu lebih serem daripada tulis. ”Bahayanya di situ, mereka tidak bisa membedakan antara fakta dan opini. Cerita dari mulut ke mulut itu lebih dipercaya,” ujarnya. (bersambung)

Sumber: Surabaya Post, Sabtu, 6 Desember 2008

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda