Dra Hj Dakwatul Chairah MAg, Pembantu Dekan
Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Ampel
Reformasi Kurikulum Pendidikan Ponpes Sebuah Keharusan
Mengantisipasi masuknya budaya modernisasi dan industrialisasi pasca beroperasinya Jembatan Suramadu, reformasi kurikulum pendidikan di pondok pesantren (ponpes) menjadi sebuah keharusan. Muatan-muatan kurikulumnya, harus disesuaikan dengan kebutuhan saat ini. Sehingga, para lulusannya siap pakai dan bisa mengikuti tantangan zaman.
SAAT ini, hampir sebagian besar ponpes di Madura belum mau menerima dan merespons sepenuhnya kurikulum dari pemerintah. Mereka masih tetap mempertahankan kurikulum tradisional yang mempunyai banyak kelemahan. Akibatnya, banyak ponpes di Madura kurang berkembang. Para lulusannya, tidak siap pakai dan tidak bisa mengikuti tantangan zaman.
"Padahal, kurikulum yang ditawarkan pemerintah itu tidak bermaksud menghilangkan pelajaran kitab kuning. Apalagi, pelajaran tersebut merupakan ciri khas ponpes yang harus tetap dipertahankan," ujar Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dra Hj Dakwatul Chairah MAg.
Karena itu, lanjut Dakwah - panggilan akrabnya, reformasi kurikulum pendidikan ponpes harus dimulai dari sekarang. Sehingga, saat industrialisasi masuk Madura pasca beroperasinya Jembatan Suramadu, masyarakat pesantren tidak termarginalkan dan tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Menurut mahasiswi program doktor Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya ini, untuk memercepat reformasi kurikulum pendidikan ponpes, pemerintah kabupaten di Madura harus melibatkan semua pihak. Terutama, ormas kewanitaan seperti Fatayat dan Muslimat NU, PKK, dharma wanita, serta NA dan Aisyiah.
"Ormas perempuan sangat strategis dan potensial bila dilibatkan untuk menyosialisasikan kesadaran pentingnya pendidikan. Sebab, pendidikan itu merupakan investasi jangka panjang," ingat anggota Litbang Muslimat NU Jawa Timur ini.
Karena itu, dia mengimbau pemerintah segera menyejajarkan lulusan pesantren dengan lulusan sekolah umum. Menyejajarkan tidak berarti menghilangkan kurikulum pesantren. Tapi, dengan menggabungkan kedua kurikulum tersebut. Sehingga, penguasaan pendidikan nilai (agama) dan moralitas yang diajarkan di pesantren, tetap tidak ditanggalkan.
"Sekarang ini, kelemahan sekolah-sekolah umum kurang memperhatikan pendidikan nilai. Para siswanya hanya dicekoki ilmu pengetahuan saja. Akibatnya, banyak profesor, gubernur, dan bupati yang dipenjara karena melakukan tindak pidana korupsi. Ini menunjukkan sistem pendidikan kita gagal menanamkan nilai dan moralitas," ingat ibu lima anak ini.
Dia mengungkapkan, berdasarkan hasil penelitian desertasi Abd. Halim Subahar, mahasiswa program doktor Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, penyiapan kompetensi ponpes di Madura harus dilakukan melalui jalur pendidikan dan pelatihan serta harus selalu di upgrade.
Dalam desertasinya yang diberi judul: Studi tentang Proses Transformasi Kepemimpinan Ponpes di Madura, Halim Subahar meneliti beberapa ponpes besar di Madura. Hasilnya, ponpes tersebut sudah memasukkan kurikulum dari pemerintah. Di antaranya, Ponpes An-Nuqoyyah Guluk-Guluk dan Al-Amin Prenduan, Sumenep; Ponpes Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan; Ponpes At-Tharoqi Sampang; serta Ponpes KH Moh. Kholil, Bangkalan.
"Dari beberapa ponpes itu, Ponpes Al-Amin dinilai paling maju, lengkap, dan modern dalam menerapkan kurikulum pendidikannya. Sedangkan ponpes yang masih kuat memegang kurikulum tradisional, adalah Ponpes At-Tharoqi Sampang," ungkap putri pasangan (alm) KH Baidhowi Nabrawi - (almh) Nyai Hj Ruqoyah Makki ini.
Dakwah menjelaskan, dari empat kabupaten yang ada di Madura, Kabupaten Sampang masih ketinggalan jauh dibanding daerah lainnya. Khususnya, di bidang pendidikan, kesehatan, sumber daya manusia (SDM) masyarakatnya, serta sarana dan prasarana infrastruktur yang tersedia.
"Sebagai orang Sampang, tentu saya sangat berharap kemajuan pembangunan di Sampang bisa sejajar dengan daerah lain di Madura. Sehingga, saat Jembatan Suramadu benar-benar dioperasikan, masyarakat Sampang sudah siap menghadapi tantangan modernisasi dan industrialisasi," harap istri Drs H Moh. Cholil ini. (TAUFIQ RIZQON/ed)
Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 30 Januari 2009
Label: dakwatul chairah, dokumentasi, sosok
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda